Raina itu kesepian sejak kecil. Dia tumbuh dengan jarang bicara, selain itu papa dan mama selalu mengurungnya di dalam rumah.
Karena dulu mama masih wanita karir jadi mau tak mau Rai harus bermain sendirian. Di weekend mereka jarang pergi keluar seperti keluarga-keluarga biasanya. Papa itu keras, Rai memang takut pada papa sejak dulu. Peraduannya adalah mama.
Jadi ketika terkadang ada momen papa melunak, Rai senangnya bukan main. Tapi ada kalanya papa juga seperti orang asing yang enggan melihatnya. Rai kecil bingung..
Dan Rai tidak pernah punya teman dekat seperti kebanyakan yang sampai menginap di weekend. Sepertinya memang tidak ada masa untuk mencari teman karena Rai tidak pernah di biarkan bermain di luar.
Sampai saat kelas satu SD Rai pernah melihat Naf'an bermain bola di luar bersama teman-teman komplek yang lain. Dulu mereka tetanggaan dan sejak pindah Rai jadi tahu soal Naf'an. Anak itu selalu terlihat bebas, kadang dia juga melihat Naf'an keluar sambil makan es krim bersama adiknya—Eca.
Rai ingin seperti Naf'an.
Rai punya banyak stok es krim berbagai macam di kulkas besarnya, tapi ia tidak ingin menikmatinya sendiri, Rai ingin ada teman yang menemaninya. Kehidupan bergulir ketika Rai mulai menginjak kelas 3 SD. Papa mulai menunjukkan kekangan nya pada Rai. Mulai menyuruh belajar, bimbel sana sini sampai Rai ingin menangis.
Tapi ia tidak bisa mengeluarkan air mata dengan mudah sejak kecil. Jadi meskipun papa membentaknya, Rai hanya diam mendengarkan sambil menunduk. Karena itu mental Rai kuat, karena itu juga Rai jarang menangis.
Ada satu hari ketika ia baru saja turun dari mobil jemputan, ketika itu juga Naf'an pulang sekolah bersama teman-temannya yang lain. Anak itu terdiam menatap Rai yang entah mengapa diam di depan rumah sambil memainkan pagar rumah. Dan Naf'an menghampiri Rai. Itu pertama kalinya mereka berinteraksi secara dekat.
Meskipun saat TK dan kelas 1 mereka sekelas, Rai merasa asing dengan Naf'an.
"Kenapa sendiri?" Tanya Naf'an saat itu. Dia juga tidak begitu mengerti mengapa Rai tidak pernah bergabung bermain di jalanan komplek, padahal kalau takut Rai perempuan sendiri, ia bisa meminta Eca untuk menemaninya. "Nggak tahu." Jawab Rai.
"Ayo, Na, ngapain kamu ngurusin dia? Dia kan nggak pernah mau main sama kita." Salah satu cowok komplek yang pernah satu kelas dengan Rai saat kelas 2. Dia memang nakal dan suka mengganggu orang. Rai tidak suka dengan anak itu.
Si cowok tadi menarik Naf'an sampai dia hampir terjengkang. "Nanti kalo mau main bilang, ya?" Dan Naf'an juga meninggalkan Rai, sama seperti yang lain.
Ajakan main dari Naf'an tidak begitu menghibur. Sejujurnya, Rai iri dengan kehidupan Naf'an. Tampaknya bahagia dan nggak terkekang. Tidak seperti Rai yang harus belajar, nggak boleh makan dan minum sembarang. Rai terbiasa dengan jajanan Mall yang menurutnya membosankan. Kalau bisa Rai ingin telur gulung di depan SD, atau es cekek seperti yang Naf'an minum hampir tiap hari di pulang sekolah.
Rai iri, sumpah iri pada Naf'an.
Rai ingin seperti Naf'an.
Dan rasa iri dan benci itu merambat sampai besar. Yang sialnya, ketika Rai ingin menghindar, mereka malah di satukan satu kelas berkali-kali. Di kelas tiga, empat, enam SD, tiga tahun penuh di SMP, dan dua tahun di SMA. Rai harap mereka berpisah di kelas 12 nanti.
Kalau bisa Rai terima saja tawaran papa untuk kuliah di luar negeri. Agar Rai tidak perlu bertemu Naf'an lagi, agar perasaannya pada Daniel sekarang tidak goyah juga.
Sudah hampir dua bulan Daniel di Jakarta. Mungkin sekitar seminggu lagi dia akan kembali ke Malang dan mempersiapkan semester baru. Tapi selama ini mereka tidak sering bertemu, karena Rai sibuk bimbel. Paling sesekali Daniel antar jemput dan jalan saat weekend. Seperti hari ini. Tapi entah mengapa rasanya mulai hambar.
Entahlah, Rai merasa hubungannya abu-abu. Gadis itu melihat ada yang berbeda dengan Daniel sejak kembali dari Malang. Rai sering melihat Daniel gelisah tanpa alasan.
"Mau makan Moen-Moen nggak?" Daniel bertanya sambil menoleh. "Ah? Boleh." Rai mencari tempat duduk dan Daniel memesan. Daniel memang suka chicken curry. Tidak seperti Rai yang seperti sudah muak makanan Mall. Ia lebih suka ayam geprek, atau pecel, atau lalapan pinggir jalan pokoknya makanan lokal yang mengenyangkan.
Daniel kembali dengan bill dan tampan berisi minuman. Makanannya masih menunggu. "Nanti mau anterin aku belanja buat kosan 'kan?"
Rai menatap Daniel. "Di Jakarta bukannya makin mahal, ya?"
"Nggak mau nganterin?" Spekulasi Daniel membuat Rai menggeleng cepat. "No, bukan, i mean.. kan sayang uang kamu, mending jajanin aku telur gulung, heheh.." Daniel tertawa sambil mengacak rambut Rai. "Iya-iya aku beli di Malang aja. Nanti kita jajan telur gulung sepuas kamu, ya?"
"Okey!" Daniel memang masih hangat, tapi akhir-akhir ini entah mengapa kehangatannya terbagi. "Aku check in hari Senin pagi. Dan kamu harus sekolah. Gimana terus?" Tanya Daniel. Sebenarnya ia tahu Rai bisa saja membolos, tapi pasti papanya akan memarahi Rai.
Orang tahun lalu, ketika Rai sakit demam saja Rai memaksakan diri untuk sekolah. Tidak mau di marahi papa.
"Aku ijin telat, paling nggak sampai jam istirahat. Check in kamu kan agak pagi." Ucap Rai sambil mengaduk-aduk minumannya. "Kenapa sih kok pengen banget aku anterin? Tante Erna nggak cukup?"
"Emang nggak boleh minta anterin pacar sendiri? Aku juga mau ngasih sesuatu sebelum aku berangkat. Jadi pastikan kamu harus dateng. Apa perlu aku ijin papa kamu biar boleh bolos beberapa mapel?"
Nggak.
Adalah bolos karena pacar adalah hal yang paling nggak di sukai keluarganya. Cari alasan elit yang lebih berbobot kek.
Jadi Rai hanya menggeleng menolak sambil menerka-nerka, apa yang akan kak Iel kasih nanti.
🌷🌷🌷
Hmmm... Moment Bocil dan om Damar—maksunya Rai masih di pending dulu ya, kita selesaikan prahara rumah tangga ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rules Semeja!
FanfictionHari ini Rai memakai jepit rambut Lotso nya lagi. Tidak ada yang salah dengan jepit rambut itu, hanya saja afeksi yang di timbulkan membuat Naf'an harus dua kali kerja--menjadi tempat terurainya kegalakan Rai, dan juga mengatur detak jantungnya. Sua...