Naf'an benci hari Senin. Menurutnya hari Senin itu perusak suasana weekend nya. Kayak dua hari libur tiba-tiba,
boom!
Hari Senin datang.
Senin itu sibuk, padat, capek dan potensi tidur di kelas jadi 85%. Belum lagi dengan mata pelajaran peminatan yang membuatnya pusing.
Yang paling membuat moodnya memburuk ketika Idan mengirimkan stiker 'besok senin' di grup. Sumpah, ya, lagi enak-enak nyebat sambil ngopi sama bapak di teras jadi hancur karena stiker sialan.
Pokoknya Naf'an nggak suka hari Senin.
Tapi Senin minggu ini anehnya Naf'an tidak mengantuk. Ia malah menerka-nerka tentang kemana teman sebangkunya pergi. Tadi kelas mereka menjadi petugas upacara. Sedangkan Rai kebagian menjadi pembaca UUD. Karena tidak ada yang mau mengajukan diri menggantikan Rai, jadi Naf'an yang terkena imbas jadi pembaca UUD. Males? Banget. Jadi petugas upacara adalah hal yang paling Naf'an hindari. Jadi kemana sebenarnya Rai pergi? Sampai Naf'an harus rela menggantikannya?
Rai itu tipe cewek ambis yang jarang nggak masuk sekolah. Alpa 0, Ijin 1, Sakit 0. Kira-kira begitulah yang pernah Naf'an dengar dari Kai dan Mala yang melongo tidak percaya. Selain itu.. ya, kayaknya Rai memang suka sekolah, suka buku, suka perpustakaan. Jadi opsi bolos itu sangat tidak mungkin. Kalau sakit.. ya pasti ada suratnya, atau minimal WhatsApp ke wali kelas.
🔔🎶
Bell istirahat berbunyi. Laki-laki itu menatap speaker kecil di sudut kelas. Woo? Cepet banget udah istirahat.
"Baik anak-anak, kelas Ibu akhiri, sampai jumpa minggu depan." Setelah mengucap salam, teman-teman kelasnya yang lain mulai berhamburan keluar. Sebenarnya Naf'an lapar. Tapi malas ke kantin, tapi ia tidak membawa bekal karena tidak sempat.
Huft.
Baiklah karena tidak ingin kelaparan, Naf'an akhirnya bangkit ketika kelas mulai sepi. Hanya ada dua orang yang mojok di sudut kelas.
Deg.
Baru sampai di depan pintu kelas, ada Rai yang akan berjalan masuk. Keadaannya kacau sekali, dan yang paling mencuri perhatiannya adalah mata sembabnya.
Mereka bertatapan sebentar. Entah mengapa keadaan Rai membuatnya sakit. Naf'an tidak suka melihat Rai sedih begini.
"Rai—"
Di luar dugaan. Gadis itu makin menangis dan menempelkan keningnya di dada Naf'an. Jantungnya.. jantungnya mengapa berdebar kencang sekali? Rasa apa yang Naf'an rasakan saat ini? Naf'an benar-benar tidak mengerti. Selain menerka-nerka keadaan Rai, Naf'an juga berharap Rai tidak mendengar apapun. Ia harap hanya menumpahkan air matanya di sana.
Beberapa orang yang lewat di koridor memperhatikan mereka dengan tatapan selidik yang aneh. Apalagi wajah Naf'an yang terkejut, juga tangan Naf'an yang mengambang di udara seolah ia tidak bisa menyentuh Rai—bukan muhrim.
Dari dahi Rai yang menempel itu Naf'an bisa merasakan bahwa suhu tubuh Rai melebihi orang awam, dia sakit.
"Rai, lo sakit? Gue cari teh anget sama obat dulu, ya? Lo duduk.."
Rai benar-benar menurut. Dia mulai melangkahkan kakinya menuju tempat duduknya. Menaruh tas berat dengan kasar dan menangis lagi.
Naf'an berjalan tergesa ke arah UKS untuk mengambil obat, lalu ke kantin untuk memesan teh hangat. Ia memikirkan tentang Rai yang sudah makan atau belum. Ia berfikir sejenak di stan pecel. Oke, sepertinya memang belum makan, jadi ia segera memesan seporsi pecel.
Sampai ada Renja yang melihatnya dengan tatapan bingung, tidak sengaja ia temui saat mengantri teh. Tapi yang ada di pikiran Naf'an hanyalah keadaan Rai. Perutnya tak lagi keroncongan, karena teralih pada rasa khawatirnya. "Oi, lo ga makan??"
"Sibukk!" Dan Naf'an berlalu setelah mendapatkan pecel, juga teh hangat.
Renja menatap punggung lebar kawannya yang mulai mengecil, dengan tergesa tapi penuh hati-hati anak itu membawa segelas teh hangat. Setahunya Naf'an nggak terlalu suka minum teh.
Lebih suka air putih atau kopi.
Wajah Renja seperti menemukan harta karun, woo.. jadi gitu cara mainnya, punya cewek ga bilang-bilang..
Mari kita tinggalkan Renja yang kepo. Beralih pada Naf'an yang bersiap-siap menyiapkan sarapan untuk Rai. Sedangkan Rai masih tampak lemas, matanya menatap kosong rak buku yang terletak di sudut kelas. "Makan dulu, lo itu sakit." Tidak ada respon dari Rai, dia hanya diam lalu menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan. Dia ini kenapa ya..
"Mau ke UKS?" Ada jeda sejenak sebelum Rai menggeleng untuk menolak. Gadis itu akhirnya meraih sendok plastik, dan memakan pecel dalam diam. Naf'an mencoba untuk tidak bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu batasan. Dan kalau Rai ingin, dia bisa menceritakannya, kalau tidak Naf'an tidak memaksa.
Biar saja Naf'an tahu dengan dalih Rai sakit, tanpa tahu penyebabnya. Memang tidak mungkin sesuatu terjadi tanpa alasan. Jadi untuk sakitnya, juga air mata yang keluar itu pasti sesuatu telah terjadi. Mengingat dari dulu Rai jarang menangis.
Naf'an masih mengingatnya dengan jelas bagaimana papa Rai memarahi gadis itu di parkiran. Dia benar-benar diam, tapi tidak menangis ketakutan sampai sesenggukan ketika kelas 3 SD, ia tahu Rai memang bukan gadis periang dengan banyak teman. Dia hanya punya satu, yang sebenarnya tidak benar-benar dekat.
Kelas 3 SD itu anak-anak masih nakal-nakalnya, Rai sering di ganggu, di rebut makanannya, bahkan pernah di jambak sampai rambutnya rontok.
Tapi kemana tangisannya? Kenapa Rai tidak menangis?
Naf'an mulai bertanya-tanya, ia ingin mengajak Rai untuk bermain, tapi tiap akan mendekat, entah mengapa tatapannya selalu sinis. Naf'an seolah membuat kesalahan begitu besar sampai seolah ada tembok virtual yang tidak bisa panjat. Ibu dan bapak itu selalu mengajari Naf'an dan Eca untuk bergaul dengan siapapun. Orang tuanya tidak menuntut mereka untuk memilih-milih teman. Kalau merasa kurang pantas ya diamkan saja.
Bapak itu asalnya dari kampung, didikannya memang harus bersosialisasi, ketika beliau yang sekarang bisa di anggap sukses, bapak selalu mengingatkan untuk jangan pernah lupa bahwa kita pernah di bawah. Dan bagaimana dia melihat Rai di balik pagar besi hitam sambil melihat Naf'an dan yang lain bermain, Naf'an benar-benar ingin mengajaknya.
Tapi kenapa Rai itu susah sekali.
Naf'an terperanjat ketika Rai meletakkan gelas teh di meja. Sejak kapan dia selesai? Bahkan obatnya pun sudah di minum. "Lo mau gue beliin cool fever nggak?"
Rai menggeleng, dia benar-benar belum bersuara dari tadi. Mungkin tenggorokannya sakit karena kebanyakan menangis. "Lo mau—"
"Gue putus, bangsat.."
"..."
Jadi di hari Senin ini ia harus mengikuti kata hatinya dengan ikutan sedih.. atau senang tanpa alasan yang ia rasakan saat ini?
Tapi rasa senangnya, pasti beralasan.
🌷🌷🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
Rules Semeja!
FanfictionHari ini Rai memakai jepit rambut Lotso nya lagi. Tidak ada yang salah dengan jepit rambut itu, hanya saja afeksi yang di timbulkan membuat Naf'an harus dua kali kerja--menjadi tempat terurainya kegalakan Rai, dan juga mengatur detak jantungnya. Sua...