20

1.2K 30 2
                                    

Disini ke berada di ruangan yang sungguh mencengkram bagaimana tidak aku berhadapan langsung dengan pemilik sekolah ini, sekaligus mertua ku. Aku hanya bermain-main terhadap jari ku tanpa memulai pembicaraan.

"Ekhem, menantu ternyata kamu sangat nakal di sekolah" Ujar bapak Andrea.

Aku hanya tersenyum kikuk aku bingung harus menjawab apa.

"Saya tak tau harus bagaimana, biasanya saya langsung mengeluarkan murid jika sudah bertindak keterlaluan"

Sungguh jantung ku dua kali berdetak lebih cepat, bagaimana nasibku jika tak sekolah tak ada lagi tujuan hidup.

"Tapi kau menantuku, jika saya mengeluarkan mu maka Abi tak akan mau lagi mengurus perusahaan. Jadi saya serahkan kamu ke Abi biar dia yang mengurus kamu " Lanjut bapak Andrea.

Aku bernafas lega mendengar tutur bapak Andrea "Iya Pak"

Bapak Andrea terkekeh "Panggil saja ayah, kau sudah ku anggap anakku"

"Iya pa-yah" Gagap ku.

Sungguh aku seperti manusia bodoh, "Keluar lah kembali ke kelasmu jangan sampai kamu melanggar peraturan sekolah ini. Sekolah ini susah payah ku buat agar mencerdaskan anak bangsa, jangan sampai aku menanam murid bodoh di sekolah ini"

Sungguh ucapan yang menyayat hati "Yah jangan salahkan murid bodoh, salahkan gurunya yang tak becus mendidik" Ujar ku terlalu berani.

Ayah Andrea tampak terkekeh "Baiklah menantuku apapun buat kamu"

"Saya permisi, Assalamualaikum"
Ujarku beranjak dari tempat duduk, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

Untung saja saat aku dipanggil sudah menikah dengan anaknya jikalau tidak maka aku akan terbuang dari sekolah ini.

Aku berjalan melewati koridor, tepat di sana ada lapangan aku ingin menahan tawaku karena melihat satu kelas yang berlari menyusuri lapangan. Di sana ada pak Bondan yang terus berteriak menginstruksi mereka.

Sungguh aku tak tega dengan raut wajah mereka yang kecapean ditambah dengan matahari yang menyengat tubuh mereka.

"JESSICA DELUCIA KENAPA KAMU DISITU CEPAT IKUT MEREKA!" Titah pak Bondan yang melihat keberadaan ku.

Aku meneguk silva ku kasar, aku segera berlari menjauhi aku tak memperdulikan teriakan pak Bondan. Aku berlari menuju kantin dengan nafas tersengal-sengal aku mendudukkan di salah satu kursi di sana.

"Anjir huh untung gue nggak kena semprot tuh kutu kumis" Monolog ku.
Aku mengatur nafasku yang terengah-engah.

"Jessi" Seru seseorang.

Aku menatap tajam pada seseorang yang menduduki kursi didepan ku.

"Apa?"

Bian menyengir "Jangan marah ke gue lagi ya, Atika juga udah nggak ada"

Aku mengetatkan rahangku "Siapa lo? gue nggak kenal!"

Bian mendengus kesal "Kali ini aja, please itu juga kan bukan sepenuhnya salah gue"

"Bodo amat Bibi picek seng ndelok rai opet mu" Ujarku dengan logat Jawa.

"Hah?"

"Kamu genteng" Ujarku asal.

Bian tersenyum mekrah "Siapa sih yang nggak terpesona sama gue" Ujar Bian terlalu percaya diri.

Aku memutar bola mataku jengah "Ganggu" Ujarku lalu beranjak dari dudukku.

"Jessi tunggu gue!" Ujar Bian namun tak ku gubris.

Aku berjalan ke arah taman belakang sekolah, karena di sana aku bisa merasakan ketenangan. Menduduki rumput hijau tepat dibawah pohon mangga.

My Husband DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang