Pernahkah kamu menyukai sesuatu dengan begitu dalamnya? Seolah dunia beserta isinya tidak mampu menyaingi sesuatu itu saking kamu menyukainya.
Tiada rasa muak batin seorang lelaki beranjak dewasa itu menyerukan seberapa indahnya langit ketika malam menerpa. Secinta itu sampai tidak lagi peduli dengan tubuhnya yang diterpa ganasnya angin malam. Entah filosofi dari mana, lelaki itu selalu berpikir dirinya bisa sampai sesuka itu dengan langit malam karena orang tuanya memberinya nama Bintang.
Kelamnya langit itu sangat indah dari apa pun yang ada di dunia, menurut Bintang. Gelapnya seolah memberi dorongan tenang pada jiwa yang rasanya seperti on the way menuju kegilaan. Ditambah angin yang kata orang-orang tidak baik untuk tubuh, malah menjadi candu untuk Bintang pribadi walau dinginnya sangat menusuk. Terlebih di saat-saat musim penghujan seperti sekarang.
"Gak bosen-bosen lo jadi anak malem."
Bintang melirik sekilas ke arah sumber suara, lalu kembali mendongak memandang sang nabastala. "Harus dijawab kah?"
Sang gadis mendengus. "Gak usah, gue cuma basa-basi doang."
"Lo kan udah basi."
Sedikit tamparan mengganggu kegiatan Bintang. "Bangke ganggu aja lo. Sono masuk, bocil harus sekolah besok."
"Ya makanya lo juga masuk. Gumoh gue liatin lo liat langit mulu."
"Siapa suruh liatin gue?" Menormalkan kepala, Bintang menghadap ke gadis bar-bar di sampingnya itu secara utuh. "Adek gue perhatian banget ya, gak mau abangnya sakit kehembus angin." Wajah itu berubah menyebalkan untuk sang gadis yang langsung berlagak ingin muntah.
"Fuck," lalu melengos masuk ke dalam bangunan tinggi di belakangnya dengan tawa kecil sang kakak yang sedikit gemas kepada adiknya si tukang gengsi.
Bulan nama tukang gengsi itu. Lumayan bar-bar untuk ukuran remaja perempuan hingga terkadang Bintang harus datang memenuhi panggilan dari gurunya. Tapi itu semua tentu beralasan. Bulan tidak akan tersulut jika tidak ada bensin yang mengundang api kemarahan.
Menunduk dalam seiring dengan hembusan napas yang begitu berat. Tangan kanannya terangkat, mengusap lembut bagian perutnya yang terbalut perban.
"Abang," suara gadis itu kembali lagi. Tapi kali ini tidak ada gas elpiji di nadanya, melainkan panggilan kecil yang sarat akan permohonan. "Ayo masuk."
Bintang terkekeh geli sebelum mengiyakan. Bangkit dengan perlahan lalu merangkul Bulan untuk kembali ke ruangannya.
•-•-•-•-•-•-•-•-•-•
Bintang
Bulan
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.