"Bang bang bang!" Tubuh Bintang diguncang heboh oleh Bulan yang tampak panik. "Lepas dulu ishh," ditariknya begitu saja earphone yang menyumpal di kedua telinga Bintang.
"Apa?" Bintang bertanya dengan sabar.
"Kecelakaan cuk, lo sibuk bener sampe jadi budek!" Bulan menunjuk ke jalan raya. Bintang pun baru sadar akan orang-orang yang tadinya anteng bersantai di kedai sudah lenyap tak bersisa.
Tingkat kekepoan Bintang dan Bulan mencapai dua ratus persen, maka dari itu mereka pun ikut berlari keluar. Menatap langsung tiga mobil yang berdempetan beserta asap yang sedikit demi sedikit keluar dari mobil tengah.
"Ini orang-orang cuma liatin doang? Gak mau bantuin apa." Bintang mendekat, diikuti dengan Bulan di belakangnya. Juga orang lain yang mulai tergerak untuk ikut membantu mengeluarkan manusia-manusia yang terjebak di dalam sana.
Di mobil ketiga yang berisikan suami istri dan tiga orang anak. Bintang mengeluarkan para bocah terlebih dahulu, baru kemudian orang tuanya yang sudah tak sadarkan diri. Beberapa tenaga medis mulai berdatangan membantu. Jalan terasa semakin sesak oleh padatnya kerumunan orang.
Selesai urusan Bintang berniat mencari Bulan. Namun pandangnya malah tersangkut ke mobil nomor dua yang terlihat paling hancur karena terhantam depan belakang. Cairan kental keluar deras dari tangki bensinnya. Asap mulai menebal, membuat Bintang dilanda kepanikan saat melihat Bulan di seberang sana mendekati mobil kedua.
"BULAN MUNDUR! SEMUANYA MUNDUR!" Bintang berteriak kesetanan, berlari menuju Bulan yang baru saja membuka pintu mobil penumpang belakang.
"Mundur, mobilnya mau meledak!" Tapi Bulan malah menepis tangan Bintang.
"Ada mama di dalem bang!"
"Mama?"
Belum sempat Bulan membuka pintu tempat mama berada, dua pria dewasa menarik Bintang dan Bulan menjauh. Ledakan tak terelakkan terjadi bersamaan dengan api yang mulai mencuat ganas.
"Heh!"
Bulan tersentak usai tamparan yang cukup keras menghantam pipinya. Menatap ke sekitar dengan linglung, terlebih ke jalanan yang lumayan ramai sore hari ini. Lalu mengusap pipinya yang panas sambil menatap ganas Bintang seperti hendak menerkam.
"Ngantuk banget sampe ketiduran gitu." Bintang melepas earphone sembari memasukkan ipad yang sedari tadi dia gunakan. "Ayo pulang."
Bintang bangkit lebih dulu untuk membayar pesanan mereka kepada Ningsih, sedangkan Bulan langsung keluar saja. Agaknya nyawa gadis itu masih di ambang antara alam mimpi dan alam nyata.
"Gak ada kecelakaan bang?" Bulan melempar tanya saat Bintang mendekat.
"Hah?" Usapan Bintang berikan kepada wajah bingung sang adik. "Ngelantur lo." Lalu masuk ke dalam mobil, meninggalkan Bulan yang masih saja tampak linglung. Bintang bahkan harus membunyikan klaksonnya terlebih dahulu agar Bulan sadar dan segera masuk ke dalam mobil.n
Di perjalanan pulang pun Bulan yang biasanya mengoceh atau bernyanyi random pun hanya membisu. Bintang gatal ingin bertanya. Tapi setelah dipikir-pikir, lebih baik nanti saja. Wajah Bulan masih tampak seperti murid yang sedang mengerjakan ujian kimia. Nanti saat di rumah Bintang akan bertanya.
"Kalo beneran punya anak," Bulan bergumam. Tapi telinga Bintang ini tajamnya sampai mampu mendengarkan semut mengobrol.
"LO PUNYA ANAK?!"
Bulan mendelik kaget. Apa-apaan tuduhan itu. Bulan masih ingin mencicipi rasanya berjoget ria di club, masih ingin bebas, masih ingin kuliah. Enak saja dituduh ninu-ninu seperti itu.
"Berita dari koran mana yang lo baca?! Enak aja tuh mulut berkicau." Jika Bulan sudah sewot itu berarti nyawa gadis itu telah kembali ke raga sepenuhnya.
"Jujur aja Bul, gue gak akan marah kok. Paling gue coret dari kartu keluarga doang."
"Lambemu need my tampolan kah?" Kepalan tangan Bulan angkat sebagai ancaman. "Anak baik suci gini dinistain terus."
Mobil terparkir rapi di garasi. Keduanya segera turun dan bebersih badan usai beraktivitas dari pagi sampai ke sore bagaikan bang toyib.
Berjongkok di atas closed sembari menunggu beban dunia keluar, otak Bulan membawa kembali mimpi yang tadi dia alami. Jika biasanya Bulan akan lupa tentang alur mimpinya, kali ini otaknya menangkap semua memori mimpi yang begitu mengerikan sekaligus mengejutkan.
Bulan benar-benar melihat jika di kursi penumpang belakang di mobil kedua, ada seorang anak perempuan berkisar lima sampai tujuh tahun. Di balik kemudi ada selingkuhan mama, dan di sampingnya lagi ada mama. Bukannya ingin berburuk sangka, namun tidak ada yang mustahil di dunia ini kan. Mama saja tujuh tahun ini betah berkhianat. Tidak menutup kemungkinan ada hasil dari pengkhianatan itu.
"Kalo iya gimana?"
"Cerai? Jangan dong. Gila beneran ntar gue kalo mereka sampe pisah." Mengacak rambutnya frustasi, Bulan pun menyudahi sesi pembuangan. Lanjut mandi untuk mendinginkan kepala yang terasa panas.
Selesai mandi Bulan tidak lagi melakukan apa-apa. Hanya duduk diam di kasur, sesekali menggosok rambut basahnya menggunakan handuk kepala.
PRANG
Jika Bulan memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin Bulan sudah meninggal detik itu juga. "Buset, tiba-tiba banget?"
Berlari keluar, ternyata Bintang pun sama penasarannya. Jadilah dua beradik itu mengintip ke area pertengkaran. Menyaksikan panasnya debat mulut antara Adam dan Hawa yang begitu menggelegar memekakkan telinga.
"Demi Tuhan aku gak ada hubungan apa pun, Berlian. Kamu masuk pun dia cuma duduk di depan aku, baca berkas, udah kan. Kenapa sampe nuduh aku selingkuh gitu?"
"Aku liat dia sampe pegang-pegang tangan kamu! Istri mana yang gak panas liat suaminya disentuh seenaknya? Aku aja jarang sentuh kamu!" Urat kemarahan tercetak jelas di kening mama.
"Besok aku pasang cctv di ruangan aku. Kamu bisa pantau aku tiap detik sampe kamu puas." Papa terlihat sangat lelah. Meladeni istri yang cemburuan sungguh menguras tenaga.
"Lo yakin papa selingkuh?" Bisik Bintang.
Satu detik, lima detik, sepuluh detik, Bintang menoleh saat Bulan belum juga menjawab. Tangan pun terangkat untuk mengusap keseluruhan wajah Bulan dengan penuh kasih agar gadis itu kembali sadar. "Melamun wae."
"Ha?" Bulan cengo.
"Pikiran lo hari ini kayaknya lagi ruwet banget ya." Bintang menarik Bulan masuk ke kamarnya. Tidak baik juga berlama-lama menyaksikan pertengkaran papa dan mama. Takut-takut mental mereka yang melayang.
"Bang,"
"Hm?""Mama pernah gak pulang berbulan-bulan?"
Kedua bola mata Bintang mengerling ke atas, terlihat sedang mengingat-ingat. "Pernah. Hari pertama lo naik ke kelas enam. Malah bukan lagi hitungan bulan, hampir lebih setahun mama pindah-pindah kota buat ngurusin perusahaan keluarganya yang lagi kena tuduhan penggelapan dana."
Otak Bulan tidak lagi bisa berbaik sangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Ficțiune adolescențiBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.