Bintang langsung terbangun, bahkan refleks turun dari kasur saat suara-suara bising terdengar dari luar kamarnya. Otak langsung tertuju pada maling yang mungkin saja menerobos rumah di pagi hari.
"Buset," Bintang memejam sejenak meredam perputaran dunia. Berpegang pada dinding saat dirasa tegaknya agak limbung.
"Tang," pintu kamar dibuka. Panji masuk dan mendekati Bintang yang masih diam berdiri di dekat dinding. "Adek lo pingsan."
"HAH?!"
Di ruang tamu hanya terdapat Bulan yang memejam juga Pandu yang tengah mengobati luka di wajah, leher, beserta buku tangan sang gadis.
"Gimana ceritanya?!" Bintang syok berat.
"Tetangga lagi mau ngecek cctv. Nah ini dia." Panji memberikan ponselnya kepada Bintang. Menonton rekaman yang dikirim oleh satpam komplek beberapa detik yang lalu.
"Mukanya digeplak pake tas yang isinya mayat." Panji berujar miris setelah menonton adegan Bulan yang hampir terjengkang oleh lemparan tas tenteng yang ternyata berisi mayat seseorang yang telah termutilasi.
"Dibawa ke mana orang ini?" Tanya Bintang geram.
"Kantor polisi. Habis Bulan ninju kan topengnya lepas tuh. Mukanya kayak langsung kebingungan gitu, sambil garuk-garuk kepala pula. Kayak orang gak waras sumpah."
"Menurut gue dia emang gak waras sih." Pandu menyahut usai selesai dengan tugasnya. "Lo liat kan bang, dia teriak-teriak histeris pas orang-orang nangkep dia."
"Orang gila bisa bunuh orang?" Tanya Panji, lebih ke arah bergumam.
Bintang mengembalikan ponsel Panji usai mengirim video rekaman cctv ke nomornya sendiri. "Thanks udah bantuin Bulan."
"Anying kek sama siapa aja lo. Dah ye, mau nganter nih bocah sekolah. Baek-baek lo berdua di rumah, kunci aja pintunya."
Seperginya Panji dan Pandu, Bintang kembali menonton rekaman cctv dari ponselnya. Mengamati tiap-tiap sudut, barang kali ada yang bisa dia curigai.
"Orang gila bisa bunuh orang gak ya?" Monolog Bintang, sama seperti Panji.
Dengan gesit Bintang menekan nomor Arina. Menunggu sejenak sampai suara merdu gadisnya menyapa indra pendengar. "Menurut kamu orang gila bisa bunuh orang?" Tak ada ucapan selamat pagi atau sapaan lebih dulu. Bintang langsung menembak pertanyaan, berharap Arina sebagai mahasiswi psikologi paham.
"Bisa kok. Orang gila aja bisa makan, minum, mandi, atau kegiatan lainnya kayak orang normal biasanya. Apalagi membunuh kan."
Bintang mengangguk paham walau tahu Arina tak akan bisa melihatnya.
"Emang kenapa kamu tiba-tiba tanya itu?"
"Belum pasti. Nanti aku cerita kalo udah ada keterangan lanjut dari polisi. Aku tutup dulu ya, maaf ganggu waktu kamu pagi-pagi."
Bintang menghela napas gusar sembari memijat pelipisnya yang semakin berdenyut. Menatap Bulan, kemudian memeriksa kening sang adik. Agak lebih panas dari yang semalam, seperti dugaannya. Siapa pula yang tidak drop sehabis dilempari tas besar yang isinya tubuh manusia.
Mengunci pintu, Bintang beralih menuju dapur untuk membuat sarapan. Namun urung setelah dilihat tak ada yang bisa dijadikan menu. Telur pun tak ada barang satu butir saja.
Dengan malas Bintang berjalan keluar. Tidak ada jalan lain selain membeli. Mengunci pintunya dari luar takut ada yang ngadi-ngadi sedangkan Bulan masih pingsan. Pergi ke tempat jualan bubur terdekat untuk membeli satu porsi sarapan mengingat Bulan pasti tak akan sudi menghabiskan makanan di waktu sakit, juga dirinya yang tidak ada nafsu pula untuk makan.
Usai bubur didapati Bintang langsung pulang. Baru saja pintu dia buka, pemandangan wajah pias Bulan yang nampak begitu panik membuat Bintang keheranan.
"Kenapa?"
Bulan menggaruk kepalanya, linglung menatap sekeliling. "Gue kira gue disekap mamang joker tadi."
"Gila. Makanya kumpulin nyawa dulu sebelum bangun." Bintang menggeret Bulan untuk kembali duduk. "Nih makan. Gue ambil obat dulu."
"Bang, lo sakit juga gak?" Tanya Bulan sekembalinya Bintang bersama segelas air dan obat.
"He'em, meriang doang."
Bulan meletakkan punggung tangannya di kening Bintang. "Meriang doang pala lo segitiga. Panas begini anjir."
"Ngemeng mulu, cepet habisin biar bisa minum obat."
"Tau gak sih, gue dilempar tas sama orang gak jelas. Mana baunya kayak bau besi berkarat, atau bau darah ya tadi."
"Hooh, isi tasnya mayat." Bulan tersedak ayam suwir seketika. Menatap Bintang horor, namun wajah lelaki itu begitu lempeng seperti sedang menunjukkan jika dia tidak berbohong.
"YANG BENER ANJIR?!" Bulan histeris. "MUKA GUE! ASYU! Ah bangke sakit bibir gue." Meringis sembari menyentuh luka sobek di sudut bibir kirinya, Bulan akhirnya diam.
"Siapa suruh teriak."
Bicara tentang mayat membuat Bulan tambah tak ada nafsu. Mendorong styrofoam ke arah Bintang dengan datar. "Habisin nih."
"Baru dua suap lo makan ya. Gak usah ngada-ngada, makan lagi." Perintah Bintang mutlak.
"Lo juga sakit. Makan tuh." Bulan langsung saja meletakkan wadah styrofoam ke pangkuan Bintang. Meminum obatnya bersama satu gelas air. "Dimakan, gue ambil minum lagi."
Faktanya dua kakak beradik itu sama saja. Jika sedang sakit, makanan yang hinggap paling banyak hanya lima suap. Lantas bubur yang hanya satu porsi saja itu tak habis bahkan belum separuhnya termakan dengan dua orang sebagai penyantap.
"Lo mau ngerjain tugas?" Tanya Bulan tak percaya usai mengekori Bintang menuju kamar. Terlihat lelaki itu sudah memasang duduk yang nyaman bersandar ke kepala kasur, tak lupa dengan laptop yang sudah bertengger apik di pangkuannya.
"Mau gimana lagi. Deadline makin deket."
"Sedeket apa sampe sakit gini lo bela-belain."
"Besok."Bulan tak dapat membantah. Pergi sebentar ke kamarnya untuk mengambil bantal lalu datang lagi. Mengambil posisi berbaring di samping Bintang yang sudah sibuk mengetik. Namun tak lama gadis itu bangkit keluar, datang sembari membawa botol minum yang cukup besar di tangan.
"Banyak-banyak minum biar panasnya cepet turun nih. Butuh apa-apa bilang aja."
Sang kakak tersenyum atas perhatian adiknya lalu mengangguk. Bulan jika Bintang sedang sakit memang agak berkurang gengsinya. Berkamuflase menjadi adik yang baik hati nan penurut serta lemah lembut.
"Nyamuk anjing."
Bintang tarik segera pemikirannya tentang Bulan yang lemah lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Ficção AdolescenteBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.