"Kalo Bintang belum pulang jangan keluyuran."
"Iye bang, buset bawel bener."
"Dah, masuk sana."
Bulan segera melaksanakan perintah Panji. Masuk ke rumah, mengunci pintu, kemudian berganti baju.
Pulang sekolah tadi Pandu dengan tiba-tiba mengajak Panji jalan-jalan ke mall sekaligus ingin membeli sepatu katanya. Bulan yang numpang pun bisa apa selain ikut. Karena itu di pukul tujuh hampir ke delapan malam ini Bulan baru pulang.
"Abang belum pulang juga?" Gumam Bulan usai mampir ke kamar Bintang. "Eh, ada papa ternyata."
"Baru pulang nak?" Papa menyapa hangat. Merangkul Bulan menuju ke ruang tengah sembari tangan kosongnya merapikan dasi yang agak miring.
"Iya baru. Papa mau pergi?"
"Iya. Ada projek besar-besaran sama temen papa di Singapura sana. Bulan papa tinggal sama abang gapapa ya?"
Kenyataan dengan janji yang pernah papa ucap ingin lebih meluangkan waktunya di rumah hanya bualan semata. Tapi Bulan tetap tersenyum dan mengangguk. Sudah biasa.
"Sekarang juga?"
"Iya."
"Ayo aku anter ke depan."Sudah ada mobil papa bersama supir pribadinya yang menunggu ternyata. Bulan mencium punggung tangan papa sembari berucap. "Hati-hati papa. Jangan capek-capek di sana."
"Bulan juga baik-baik di sini sama abang ya. Kunci pintunya sampe abang pulang." Papa mencium kening Bulan singkat. "Papa pergi."
Bulan melambai sampai mobil yang membawa papa tak lagi terlihat oleh mata. Tak berlama-lama di luar, Bulan masuk kemudian mengunci pintu rumah. Berlari terbirit-birit ke dalam kamar saat mendengar samar dering ponselnya berbunyi. Sampai di kamar panggilan terputus, namun berbunyi lagi yang langsung Bulan asumsikan jika itu adalah Bintang.
"Lagi di luar tadi makanya gak langsung angkat." Tembak Bulan segera sebelum Bintang mengomelinya.
"Ngapain keluar?"
"Nganter doang, papa pergi ke Singapura malem ini."
"Oh ... Pintu udah dikunci semua?"
"Udah."
"Lepas aja kuncinya, gue bawa cadangan. Kayaknya bakal pulang malem."
"Jam berapa?"
"Gak tentu sih. Gue baru mulai bikin tugas sepuluh menit yang lalu. Temen gue pada sok sibuk semua soalnya. Jadi baru bisa malem ini."
Bulan mendengus. "Ngaca bro, lo juga suka sok sibuk."
"Bang."
"Hm?"
"Lo baik-baik aja?"
Jeda sejenak di seberang sampai Bintang buka suara. "Baik kok, kenapa tanya gitu?"
"Gapapa, cuma ngerasa gelisah aja dari pagi tadi. Kalo ada apa-apa bilang langsung ke gue ya." Bulan tidak akan tahu, namun di seberang sana ada Bintang yang mengulas senyum penuh arti.
"Siap tuan putri."
Selesai bercakap Bulan pergi ke depan untuk mencabut kunci dari lubang pintu. Kembali lagi ke kamar dan rebahan, tenggelam dalam cerita novel yang sore tadi baru Bulan simpan di perpustakaan wattpadnya hingga kantuk menerjang.
•-•-•-•-•-•-•-•-•-•
"Eh eh eh!" Baru saja keluar kamar Bulan sudah dihadapi dengan Bintang yang juga keluar kamar, namun limbung dan hampir terjatuh jika tangan Bintang tak sigap memegang daun pintu."Lo sakit bang?" Saat disentuh kening Bintang tidaklah panas. Tapi bibir lelaki itu terlihat tanpa rona memang.
"Cuma pusing doang. Lo berangkat bareng Panji gapapa kan?"
"Gapapa, malah kalo boleh gue mau berangkat sendiri." Bintang mengernyit tanda tak setuju.
"Ya udah masuk lagi ayo." Bulan menarik Bintang sampai terduduk di atas kasur. "Gak ngampus hari ini?" Bintang menggeleng.
"Diem aja di rumah, istirahat. Pulang jam berapa semalem?"
"Sepuluh."
"Gara-gara pulang malem kali lo puyeng gini."
"Gak mungkin. Orang gue sering nongki bareng angin, kagak ada tuh sakit-sakit. Imun tubuh emang lagi gak bagus aja." Bintang menyanggah. Malam adalah sebagian dari hidupnya, jadi tidak boleh disalahkan oleh siapa pun.
"Ya udah iya salah gue ini." Bulan menyudahi sembari menyalami tangan Bintang. "Baek-baek lo di rumah."
Gadis itu pun keluar tanpa melipir lebih dulu ke dapur. Entah mengapa Bulan rasanya tak memiliki nafsu untuk makan sedari kemarin. Walau sedikit lapar, namun rasa malas itu lebih tinggi. Jadilah Bulan langsung keluar rumah menunggu mobil Panji datang menjemput, walau faktanya dia bisa berjalan ke sana lebih dulu karena hanya berjarak empat bangunan saja dari rumahnya. Namun kembali lagi, Bulan malas.
Tolong jangan dicontoh wanita pemalas satu ini.
"Loh, mama lagi?" Bulan hampir terjengkang saat melihat wujud mama tiba-tiba ada di sampingnya, baru saja keluar dari rumah.
"Kesakitan Bintang itu semuanya karena kamu." Dengan nada dingin seperti biasa mama berujar.
"Maksud mama?" Tanya Bulan tak paham.
"Semua, semua sakit yang Bintang alami seratus persen karena kamu. Kasihan sekali dia. Sudah merawat kamu yang susah diatur dan berisik, sekarang malah dibuat sakit." Tiap kalimatnya begitu ditekan seakan mengharuskan Bulan paham akan semua itu.
"Ma, aku gak paham." Sudah dikatakan tingkat kepo Bulan itu setinggi langit. Jika tak mengerti pun gadis itu tak akan segan bertanya. Namun mama tak kunjung menjawab, malah menghilang bersama kendaraannya meninggalkan Bulan yang masih digantungi tanda tanya.
Bulan memang sudah biasa menelan semua ucapan menusuk mama. Namun yang kali ini tidak bisa dianggap lalu begitu saja. Semua hal yang bersangkutan dengan Bintang akan selalu Bulan perhatikan.
"Gue bikin abang sakit?" Pertanyaan lirihnya menguar di udara tanpa jawaban. "Gue harus apa biar abang gak sakit?" Ruang kosong masih menjadi jawaban Bulan kini.
"Kamu emang harusnya gak perlu lahir."
Suara mama sejenak terlintas di kepala. Suara yang enam tahun lalu dilontarkan oleh seorang ibu untuk anaknya. Hanya karena anaknya menegur untuk tidak lagi bermain bersama pria lain.
"Mati?" Tanya Bulan lagi, pada dirinya sendiri.
Otak sedari kecil terus didoktrin oleh mama akan hadirnya yang tak seharusnya ada. Hadirnya tak berguna untuk orang sekitar apalagi dunia. Karena itu seolah otomatis, alam bawah sadarnya pun suka memberi pemikiran yang buruk tentang tanya Bulan yang tak terjawab.
"Kalo gue mati, abang gak sakit lagi?"
"BULAN WOY!" Suara Pandu nyaring sekali meneriaki Bulan yang terlalu dalam melamun. "Setan reog lo mana? Tumben pagi-pagi dah ngelamun."
Bulan pun bangkit, masuk ke mobil milik Panji yang tidak tahu kapan tibanya.
"Lagi makan sajen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.