"BANGTAN TOLONGIN GUE!"
"AAAAAAK AMPUN LAN AMPUN!"
Keluar dari kamar mandi Bintang sudah disuguhi oleh teriakan melengking Dhaka yang satu spesies dengan lumba-lumba.
"Astaga, kalian ngapain?!" Seru Bintang setelah menghampiri area keributan. Di sana ada Dhaka yang berbaring telungkup di lantai dan Bulan yang duduk di atas punggungnya. Mencekik leher Dhaka dengan raut yang penuh akan dendam pribadi.
"Bang, kalo gue mati, tolong kubur gue di kamar Bulan aja. Biar bisa gue gentayangin tiap detik." Dramatis sekali sampai Bulan menambah tenaganya untuk mencekik Dhaka lebih brutal.
Karena tak tega juga takut anak orang mati Bintang pun menarik Bulan menjauh.
"OHOKK, gue hampir mati." Bulan mencibir akan drama lelaki itu.
"Lo ngapain sampe kucing garong ini ngamuk?" Gantian Bintang yang mendapat tabokan dari Bulan. Entahlah, Bulan terlihat lebih sensi hari ini. Padahal Bintang yakin waktu datang bulan gadis itu belum tiba.
Dhaka mengubah posisinya menjadi berbaring telentang. Mengatur pernapasan kemudian terkikik mengejek, menatap Bulan yang masih menekuk kening. "Kalah cepet duduk di depan."
Bintang mengernyit dalam. "Itu doang? Biasanya biasa aja perasaan, malah berebut di belakang biar bisa rebahan."
"Karena duduk sampingan sama bestinya." Bulan ingin kembali mendekat kalau saja Bintang tak mengunci pergerakan gadis itu.
"Besti Bulan bukannya lo berempat?" Tanya Bintang tak paham.
"Kalo lo liat Bulan pulang sekolah bad mood atau luka-luka, ya itu karna si anu sama gerombolannya." Dhaka memberi sedikit penjelasan sampai kedua netra sipit Bintang membola tak percaya.
"Anu? Si Dena maksudnya?" Dhaka langsung mengangguk.
"Jadi itu si Dena yang itu?!" Bintang syok. Menatap Bulan yang wajahnya masih tertekuk, terlihat tak ada bantahan sama sekali. "Adik sepupunya pacarku ternyata musuh adikku. Bagus tuh dibuat sinetron." Lengan Bintang kembali menjadi samsak.
"Tapi serius, alasan dia gangguin lo apa?" Cukup lama pertanyaan Bintang menggantung tanpa jawaban, Dhaka pun berbaik hati membuka suara.
"Dena suka sama gue, atau bisa dibilang tergila-gila. Dia cemburu karna Bulan bisa deket terus sama gue. Ya biasalah cewek, kalo gak suka sama orang suka ngajak-ngajak circle."
Kening Bintang mengkerut dalam sekali. "Itu doang?"
"Ya lo maunya gimana lagi?" Tanya Bulan sewot.
"Serem banget anak zaman sekarang." Ucap Bintang miris. "Lo masih restuin gue sama Rina gak?"
Obsidian Bulan memutar malas. Sungguh pertanyaan yang tidak berbobot. "Gue gak suka sama adek sepupunya. Gak ada hubungannya sama pacar lo."
"Yaudah sih, ngamuk mulu nih bocah."
Sempat hening beberapa saat. Bulan sudah pergi ke belakang tak tahu mau apa. Menyisakan dua jantan di ruang tengah yang anteng di tempat masing-masing bersama ponselnya. Menggulir layar guna mengisi waktu yang hampa nan membosankan.
"Tumben lo gak nugas bang."
"Ya bagus dong, tandanya gue gak ada tugas. Gak ada beban yang bikin pusing kepala."
"Kuliah sepusing itu ya?" Tanya Dhaka kemudian.
"Hooh. Senengnya pas keterima doang, selebihnya moga-moga aman aja. Btw, lo kuliah di sini atau di sana?"
"Perjanjiannya kalo gue keterima sn gue di sini. Tapi kalo gak lulus ya mau gak mau di sana. Makanya lo doain gue bang, biar gue lulus sn."
Bintang manggut-manggut. "Aman, entar gue ke dukun biar lo dijamin lulus."
"Buset, kagak gitu juga."
"Btw, yang lo omongin di mobil tuh beneran?"
Dhaka menoleh dengan raut bingungnya. "Yang mana?"
"Bulan deket sama cowok." Detik itu juga Dhaka langsung terbahak tak karuan. Sampai hampir sepuluh detik kemudian lelaki itu batuk-batuk karena tersedak liurnya sendiri.
"Mampus lo ditanya apa malah ketawa." Ledek Bintang.
Dhaka meredakan tawanya lebih dulu sebelum akhirnya menjawab. "Lagian kayak gak tau Bulan aja. Temennya rata-rata kan emang cowok, ya udah pastilah dia deket sama cowok."
Benar juga apa kata Dhaka. Tapi bukan itu yang Bintang maksud.
"Bulan tuh udah jadi batu hatinya. Dia gak pernah gue liat-liat baper sama cowok."
"Gak usah jauh-jauh, sama lo atau tiga krucil itu juga gue liat-liat gak ada."
Dhaka mengangguk membenarkan. "Si Dena yang tergila-gila sama gue, padahal gubris dia aja gue kagak pernah."
"Dari pov lo sebagai cowok, Bulan tuh gimana?" Bintang mengarahkan tubuhnya ke samping tempat Dhaka duduk untuk melihat jelas ada tidaknya kebohongan.
"Berisik, ngeselin tapi baik, gayanya macem preman pinggir jalan-"
"Itu mah tanpa lo jabarin juga gue tau. Maksud gue, lo ada gak rasa sama Bulan? Rating dari nol sampe seratus."
"Dia sahabat gue bang." Jawab Dhaka gamblang.
"Jatuh cinta sama sahabat sendiri bukan dosa, Kha." Ucapan Bintang bagaikan bom nuklir berkekuatan hulk bagi Dhaka. Lidah seolah kelu untuk bergerak menjawab pertanyaan Bintang yang sebenarnya sangat sepele.
"Lo diem gini bikin gue curiga." Senyum menggoda Bintang mengundang keringat dingin di ubun-ubun kepala.
"Gak ada, pure sahabatan doang." Jawab Dhaka akhirnya. Terhitung hampir satu menit waktu yang terbuang hanya untuk satu pertanyaan saja.
Sayangnya Bintang masih belum puas. Lelaki itu diam menatap Dhaka begitu lekat. Mencoba membuat Dhaka salah tingkah dan berakhir keceplosan. Namun tampaknya pendirian lelaki Cina itu kuat juga.
"Woy Dhak kelas lo ANYING KALIAN NGAPAIN?!" Bulan histeris di samping televisi. Menatap syok Bintang dan Dhaka yang saling memandang dengan jarak yang terbilang dekat sekali. "BAHAYA GILA! MAU HOMOAN KELUAR LO PADA! GUE MASIH NORMAL!"
Bintang beralih menatap Bulan datar.
"Ini kalo tetangga denger bahaya gak sih?" Tanya Dhaka was-was. Mulut Bulan ini bocornya keterlaluan. Kalau sampai warga mendatangi rumah ini dan mereka diusir, berarti semuanya ulah Bulan.
"Nggak, udah biasa mereka."
"Gak nyangka banget gue sama lo berdua! Bang, lo selingkuhin kak Arina yang spek bidadari turun dari langit demi lumba-lumba darat ini? Bebenaran aja lo bang! Mending kak Arina buat gue aja daripada lo sia-siain."
"Si anying lebih parah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.