Robohnya Pagar Kampus

52 11 0
                                    

"Halo dedek gemes!" Bulan mengernyit lalu berlari tunggang langgang layaknya naruto. Teman-teman Bintang terlalu mengerikan untuk gadis manis nan suci seperti dirinya.

"Sore rawan tantrum, jangan dideketin." Bintang menahan wajah Galang yang baru saja ingin mengejar.

"Buset posesif amat pak."

"Udah baikan lo? Cepet amat keluar." Marcel menjadi satu-satunya yang paling benar dari circle itu memang. Karena itu dia bertanya, basa-basi sih lebih tepatnya.

"Menurut lo gue harus nginep di sana sampe mati?" Tanya Bintang sewot.

"Ciri-ciri anak kunti nih, ditanya apa jawabnya apa." Celetuk Panji dengan wajah julid yang dominan. Pergi ke dapur rumah Bintang seolah bangunan itu adalah rumahnya sendiri bersama dengan Galang.

"Lo dicariin ikan pari." Naja menoleh sekilas ke arah Bintang karena masih fokus pada permainannya.

"Lo jawab apa?"

"Bintang lagi tunangan."

Semua spontan tertawa mendengar penuturan Naja yang begitu santai. Bahkan tak ada raut berdosa sama sekali. Lelaki manis itu masih fokus menembak para zombie yang sedang mengejar karakternya.

"Anying, dosa lo anak orang lo bohongin." Ren geleng-geleng kepala dramatis layaknya dosen yang lelah dengan muridnya. "Tapi kalo si ikan pari beda cerita, dapet pahala lo. Good job nak."

"Lagian lo pake pelet apaan sampe si pari nempel-nempel terus sama lo. Gantengan gue ke mana-mana padahal." Arjun menyahut yang dibalas dengan tatapan lempeng dari Bintang.

"Kalo gue ke dukun pun gue lebih milih nyantet lo daripada pake pelet, biar muka lo burik."

"Bajingan." Umpat Arjun kesal.

"BANG, GUE KELUAR YAK!" Semua mata kompak menoleh ke suara cempreng yang mulai mendekat.

"Ke mana?"

Bulan berhenti sejenak. Menatap Bintang juga teman-temannya yang membisu seolah menunggu jawaban. "Kepo amat lo pada."

"Gak kakak gak adek, nyebelin semua ternyata." Celetuk Halan.

"Nyenyenye." Balas Bulan menyebalkan lalu kembali menatap Bintang. "Jalan-jalan sore biar bugar."

Padahal Bintang belum membalas atau sekadar mengangguk, tapi Bulan sudah menghilang lebih dulu.

"Ayo dimakan semua, jangan malu-malu." Galang datang meletakkan berbagai kaleng minuman bersama Panji yang membawa makanan ringan.

"Capek anying. Rumah lo sepanjang perjuanganku untuk dia." Galang berguling di atas karpet sambil mulutnya mulai bergerak mengunyah keripik kentang.

"Lemah," cibir Panji.

Kediaman milik keluarga Bintang tidak bertingkat memang. Tapi gantinya malah dibuat seluas dan selebar mungkin sampai ke belakang-belakang. Entah apa gunanya. Enak enggak bikin capek iya.

"Ganti rumah Tang. Capek terus gue kalo ke sini." Mulut Galang memang enteng sekali jika soal mengeluh dan mengumpat.

"Buatin, jangan ngomong doang bisanya."

Galang nyengir tak berdosa. "Tunggu semua cewek di dunia berhenti ngomong terserah."

"Buka grup." Perintah Marcel tiba-tiba yang langsung dilakukan oleh ketujuh jantan di sana. Semua mulai fokus pada ponselnya masing-masing menciptakan hening yang tidak begitu lama.

"Perasaan kampus kita kagak punya geng anak jalanan deh. Napa tiba-tiba ada yang nyerang?" Panji yang pertama bersuara.

"Bisa jadi ada, tapi kitanya aja yang gak tau." Sahut Naja lempeng.

"Tapi gila, pagar kampus yang setinggi gunung sampe roboh gini. Diapain tuh sama mereka."

"Ada yang luka, dua cewek tujuh cowok. Gila sih ini udah bahaya banget."

"Mar, ke kampus sekarang apa?" Tanya Bintang kepada Marcel.

"Lo yakin udah baikan?" Marcel bertanya balik.

"Aman, bentar gue ambil kunci motor dulu."

"Gak usah, sama gue aja." Naja mencegah. "Lo habis operasi bawa motor segede bagong. Ayo cabut."

.
.
.

Motor yang berbadan ramping saja tidak bisa menyalip masuk, apalagi mobil. Riuh bising dari banyaknya orang-orang yang tidak berkepentingan datang hingga menutup jalan. Jadilah kendaraan mereka parkir di sebuah warung, lalu berjalan masuk melewati desakan umat manusia yang haus akan rasa penasaran.

"Anjay, gue suka keributan." Galang berdecak kagum. "Coba aja pas mereka dateng gue di sini. Mau gue rekam, akun gue auto rame pasti."

"Jadi sasaran golok tau rasa lo." Sinis Ren.

"Lah, yang lain mana?" Galang celingak-celinguk saat hanya mendapati Ren seorang di sampingnya.

"Udah pada mencar. Marcel Bintang Arjun lo tau sendiri, anak bem mereka."

"Lo gak ikut? So sweet bener lo setia nemenin gue."

Wajah Ren langsung berubah datar. "Pantek." Lalu melengos pergi meninggalkan Galang yang malah tertawa tapi tetap mengekor ke mana pun Ren melangkah.

"Eh eh," Galang menepuk bahu Ren kelewat heboh. Berhasil mengundang gas elpiji pada diri pria terpendek di antara perkumpulan mereka yang notabenenya bersumbu pendek.

"Apa anjing?!"

"Itu adeknya si Bintang, ngapain tuh bocah di sini?"

Ren mengikuti arah tunjuk Galang. "Mana anying?"

"Gue lupa mata lo minus. Samperin dah." Keduanya mendekat pada sosok gadis yang berkumpul bersama dengan empat orang laki-laki.

"Heh Maemunah!" Panggil Galang yang tentu tidak mendapatkan respon.

"Namanya Bulan, tolol!" Ren dengan tangan ringannya yang menoyor kepala Galang.

"Oh iya, Bulan woy!" Bukan yang dipanggil saja yang menoleh, tapi juga empat orang lainnya ikut menyorot ke sumber suara. "Bocah ngapain di sini? Ntar kena jewer Bintang."

Bulan mengernyit. "Anda siapa yah? Kok bisa tau nama saya?"

Karena Bulan perempuan, Ren memilih untuk meraup wajah sok tak kenal adik sahabatnya itu. "Kagak usah pura-pura bego!"

Bulan mendelik sebal. "Ngepoin calon kampus. Kalian perasaan masih di rumah tadi. Ngapain sore-sore ke kampus?" Setahu Bulan sang kakak tidak pernah memiliki kelas sore. "Oh, kalian kepo juga ya? Sama sih, gue juga. Seru banget tadi liat gerombolan itu robohin pager."

"Sebagai mahasiswa yang berbakti harus siap sedia jika terjadi musibah. Abang lo juga di sini btw."

"APA?!" Salah satu lelaki yang berada di samping Bulan refleks menoyor pelan kepala gadis itu.

"Kagak usah teriak! Kuping gue belum sembuh sama suara lo tadi."

Tak menghiraukan, Bulan malah menggerutu. "Ngapain dia di sini? Bajingan, gak sadar diri padahal dia baru aja pulang." Dengan langkah yang menggebu Bulan berjalan cepat, ingin mencari si tersangka.

"Kalian temen dia?" Tanya Galang.

Empat laki-laki di sana kompak tersenyum paksa.

"Maunya sih bukan. Tapi sayangnya dia emang temen kita, walau agak malu-maluin dikit."

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang