"Rina, maaf aku tinggalin kamu. Bawa mobilnya, kamu pulang kalo udah keluar dari macet. Aku mau susul Bulan."
Arina bahkan tak diberikan waktu untuk bertanya apa yang terjadi. Bintang sudah berlari lebih dulu sekencang yang lelaki itu bisa. Melewati puluhan mobil yang terkurung tak bergerak, hingga hampir sepuluh menit Bintang akhirnya menangkap bangunan yang dia tuju. Pintu masuk tempat mobil biasanya mengambil karcis hancur lebur. Lantai satu gedung itu juga beberapanya hancur dengan beberapa bagian yang menghitam termakan api. Pemadam kebakaran masih berusaha mematikan api yang tertinggal. Polisi bersama petugas medis pun terlihat sedang mengevakuasi orang-orang untuk segera keluar.
Bintang berlari mendekat sembari obsidiannya gesit mengedar, mencari wajah yang dia harapkan ada dalam keadaan seperti saat yang terakhir Bintang lihat.
Utuh tanpa luka satu pun.
Tangannya pun tak ketinggalan untuk bergerak. Menekan nomor Bulan, menunggu dengan harapan yang besar adiknya akan segera menjawab. Namun nihil saat suara operator yang bersuara. Beralih ke nomor Dhaka ternyata sama saja.
Mendesah gusar, Bintang semakin mendekat pada pintu masuk. Tapi seperti dugaan tentunya polisi langsung mencegat. Menyuruh Bintang menunggu di luar karena api belum sepenuhnya padam.
"Tolong, jangan," lirihnya serak.
Siapa pula yang tidak negatif thinking jika dihadapkan pada kejadian ini. Dilihat dari pemandangannya saja Bintang tak kuat membayangkan seberapa dahsyat ledakan yang terjadi.
"Dek, ayo pulang."
"Bintang!" Arina datang bersama raut paniknya.
"Kenapa di sini? Pulang aja Rin, maaf aku gak bisa anter kamu."
Arina menggeleng. "Mobilnya aku taruh di depan warung sana. Aku gak akan biarin kamu kalut sendirian." Maju lebih dekat, Arina memeluk Bintang. Menarik kepala sang kekasih untuk dia usap sebagai bentuk penenang.
"Kita doa sama-sama ya."
Lalu-lalang berbagai petugas tak luput dari pandangan Bintang. Harapan itu masih besar tergantung sembari doanya terus meminta sebuah belas kasih.
Bintang hanya ingin adiknya baik-baik saja. Bintang ingin permata yang selama ini dia jaga utuh tanpa gores barang satu inci saja.
"Bulan ada di lantai satu Rin, harusnya dia bisa langsung keluar. Kenapa sampe sekarang gak keliatan juga?" Arina tak bisa menjawab. Takut jika jawabannya tak terealisasikan dan malah menjadi patah hati untuk Bintang.
Lama keduanya diam menunggu. Tapi belum tertangkap juga sosok yang mereka cari. Akhirnya Bintang berjalan kecil mengitari puluhan manusia yang tengah diobati oleh petugas medis. Arina mengikuti dari belakang, ikut membantu pencarian.
Suara memekakkan telinga tiba-tiba berbunyi. Jerit ketakutan orang-orang bertambah nyaring. Teriakan tegas para petugas pun semakin keras mengudara.
"KEBAKARAN DI LANTAI EMPAT!"
"PERCEPAT EVAKUASI!"
"PEMADAM NAIK!"
Bintang ditarik menuju ke pinggir oleh seorang petugas. "Jangan dekat-dekat, bahaya." Setelah itu sang petugas pergi membantu rekannya yang lain.
"Bangtan!" Tak sampai satu detik Bintang sudah menoleh ke sumber suara. Di sisi kirinya ternyata ada Vano yang terduduk dengan perban di kepala.
"Luka lo serius? Yang lain mana?"
Vano menggeleng. "Aman gue bang. Pandu Dhaka sama Bulan belum ketemu. Tadi kami sempet pisah. Gue sama Zen stay di tempat lomba, Dhaka nemenin Bulan ke toilet, Pandu nemuin temennya yang mau lomba."
"Zen di mana?"
"Di ambulans, masih pingsan."
Bintang menyugar rambutnya ke belakang. Seratus persen tingkat kefrustasian Bintang saat ini.
"Yaudah, istirahat aja di sini. Jangan ke mana-mana, keadaan masih belum kondusif. Rin, tolong temenin Vano ya. Aku pergi sebentar."
Toilet di lantai satu dekat dengan parkiran basement. Kemungkinan besar Bulan dan Dhaka ada di sekitaran sana.
"PANDU!" Bintang berteriak usai melihat sosok adik dari sahabatnya tengah berjongkok di dekat sebuah mobil. "Lo gapapa?"
"Gapapa, sakit dikit gak ngaruh." Pandu cengengesan sembari memegang bahu kirinya.
"Kena apa? Sampe biru gitu?" Tanya Bintang setelah menyingkap sedikit baju Pandu.
"Robohan atap. Mau lari malah jatuh kedorong bapak-bapak."
"Terus, kenapa malah mojok di sini? Ke depan banyak petugas, minta obatin."
"Bulan sama Dhaka tadi ke toilet, makanya gue tungguin di sini. Kali aja mereka langsung keluar kan. Tapi ditunggu-tunggu gak keliatan juga tuh anak berdua. Mau masuk gak dibolehin." Pandu menjawab dengan wajah memelas.
"Ke depan aja gih. Ke deket air mancur, ada Vano sama Zen di sana."
Pandu pun mengangguk. "Hati-hati bang, masih rawan."
Bintang berjalan cepat menuju pintu masuk di basement. Sesuai ucapan Pandu tadi, petugas langsung mencegat Bintang agar tidak masuk lebih dalam lagi. Diam sejenak seolah warga penurut. Namun ketika petugas sedang sibuknya dengan orang-orang yang keluar, Bintang berlari kencang menerobos masuk ke dalam.
Toilet adalah tujuan pertamanya. Bintang bahkan tak segan masuk ke area wanita karena menurutnya tak mungkin ada manusia yang menghuni di saat kejadian genting ini. Namun ternyata salah. Saat pintu toilet terujung Bintang buka, ada seorang laki-laki bertopeng joker, persis dengan yang menyerang Bulan waktu itu. Langsung menyikut ulu hati Bintang lalu melarikan diri.
"Anying, lebam gue belum ilang malah ditambah asu."
Di tengah kegiatan Bintang yang sedang menetralisir nyut-nyutan di perut atasnya, ponsel berdering tanda panggilan masuk.
"Balik sini, adik kamu udah muncul."
Tanpa berlama-lama Bintang segera keluar dari sana. Berlari hingga wujud Bulan didapatinya baik-baik saja, malah tengah bertanya panik pada Vano dan Zen yang telah sadarkan diri.
"Bul," yang dipanggil spontan menoleh. "Baik-baik aja kan? Pipinya kena gores apa? Ada luka lain lagi? Mental aman?"
Bulan meringis. "Aman semua abang, cuma kegores ujung paku doang." Jawabnya sembari tersenyum lebar guna meyakinkan Bintang yang masih terlihat cemas.
"Kalian ke mana sih? Lama banget keluar, bikin overthinking tau gak?" Tanya Vano, bersiap ingin mengomeli Bulan dan Dhaka yang cengar-cengir.
"Habis pipis kecantol minuman baru di lantai dua. Lagi nunggu minumnya jadi liat orang-orang sibuk turun dari lantai tiga sana. Pas ditanya, katanya ada yang lagi kesurupan." Jelas Bulan.
"Orang kesurupan doang kok malah kabur semua." Sahut Pandu.
"Kesurupan massal sampe ngelukain orang. Bahkan katanya ada yang dibacok sama tukang masak yang juga lagi kesurupan." Gantian Dhaka yang menjelaskan.
"Kok mencurigakan banget ya." Gumam Vano tapi masih dapat didengar oleh yang lain.
"Ntar aja mikirin itu, di sini bahaya." Bintang segera menutup topik pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Novela JuvenilBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.