Perubahan Papa

42 9 0
                                    

"BANG LO DI MANA! ABANGGG-"
"Berisik."

Bulan menelan suapan donat dari Bintang yang menghambat kerja mulutnya. "GUE MASUK KUOTA SNMPTN BANG! GIMANA INI! GUE HARUS-"

Kali ini bukan donat lagi yang Bintang masukkan. Tangannya beraksi menutup mulut gadis dengan suara cempreng memekakkan telinga. "Teriak lagi, gue iket mulut lo."

Kedua mata Bulan menyipit pertanda senyum permohonan ampun. Mengangguk patuh sampai Bintang melepaskan tangannya yang berbau sabun cuci piring.

"Finalisasi kapan?" Tanya Bintang lanjut mengunyah donat.

"Akhir bulan maret nanti. Gue harus isi apa? Apa gue isi arsitek nerusin mimpi lo? Tapi gue garisin tepi buku aja masih mencong. Oh, atau psikolog aja biar bisa baca pikiran orang? Tapi hukum keren gak sih, jadi hakim berwibawa gitu."

Bintang menyimak dengan raut datar. Bulan terus saja mengoceh panjang lebar, atau lebih tepatnya mengabsen berbagai jurusan yang ada di dunia ini. Papa yang sudah semingguan ini berdiam di rumah pun ikut menyimak dari depan pintu kamarnya. Niat hati yang ingin mengambil air untuk minum obat pun tak terealisasikan. Fokus menyimak celotehan anak bungsunya walau tahu agak kurang kerjaan.

"Udah selesai?" Tanya Bintang sembari menyodorkan gelas minumnya yang langsung ditenggak habis oleh Bulan. Haus berat sehabis mengoceh hampir setengah jam lamanya.

"Katanya mau ambil mesin kan." Papa akhirnya memunculkan diri membuat Bulan terjengkang ke bawah saking kagetnya.

"Demi upilnya bang Bintang, papa ngagetin!"

Papa mengambil alih tempat yang tadi Bulan duduki, bersampingan dengan Bintang di sofa. Bulan sendiri masih terduduk di karpet berhadapan dengan dua lelaki yang wajahnya bagai durian dibelah dua. Mirip ketiplek selain kerutan yang membedakan tentu. Papa sudah tua soalnya.

"Katanya mau ambil mesin." Papa mengulang kalimat awalnya. Mendengar itu Bulan tak tahan untuk tak mendongak dengan binar mata yang tampak begitu terpancar.

"Boleh pa?!" Tanya Bulan tak percaya. Dan gerakan kepala papa setelahnya membuat Bulan mleyot dan berakhir pingsan, pura-pura pastinya.

"Papa gak lagi sakit kan? Udah sehat kan?" Bintang bertanya memastikan. Lagi, papa mengangguk menghasilkan euforia kegirangan yang begitu terpancar di obsidian bulan sabit Bintang. Lelaki itu bahkan sampai ikut turun ke karpet dan memeluk Bulan begitu erat sebagai perayaan.

Untuk sejenak papa tertegun. Otak seolah membawa dirinya berkelana jauh ke belakang, di mana tuntutan terus dia layangkan tanpa bertanya bagaimana pendapat anak-anaknya. Melihat bagaimana senangnya Bintang dan Bulan ternyata berhasil menggetarkan hatinya sesaat.

Ke mana saja dirinya sampai baru menyadari perasaan ini?

"Maafin papa," suara yang begitu lirih spontan menghentikan gerak tubuh Bintang dan Bulan. Layaknya permainan mannequin challenge keduanya kompak mematung sampai bernapas pun seolah lupa. Tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut seorang Langit Abraham.

"Papa mengekang kalian terlalu kuat. Padahal kalian juga butuh kebebasan. Maaf papa terlambat menyadari ini. Apalagi Bintang, yang sudah terlanjur masuk ke sangkar yang papa buat."

Demi suara cemprengnya Bulan, Bintang senang sekali mendengar ucapan papa yang begitu tulus dan lembut. Ini kali pertama Bintang melihat sosok seorang papa yang sebenarnya. Biasanya hanya dapat dilihat dari papa orang lain juga film-film di televisi. Tapi kali ini, Bintang melihat jelas hangatnya tutur kata papa, dan yang ini benar-benar ditujukan untuk dirinya dan sang adik.

"Boleh peluk, pa?" Tanya Bintang ragu.

Papa tersenyum pedih sembari merentangkan tangannya. Menyambut sang anak sulung dalam dekapan yang sepertinya baru pertama kali dia berikan. Papa tentu tahu, sikap dinginnya membuat Bintang dan Bulan sungkan bahkan takut untuk sekadar mengajaknya berbincang ringan.

"Maafin papa ya nak," Bintang langsung mengangguk cepat.

"Makasih pa," ucap Bintang tulus. "Meluk papa enak ternyata."

"Ke depannya papa usahain biar bisa sering di rumah. Jadi kalian bisa peluk papa sepuas yang kalian mau."

Bulan yang tadinya masih memperhatikan dalam diam pun tak tahan untuk tak berujar kencang. "OMOOO LUCU BEGETE! MAU PELUK PAPA JUGA!"

Bintang mengira diamnya Bulan karena masih membutuhkan waktu untuk menerima papa. Tapi ternyata salah. Padahal hatinya sudah ketar-ketir, takut Bulan mengajak papa berdebat panas.

"Huhuhuuu sayang papa." Bulan Histeris usai tangan besar papa mendekapnya erat.

"Papa juga sayang kalian, sangat."

"Papa stop! Nanti aku khilaf ajak papa kabur kawin lari!"

Bintang menyentil kening Bulan. "Depresi papa kawin sama cewek jadi-jadian."

"Nyaut aja sih, situ gak diajak." Bulan berujar sinis. Mengacungkan jari tengahnya dari belakang agar papa tak melihat.

"Pa liat, Bulan kasar ngasih jari tengah ke aku."

"Mana ada! Fitnah lebih kejam dari pembullyan!"

Papa tertawa lepas. Tak ada niatan untuknya menghentikan perdebatan kakak beradik itu. Hanya sibuk mendengar dan menyaksikan apa yang selama ini dia lewatkan. Merekamnya dengan apik dalam ingatan, tentang hari yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Hari di mana manusia bodoh ini sadar akan buruknya ia sebagai orang tua.

"Mau tanya dong pa." Bulan menyudahi sesi debatnya.

"Tanya apa? Silakan."

"Papa dapet hidayah dari mana?" Tanya Bulan frontal mengundang delikan peringatan dari Bintang. Selain hobi berteriak, Bulan ini masuk ke spesies manusia yang ceplas-ceplos. Ingatkan Bintang untuk membeli lakban besok.

Sekejap papa termenung. Kedua mata yang tampak menerawang membuat Bintang merutuki Bulan dalam hatinya.

"Sebulanan ini papa terus-terusan dapet undangan. Banyak temen papa, juga orang tua di luar sana, yang ditinggal anaknya karena keegoisan mereka." Menatap sayu ke kedua anaknya yang fokus menyimak lalu tersenyum nanar. "Papa gak mau bergabung di penyesalan itu."

Bintang dan Bulan mengakui jika papa lebih lembut hatinya ketimbang mama. Papa memang dingin, tapi mama lebih kasar. Papa tak pernah sekalipun mengangkat tangannya untuk memukul, sedangkan mama kelewat sering sampai tak lagi dapat terhitung pukulannya.

Tapi sungguh, sekasar apa pun mama terhadap mereka, Bintang dan Bulan tak akan pernah bisa membenci surga mereka. Sejatinya anak tak akan dapat membenci orang tua itu benar adanya.

"Berlian, kamu pulang." Papa melempar senyum pada sosok wanita yang baru saja tiba. Mama terlihat memaku sejenak pada pemandangan yang tak pernah dia lihat dalam kehidupan rumah tangganya sebelum akhirnya terkekeh sinis.

"Wow, pemandangan yang mengharukan." Desis mama seolah tak percaya. "Kamu lagi pamitan sama anak kamu, mas? Sampe peluk-pelukan segala. Udah mau mati kah?"

"Mama," Bintang menegur pelan.

"Gak boleh ngomong gitu ma, dosa. Nanti nyeblos ke neraka." Celetuk Bulan. "Mama lagi laper ya sampe ngomong kayak gitu? Makan yuk! Kita berempat, sama-sama."

Mama terkekeh geli. "Mending saya makan sama pengemis," lalu melengos lebih dalam memasuki ruang kerjanya. Singkat namun nyelekit. Mulut mama tingkat pedasnya mengalahi cabai terpedas sedunia.

"Jadi pengemis yuk, biar bisa makan sama mama." Ajak Bulan antusias, berbanding terbalik dengan dua lelaki yang hanya terdiam nanar di tempat.

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang