"Pagi ma! Tumben masih stay di rumah. Sarapan bareng yuk."
Dikacangi.
Bulan sudah terbiasa. Alhasil gadis itu duduk seorang diri di kursi meja makan. Melahap chiki sisa kemarin sebagai nutrisi di pagi hari sebelum memulai kegiatan belajar.
"Roti ada malah makan micin." Bintang datang, terlihat sudah siap untuk mengantar Bulan sekolah.
"Micin adalah rahasia otak pintar saya." Membuang bungkusan ke tempat sampah lalu minum, Bulan menyusul Bintang ke depan. Memakai sepatunya selagi Bintang memanaskan mesin motor. Otaknya terus menerka apa yang mama lakukan di rumah pagi-pagi.
Bukan bermaksud mengusir, Bulan hanya heran. Dalam hidupnya dapat dihitung wujud mama berada di rumah pagi-pagi begini. Seperti yang diketahui wanita itu jarang sekali pulang. Sekalinya pulang itu biasanya malam hari, dan keesokannya saat Bulan bangun mama tak lagi ada. Atau di siang hari terkadang untuk mengurusi kerjaannya sampai sore, kemudian pergi lagi.
Bintang dan Bulan dirawat oleh mbah Ina sedari lahir. Seorang wanita paruh baya yang dulunya mengabadikan diri menjadi seorang biarawati. Namun tragedi mengenaskan terjadi di gereja itu. Kebakaran hebat yang melahap habis bangunan, bahkan sampai membuat wajah mbah Ina terluka seperempatnya. Dari situlah papa membawa mbah Ina ke rumah untuk mengurus Bintang yang baru lahir hingga Bulan juga hadir ke dunia. Lalu menjelang Bulan masuk ke sekolah dasar mbah Ina meninggal dunia tepat di hari kelahirannya yang ke-59 tahun. Jangan tanya bagaimana reaksi Bintang dan Bulan saat itu. Mereka bahkan tak berhenti menangis selama satu minggu penuh. Orang yang telah merawat mereka sepenuh hati lebih dari papa dan mama pergi sedangkan mereka masih belum terlalu mandiri.
Jika diingat-ingat Bulan jadi rindu. Sepertinya pulang sekolah ini dia akan mengajak Bintang mengunjungi rumah abadi mbah Ina.
Motor melaju gesit melewati ramainya kendaraan. Pagi langganan macet akan orang yang berangkat sekolah juga bekerja mengharuskan pengendara lihai menyalip jika tak ingin terlambat.
Setelah memastikan Bulan benar-benar masuk ke dalam kelas Bintang langsung pulang. Hari ini dia tidak ada kelas. Entah akan melakukan apa dia di rumah nanti.
"Loh, mama di rumah." Bintang melempar senyum manis kepada mama yang tampak begitu rapi. "Mau aku anter ke kantor gak ma?"
"Ikut saya." Bintang membeku sejenak.
Lagi?
Namun dia tak punya pilihan, dan memang tidak akan bisa memilih. Dengan berat mengikuti langkah anggun itu, masuk ke dalam mobil pribadi sang mama.
Tujuannya sama seperti waktu itu. Sebuah rumah sederhana tempat Bintang dipukul habis-habisan. Penghuninya pun juga tetap sama. Tiga lelaki dewasa dengan tampilan khas preman jalanan. Namun pukulannya jauh lebih kuat dari preman jalanan tentu.
"Silakan."
Hanya dengan satu kalimat saja Bintang dibuat pasrah. Lagi, hanya wajah bersamaan dengan kepala yang dapat Bintang lindungi. Gigitan bibir menjadi penahan ringisan yang ingin mencuat.
Sepertinya Bintang tidak bisa menjemput Bulan pulang sekolah hari ini.
"Saya suka raut kesakitan kamu." Mama berujar di tengah sakit anaknya. "Persis seperti papanya yang dulu penyakitan. Candu sekali. Namun sayang dia sudah sembuh. Sekarang kamu yang menggantikan."
Apa ini bisa disebut psikopat?
Bintang mencoba melempar senyum. Jika ini kebahagiaan mamanya kenapa tidak. Sakitnya mama saat melahirkannya lebih dari ini kan. Anggap saja sebagai pembalasan karena telah membuat mama bertaruh nyawa.
Iya, anggap saja begitu.
Kepala Bintang lindungi malah tengkuk yang dijadikan sasaran. Sakit yang semula hanya di bagian tubuh bertambah saat pusing perlahan menyengat. Sialan sekali pria-pria itu. Tidak cukup kah mereka menghantam perut dan punggungnya bagai samsak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.