Menjenguk Dhaka

30 6 0
                                    

"Bul, tau gak?"

"LANGSUNG AJA NGOMONG GAK USAH NANYA YANG GAK PENTING!" Bintang mengusap telinganya yang pengang beberapa saat. Jiwa melengking gadis itu telah kembali setelah hampir satu minggu menghilang di rawa-rawa.

"Gue punya anu."

"Kok rada ambigu ya."

Bintang berdecak. "Jorok amat otak lo, masih bocah juga."

"GUE KELAS 12 SMA! SONGONG AMAT LO MENTANG LEBIH TUA!"

"Gue punya pacar." Cepat sekali kalimat itu meluncur hingga Bulan tidak paham apa yang Bintang ucapkan.

"Yang bener ngomong tuh, lo bukan rapper!" Bulan menabok lengan berotot Bintang, tapi malah tangannya sendiri yang sakit.

"Pacar, gue punya pacar."

Raut Bulan cengo beberapa detik lalu setelahnya tampak begitu berbinar selayaknya baru mendapatkan lotre bernilai 271 triliun. "Yang cakep kemaren di mall?!" Anggukan Bintang kemudian membuat gaduh seisi rumah oleh pekikan Bulan yang kelewat nyaring.

"AKHIRNYA LAKU JUGA LO BANG!" Bulan bertepuk tangan heboh juga mengguncang tubuh Bintang begitu kuat. Bintang agak heran. Dia yang pacaran kenapa Bulan yang kesenangan.

"Tuh, lo kan dah punya pacar," raut Bulan berubah manis tiba-tiba. "Kan jadi nambah tuh tugas nganter jemput lo."

Sepertinya Bintang paham Bulan ingin mengatakan apa. "Jadi?" Tanyanya datar pura-pura tak mengerti.

"Gue sekolah bawa motor lagi."

"Gak."

"Ishh, ayo dong. Abang ganteng sedunia segalaksi seuniversal seantero jagat raya planet."

"Gak."

Bulan cemberut. Susah sekali membujuk Bintang yang sudah fix dengan keputusannya. Padahal Bulan hanya ingin menjadi wanita independen di sekolah dengan pulang pergi menggunakan kendaraan sendiri.

"Pesan teror masih dapet?"

Bulan menggeleng cepat. "Lagian nih ya, korban yang dibunuh itu semuanya ditemuin di sekolah. Lo nganter jemput gue pun gak ada guna kalo misal, amit-amit nih, gue kena pas masih di jam belajar."

"Mulutnya." Tegur Bintang tak suka.

"Kan gue bilang amit-amit. Lagian umur gak ada yang tau. Seandainya gue-"
"Stop, gak usah bahas lagi. Lo tetep gue anter jemput."

Bintang meninggalkan Bulan pergi ke teras rumah. Sudah lama dia tidak berdiam menatap langit malam karena tugas yang mengekangnya dengan begitu posesif.

Namun sedang tentramnya Bintang bersantai, Bulan datang dengan begitu grasak-grusuk.

"Bang, tolong, sumpah, izinin gue pergi plis."

Alis Bintang mengkerut. "Udah malem gini mau ke mana?"

"Dhaka masuk rs bang! Gue pergi sama Pandu kok, plis izinin gue." Raut Bulan tampak begitu memohon. Ingin menolak pun Bintang tak tega. Bulan bersama empat sahabatnya memiliki hubungan yang begitu erat layaknya saudara. Satu terkena masalah, semua pasti akan membantu.

"Tuh Pandu dah dateng, boleh ya?" Bintang bisa apa selain mengangguk. "Makasih abang!" Bulan mencium punggung tangan Bintang secepat kilat dan berbalik ingin berlari. Namun tangan Bintang lebih gesit menahan.

"Ambil jaket dulu. Udah malem gini masa pake kaos doang."

Tanpa membantah Bulan berlari ke dalam, lalu dengan kilat sudah keluar bersama jaket di tangannya. Masuk ke dalam mobil milik Panji yang dikendarai oleh Pandu.

"Siapa yang nemuin Dhaka?" Tanya Bulan di sunyi perjalanan.

"Zen. Katanya dia mau nginep, tapi malah nemu Dhaka ngeper di lantai. Kemungkinan udah lama si Dhaka pingsan."

Bulan berdecak. "Lewat makan lagi pasti tuh anak."

Sampai di ruangan yang telah Vano beritahu, Bulan langsung saja membuka kasar ruangan itu dengan raut garang seolah siap menelan mangsa apa pun yang dia lihat.

"Iya maaf, jangan omelin gue lagi. Udah cukup sama Vano kok." Dhaka langsung menangkup kedua tangan di depan dada bersama raut minta dikasihani. Cukup tersentuh, Bulan menelan semua sumpah serapahnya walau raut garang masih menetap di wajah.

"Ada masalah apa, Ka?" Walau tengil begitu, Zen adalah orang yang paling peka di lima sekumpulan. Bertanya dengan pandangan lembut agar Dhaka tak merasa dipaksa.

"Sepele doang kok. Mereka suruh gue pulang, pindah ke sana. Ya gue gak mau. Tinggal berapa bulan lagi kita sekolah malah disuruh pindah gitu. Lagian rumah gue di sini, sama kalian, bukan di Cina sana."

Definisi bahagia tidak melulu tentang uang ya seperti Dhaka ini. Kekayaan yang bisa menurun ke sepuluh turunan bahkan lebih tidak membuat Dhaka bahagia sama sekali. Kehadiran orang tua di rumahnya yang bisa dihitung jari membuat Dhaka si anak tunggal hanya bertemankan sepi. Dan sekalinya pulang, mereka hanya ingin melihat angka berapa yang Dhaka dapatkan. Setelah itu marah-marah saat angkanya tidak sesuai dengan ekspektasi disertai hujatan penuh akan Dhaka yang nanti akan menjadi pewaris kekayaan orang tuanya. Dirasa Dhaka ini keturunan Albert Einstein yang pintarnya kelewatan kali ya.

"Reaksi mereka habis lo tolak gimana?" Tanya Pandu.

"Kayak biasa, dihujat habis itu langsung dimatiin telfonnya. Kayaknya mereka capek punya anak kek gue." Dhaka tertawa geli guna menutupi getirnya. Padahal itu sama sekali tak berguna. Mereka semua tahu sedihnya selama ini.

Lantas tanpa dikomando semua bergerak maju. Mengepung Dhaka dalam sebuah peluk hangat yang tak pernah lelaki keturunan Tionghoa itu dapat dari orang tuanya.

"Omooo lucu kali kita kayak teletabis." Zen menggoyang pelukan mereka dengan begitu heboh hingga Vano turun tangan untuk menabok wajah Zen agar berhenti.

"Sejahat apa pun mereka, LO JANGAN JAHATIN DIRI LO SENDIRI JUGA SETAN!" Bulan berteriak murka. "Sekali lagi lo masuk rumah sakit karena lewat makan lagi, gue tebas titit lo detik itu juga." Ancam Bulan sadis.

Tiga lainnya terbahak puas melihat raut cemas Dhaka yang sedang memikirkan masa depannya jika Bulan benar-benar menebas miliknya. Gadis itu kenapa menakutkan sekali jika memberi ancaman.

Apa semua perempuan seperti itu? Dia jadi takut sendiri kalau-kalau ingin mencari pacar.

"Ampun baginda ratu, diusahain deh kagak lagi."

"Makanya nurut. Udah berapa kali kita ingetin buat lo jangan skip makan. Magh sama aslam lo udah kronis Ka, bukan yang biasa. Siapa lagi yang mau sayang sama lo kalo bukan diri lo sendiri." Vano kembali menasihati. Rasa-rasanya masih kurang untuk Vano mengomeli telinga bebal sahabatnya itu.

"Iya sahabat-sahabatku tercinta," jawab Dhaka patuh. "Kalian berdua gak mau pulang?" Tanyanya mengarah kepada Pandu dan Bulan.

"Lihat manusia tak tahu diri ini. Kita capek-capek sambil panik setengah mati buat liat tuh anak masih hidup apa kagak, udah ke sini dianya malah ngusir." Pandu menjulid sembari menyikut lengan Bulan yang ada di sampingnya.

"Tau tuh, gue kirim santet juga lama-lama."

"Bukan gitu maksudnya," Dhaka berdecak gemas. "Udah ah gak jadi. Nginep aja lo di sini bareng sama kunti."

"Dhaka asu jangan lo sebutin tolol." Vano melotot geram. Dia memang cukup sensitif dengan hal yang berbau mistis. Satu yang datang bulu kedua tangannya spontan akan meremang. Jika banyak yang datang, setubuh-tubuh Vano akan merinding gemetaran. Tapi walau sensitif begini Vano itu penakut akut dengan yang namanya setan.

"Bajing, tangan gue merinding sat!"

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang