Tungkai Bintang terus mengayun menyusuri tiap-tiap bagian dari rak buku. Mata mengintai secara teliti mencari barang yang harus dia beli untuk keberlangsungan tugas yang hampir mendekati deadline.
Aroma buku baru yang memabukkan seolah memperlambat gerak Bintang dalam mencari. Andai ada pengharum ruangan beraroma seperti ini, Bintang akan membelinya untuk kamar beserta gudang tempatnya menggambar.
"Ini dia."
Usai mendapat sebuah buku dan membayar Bintang melipir ke kedai. Numpang ngadem sekaligus menghabiskan waktu membaca buku baru selagi menunggu jam pulang sekolah Bulan, juga memberi gaji bulan ini untuk ketiga karyawannya.
Sedang serius-seriusnya membaca, suara grasak-grusuk dari belakangnya memecah konsentrasi. Kumpulan gadis jika sedang berkumpul memang tidak bisa tenang.
"Maaf guys telat, macet banget tadi depan SW."
Bintang spontan menajamkan pendengarannya saat menangkap nama sekolah adiknya disebut.
"Kenapa tuh? Belum jam pulang mereka perasaan."
"Gak tau, tapi ada ambulans sama mobil polisi di sana. Ada pembunuhan lagi itu kayaknya."
Tak perlu menguping lebih lama untuk membuat Bintang langsung berlari keluar. Berpamitan pada Ningsih dan kawan-kawan pun Bintang sampai lupa. Membawa motornya melaju cepat ke sekolah Bulan yang tidak jauh dari letak kedainya. Dan benar, jalanan di sekitar Student World High School begitu padat kendaraan.
Jalan pintas yang terlintas di otaknya hanya satu, yaitu berjalan. Bintang meletakkan motornya terlebih dahulu di depan sebuah toko bangunan kemudian berjalan cepat melewati puluhan kendaraan. Masuk ke area sekolah, gantian kerumunan manusia pula yang harus Bintang lewati.
"Maaf bu mau tanya, ini ada apa ya?" Tanyanya pada seorang wanita yang diperkirakan tinggal di dekat sekolah dilihat dari baju dasternya.
"Ada yang meninggal lagi."
Ucapan perempuan tadi benar ternyata. Usai mengucap terima kasih Bintang dengan gesit menyalip di padatnya kerumunan. Mencoba meletakkan dirinya semakin maju supaya lebih mendekat pada bangunan sekolah sekaligus mencari wujud Bulan.
Di jam sekolah yang belum usai ini Bulan terbiasa memasang mode senyap pada ponselnya. Karena itu, akan sia-sia untuk Bintang menghubungi Bulan ditambah dengan ramainya suasana. Orang bertelinga tajam saja akan budek dadakan di tempat ricuh ini.
"Buset, sirup marjan." Bintang geleng-geleng kepala usai menatap ke sebuah genangan merah yang tercecer di tanaman sampai ke tanah aspal. "Tuh bocah ke mana dah." Bintang belum dapat bernapas lega jika belum bertemu Bulan. Pesan teror itu tak bisa diabaikan. Amit-amit sampai Bulan juga menjadi korban.
"Halo abangnya Bulan!" Sapa Zen ceria. Entah datang dari mana anak itu, tahu-tahu sudah ada di samping Bintang saja. "Cari Bulan pasti. Masih kejepit di lautan manusia dia. Tau sendiri tuh anak keponya selangit."
"Dipulangin kan?" Zen mengangguk membenarkan.
"Udah dari sejam yang lalu disuruh pulang. Tapi yang namanya manusia, belum puas kalo belum liat langsung." Zen beralih mengambil ponselnya, mulai memotret genangan sirup marjan untuk dia kirim ke grup chat sekawanan.
"Dah, gue duluan ya Bangtan. Mau cepet rebahan. Dunia ini terlalu sumpek untuk diriku sang introvert." Bintang mendelik sambil berlagak ingin muntah. Introvert sekali memang anak itu jika dilihat dari planet pluto.
Karena lelah terdorong ke sana kemari Bintang beralih menyingkir ke depan pintu kelas. Matanya tetap awas mencari presensi Bulan yang masih berjuang di kerumunan sana sembari otaknya memikirkan sesuatu.
Sekolah yang adalah tempat menuntut ilmu, berubah menjadi ajang pencarian korban. Dunia makin ke sini makin mengerikan. Apa yang diinginkan si pelaku sampai menghabisi nyawa anak sekolahan dengan begitu enteng. Gabungan tim investigasi besar-besaran yang dibentuk oleh pemerintah saja belum menemukan setitik pun jejak. Jika terus dibiarkan begini lama-kelamaan murid kelas akhir akan habis. Ingin memindahkan Bulan ke sekolah lain pun tanggung. Hanya tersisa satu bulan lagi gadis itu aktif di kelas. Sisanya tinggal menunggu pengumuman snmptn. Pun jika ingin pindah ke sekolah lain juga sama, sama-sama memakan korban.
"Bintang?"
Lamunannya terhenti oleh rasa kaget melihat sosok gadis cantik yang ternyata adalah kekasihnya. "Lah, kamu kok di sini?" Tanya Bintang kaget.
"Jemput adek sepupu." Arina pun sama kagetnya dengan Bintang. "Mau jemput Bulan?"
"Iya. Terus, udah ketemu sama adekmu?"
"Belum."
"Sama kalo gitu.""Banyak banget pembunuhan akhir-akhir ini ya. Tante aku cemas banget tiap anaknya berangkat sekolah." Arina membuka topik.
"Aku sehati sama tante kamu." Bintang tertawa getir. "Di sekolah bukannya aman malah moga-moga selamat."
"Sepupu aku ini dibekalin sama ortunya semprotan cabe. Jadi kalo ada yang jahat tinggal semprot aja matanya."
"Boleh juga tuh. Antisipasi penting di saat-saat kayak gini. Besok mau aku bekalin pisau aja si Bulan."
"Kak Arin!" Seorang perempuan berlari mendekati keduanya. "Udah lama nunggu?"
"Enggak terlalu kok. Bintang, aku duluan ya."
Bintang mengangguk. "Hati-hati sayang." Ucapnya tanpa suara membuat Arina salah tingkah. Sepuluh detik Bintang memandangi punggung Arina yang semakin menjauh, sebuah tangan menepuk pelan bahunya sembari berbisik.
"Serius banget liatin mbak pacar." Bintang tak perlu menoleh untuk mengetahui suara menyebalkan siapa itu. "Yang sama kak Arina tadi adeknya kah?"
"Hooh, sepupu. Kenal?"
Bulan mengangguk pelan. "Ayo pulang, capek gue sekolah di sini."
Bintang menggenggam pergelangan tangan Bulan, mulai menerobos kerumunan. Hampir sepuluh menit lamanya waktu yang mereka butuhkan untuk sampai ke letak motor berada. Bulan sendiri terlihat tak banyak protes. Padahal biasanya gadis itu akan misuh-misuh lantaran harus berjalan sejauh jalan kenangan dengan penuh rintangan.
Sepertinya gadis itu jujur saat mengatakan lelah bersekolah di sana.
Bintang pun tak ambil pusing. Melajukan motornya dengan cepat agar bisa segera sampai ke rumah dan menyelesaikan tugas kuliahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.