Mengungsi di Kosan Elite

39 9 0
                                    

Pantulan bola basket yang tampak tak bertenaga menjadi pemandangan di sepinya lapangan sekolah. Bulan menghela napas berat usai bola dia lambungkan masuk ke dalam ring. Duduk begitu saja tanpa peduli jika roknya akan kotor, mengingat besok rok ini masih dipakai.

Bosan, Bulan sangat bosan.

Ingin pulang pun tanggung karena 40 menit lagi dia harus ekskul. Ingin bolos tapi ini ekskul terakhir untuk kelas akhir. Pelatih juga pembina mengecam agar tidak ada yang tidak hadir hari ini atau mereka akan disumpahi tidak masuk kuota snmptn.

Buruk sekali kan sumpahnya.

"Yahaha ada yang masih ekskul." Bulan menoleh, menatap sinis laki-laki yang datang dari arah selatan duduknya.

"Bacot."

Dhaka mengambil tempat di samping Bulan yang masih saja sinis. "Basket dong, udah lepas dari dua minggu yang lalu."

"Gue robek juga mulut lo lama-lama!" Bulan menarik rambut Dhaka. Sekilas sih, namun berhasil membuat Dhaka mengerang sakit.

"Ikut gue aja yuk."
"Ke mana?"
"Kosan gue."

Dhaka memang anak rantauan dan hanya tinggal seorang diri di sebuah apartemen. Namun karena Dhaka anak baik dan tidak sombong, maka dia lebih sering menyebutnya sebagai kos-kosan.

Beri tahu Bulan kos-kosan mana yang harga perbulannya hampir mencapai 20 juta.

"OH TIDAK GUE MASIH PERAWAN!" Kedua tangan Bulan menyilang di depan dada seperti seorang gadis yang hendak dijahati. Membuat Dhaka spontan menyentil kening Bulan geram. Gadis itu suka sekali berburuk sangka.

"Otak lo liar anying. Ada anak-anak juga di sana. Ya kali gue bawa lo sendirian."

"Ya udah, AYO GAS!" Bulan dengan semangat bangkit berlari menuju ke motor Dhaka yang teronggok begitu saja di dekat pagar.

"CEPAT KA, BUMI INI PANAS! VAMPIR SEPERTIKU TIDAK TAHAN DENGAN SEMUA INI!"

Part yang kesekian Dhaka malu menjadi teman Bulan.

.
.

"Dasar manusia-manusia tak berguna." Bulan geleng-geleng kepala miris menatap tiga laki-laki yang rebahan asal di atas karpet. Mirip seperti ikan asin yang dijemur di tengah terik matahari.

"Kayak lo berguna aja." Cibir Pandu julid.

"TUAN MUDA DHAKA, KAMI LAPAR!" Zen menjerit girang usai mendapati wujud Dhaka yang baru saja masuk dan menutup pintu.

"Ambil sendiri nyet. Manja amat lo, biasanya juga langsung ambil."

"Kalo ada pun kami gak akan diem gini wae kayak ikan tanpa air, tuan." Vano menyahut lempeng.

"Sumpah? Gak ada apa-apa?" Tanya Dhaka kaget. Pergi ke dapur untuk mengecek dan benar, tidak ada isi di dalam sana. Hanya ada beberapa buah tomat dan berbagai jenis susu kotak saja.

"Lo gak makan berapa tahun sampe gak tau isi kulkas sendiri?" Tanya Vano sinis. "Udah tau punya magh, masih aja suka males makan. Gue jual juga lambung lo lama-lama."

"Hayo loh, diomelin Vano." Bulan mengompori.

Dalam persahabatan empat lelaki dan satu perempuan itu, semua tentu punya posisinya masing-masing. Dhaka seperti seorang ayah yang royal membelanjakan anak-anaknya, Vano si Asian Mom yang brutal namun perhatian, Pandu yang meriang jika sehari saja tidak julid dan gosip, Zen yang suka membuat orang naik darah, dan Bulan si gadis pemarah yang suaranya melengking sampai ke penjuru planet.

Saling melengkapi sekali bukan.

"Gue pesen makanan kok." Cicit Dhaka.
"Kapan terakhir?" Vano berujar tajam.

"Kemarin siang," suara anak ayam saja masih lebih besar. Vano terlalu menyeramkan untuk dihadapi.

"AMPUN TUAN MUDA VANO GAK LAGI-LAGI!"

Aura Vano yang seperti emak-emak kehilangan tupperware ini membuat Dhaka cepat-cepat bersujud ampun. Vano mode maung bikin orang-orang pengen sungkem memang.

Yang lain tidak berbuat apa-apa sama sekali selain tertawa. Lumayan menghibur diri akan drama rumah tangga satu ini.

"Cepet pesen makan!" Perintah Vano yang segera diangguki oleh Dhaka.

Sembari menunggu pesanan tiba kelimanya tenggelam dalam obrolan. Kebanyakan tentang masa depan karena status mereka yang beberapa bulan lagi lepas dari sebutan 'anak SMA'. Hingga dering ponsel Dhaka bersuara dari nomor tak dikenal yang sudah pasti petugas delivery.

"Gue aja yang ambil." Bulan bangkit dan berlari keluar dari apartemen. Turun ke lantai yang paling bawah tempat pengantar berada.

"Dhaka pak?" Pria tua itu membenarkan. "Makasih ya pak, ini tip buat bapak. Sehat selalu pak!" Bulan ini anak baik tentu. Walau tingkahnya terkadang agak nyeleneh, namun hatinya tetaplah hati seorang perempuan yang lembut bagaikan pantat bayi.

Kaki ingin berbalik melangkah, namun pandangnya kontan menyangkut ke satu arah ketika menangkap wujud yang begitu dia kenali. Pemandangan yang sering sekali Bulan lihat, namun tak pernah Bulan umbar kepada siapa pun sejak kelas lima sekolah dasar yang lalu.

Mamanya bersama pria lain.

Mungkin terkesan egois dan jahat mengingat papa dan Bintang yang tidak tahu-menahu tentang ini. Bulan seolah membiarkan keduanya, terlebih papa yang merupakan suami sah mama dikhianati selama tujuh tahun belakangan. Tapi sebagai seorang anak, siapa pula yang ingin orang tuanya berpisah. Tidak apa-apa jika mereka selalu ribut, juga tidak apa-apa jika mereka jarang pulang. Setidaknya Bulan masih dapat melihat wujud orang tuanya pulang ke rumah walau hanya sesekali.

"Lupain, ayo lupain." Bulan memukul kepalanya lalu mulai melangkah. Kasihan empat jantan itu sudah kelaparan.

"Kok lama, Lan?" Tanya Vano.
"Bapak delivery-nya ada dua di bawah. Sempet salah ambil soalnya bapaknya iya-iya aja." Lancar sekali dusta gadis itu.

Bertemankan serial Masha and the Bear mereka menikmati makan siang. Sesekali ricuh suara Zen dan Dhaka yang berdebat tentang Masha yang tak kunjung besar. Atau beruang yang seolah tidak memiliki hasrat untuk melahap manusia kecil itu.

"Lo berdua ribut gini gak ada manfaatnya. Mending datengin langsung produsernya, suruh buat alur cerita baru." Pandu yang bosan mendengar bacotan sahabatnya menyeletuk.

"Gak bisa bahasa Jerman." Zen menjawab lugas.

"Masha bukannya dari Afrika?" Tanya Pandu tak yakin dengan jawaban Zen.

"Masha dari bojong gede udah." Vano menyudahi sesi pertanyaan. Dirinya sulit mencerna tontonan karena suara bising yang tak berfaedah.

"Lo banyakan melamun daripada makan. Mikirin apa sih?" Zen mencuil sedikit lengan Bulan, namun agaknya terlalu mengejutkan untuk gadis itu sampai tersentak begitu kaget.

"Hah? Apa?"

Semua pasang mata menyorot kepada Bulan seolah baru saja menangkap basah seorang maling. "Apa sih liat-liat!" Sentak Bulan lalu kembali makan, bersikap seolah tak ada apa-apa yang mengganggu.

"Gue pergi ye, mau ekskul." Bulan bangkit usai membereskan bekas makannya.

"Jalan?" Tanya Pandu yang diangguki oleh Bulan.

"Ka, pinjem hoodie. Bumi so hot."
"Ambil di lemari."

Masuk ke kamar Dhaka lalu mengambil apa yang dia butuhkan. Bulan berpamitan dan keluar dari area apartemen tingkat sepuluh itu. Berhenti lagi di tempat dirinya memergoki mama, ternyata sudah tak ada.

"Maaf pa."

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang