"Mau ngapain ke sini?"
Bintang melepas sabuk pengaman terlebih dahulu. "Beli stok jajan di rumah. Lo kan gak bisa hidup tanpa jajan."
"Ett, biar gue aja." Bulan menahan tangan Bintang yang baru saja ingin membuka pintu mobil.
"Lo tunggu sini, biar gue yang beli."
"Gue aja!"
"Emang kenapa sih?"
"Pokoknya gue aja."Malah berakhir dengan keduanya turun untuk membeli beberapa makanan ringan. Bintang tersenyum tipis saat Bulan berjalan mendahuluinya. Padahal tinggal bilang khawatir karena dirinya juga baru keluar dari rumah sakit setelah tiga hari dirawat. Bintang sudah paham sekali, namun Bulan masih saja sok-sokan gengsi.
Usai mendapat banyak makanan ringan dan es krim keduanya melanjutkan perjalanan.
"Temen gue pada mau dateng." Ucap Bintang sesampainya mereka di rumah.
"Yang kemaren?"
"Bukan, yang biasa."
"Ishh, berisik dong."Bintang menghadapkan ponselnya yang telah berada di aplikasi kamera ke depan wajah Bulan.
"Kenapa?"
"Ngaca."
"Monyet."Bintang terkikik geli akan wajah Bulan yang begitu masam.
"Bang,"
"Hm?"Menunduk guna memandang gadis yang tengah berbaring telungkup di karpet, Bintang bertanya lagi. "Apaan?"
"Sekolah gue ditantang sama si anu, apa ya nama sekolahnya. Pokoknya sekolah swasta. Ditantang balap-"
"Gak."
"BELUM SELESAI!"
"Gak."
"Lo dulu balap liar tuh." Bulan mengganti posisinya menjadi duduk. Melipat kedua tangan di depan dada sembari mendongak menatap lurus Bintang yang duduk di sofa.
"Karena gue pernah ngalamin. Gue udah liat berbagai kemungkinan buruk yang bakal lo dapet dari balapan. Cukup di gue aja, lo gak usah."
"Kalo gue tetep mau balapan?"
Alis Bintang menukik tajam. Bulan cukup keras kepala, sama seperti dirinya. "Kalo gue bilang nggak ya jangan dilakuin. Ini buat kebaikan lo juga."
"Lo bisa ngelakuin apa aja, kenapa gue gak bisa? Gue punya hak atas diri gue sendiri." Bulan yang masih belum menyerah berhasil memancing darah tinggi Bintang. Seperti penjelasan dokter kemarin lusa, salah satu efek donor ginjal ya hipertensi atau darah tinggi, dan Bintang mengalaminya sekarang. Terbukti dengan kepalanya yang mulai berdenyut nyeri.
"Jangan ngebantah." Kernyitan tak suka itu semakin dalam. Tetapi memang dasarnya Bulan bebal, gadis itu seperti tak ada takut-takutnya dengan raut garang Bintang.
"Lo juga ngebantah waktu gue bilang gak usah transfer ginjal lo. Tapi tetep aja lo lakuin tuh. Apa karena gue lebih muda dari lo, jadi lo menganggap pendapat gue gak ada gunanya?"
"Ginjal ini gue kasih buat papa, bukan orang lain. Lo kenapa sih hari ini?" Sungguh, perdebatan ini membuat Bintang mual seperti ibu hamil.
"Buat papa? Lo gak ada mikirin diri lo sendiri? Efek sampingnya, hidup lo ke depan, lo gak mikirin itu semua? Hidup dengan satu ginjal, lo yakin bakal baik-baik aja?"
"Dek," intonasi Bintang memelan namun penuh penekanan. "Gue cuma punya lo di rumah ini." Lirih suara selanjutnya berhasil menarik kedua sudut bibir Bulan.
"Gue juga cuma punya lo. Tapi lo seolah nganggep gue bocah yang pendapatnya gak penting sama sekali."
"Dek, udah ya."
Mata Bulan mengerling sarat akan kejahilan. "Misi berhasil. Ternyata eksistensi gue di dunia ini masih ada gunanya ya."
Bintang terperangah.
"Gue gak bener-bener mau balapan kok. Cuma pengen ngajak debat dikit, lagi gabut." Ujaran yang kelewat santai dengan tawa puas di akhir membuat Bintang melemas seketika.
"Gabut lo bikin gue hipertensi."
Bulan bangkit lalu melompat naik ke atas sofa. "Ouh, gue lupa. Sini-sini sayangku, kepalanya pusing ya?" Karena Bulan adik yang baik, maka dengan sepenuh hati dia menepis tangan Bintang untuk mengambil alih peran pijat kening.
"Jangan kira gue gak tau ancaman papa. Dia bilang bakal minta ginjal ke gue setelah ulang tahun gue yang ke-17 kalo lo gak mau, kan? Makanya lo iya-iya aja tanpa perlu pikir panjang."
Bintang tersenyum tipis. "Itu cuma ancaman belaka doang. Nungguin lo tujuh belas tahun masih empat bulan lagi. Takutnya keburu is dead."
Bulan tak lagi berbicara, terus memijat kening Bintang dengan tatapan menerawang. Memikirkan nasibnya ke depan karena sekolahnya tidak akan lama lagi. Semester genap seolah numpang kentut saja saking singkatnya.
Sebelum operasi papa sempat memberi pesan untuk memastikan jika Bulan belajar dengan benar. Kalau bisa masuk ke salah satu kuota snmptn. Sebenarnya Bulan sangat percaya diri jika dirinya akan menjadi salah satu yang masuk ke dalam kuota snmptn dari dua puluh enam anak kelasnya. Mengingat jika dirinya tidak pernah keluar dari tiga besar, walau bukan rank pertama berturut-turut. Tetapi jika menuruti kehendak papa yang ingin kedokteran, Bulan yakin dirinya tidak lulus.
"Mau ambil jurusan apa?"
Bulan spontan mendelik. Bintang seolah membaca otaknya yang tengah kusut.
"Entah."
"Dari hati lo yang paling dalam, lo maunya apa?"
Lagi, Bulan membungkam. Selama ini hidup mereka selalu diarahkan oleh dua orang dewasa alias papa dan mama. Tak peduli jika mereka tak mau, orang dewasa itu akan terus memaksa. Seperti Bintang yang dengan paksaan keras mengambil teknik pertambangan untuk meneruskan perusahaan papa.
"Maunya papa sama mama beda. Jadi gue gak tau."
"Gue tanya hati lo, bukan maunya mereka."
Bulan malah cengengesan. "Gak tau, gue gak punya cita-cita. Gak punya mimpi yang mau gue gapai. Terserah mereka aja gue mau ke mana."
Bintang mengangguk. "Papa minta apa?"
"Dokter," jawab Bulan malas. "Tapi gue gak mau. Apalagi lewat jalur snmptn. Yakin seratus persen gue gak lolos."
"Kalo mama?" Tanya Bintang lagi.
"Manajemen bisnis, biar nerusin perusahaannya."
Bintang mengangguk lagi. Sebenarnya dia sudah tahu karena sempat menyaksikan pertengkaran papa dan mama satu minggu yang lalu. Papa yang bersikeras anak bungsunya menjadi dokter, dan mama yang juga tak mau kalah agar Bulan menjadi penerus perusahaan keluarga besarnya.
"Kemauan kamu sudah dituruti sama Bintang untuk menjadi penerus usaha tambang kamu. Sekarang giliran aku yang mengarahkan Bulan!"
Seruan sang mama kembali teringat. Bintang kadang heran. Apa tidak lelah mereka bertengkar seperti itu. Sudah keduanya jarang bertemu karena pekerjaan masing-masing, tapi sekalinya bertemu malah sibuk beradu mulut.
"Lo pasti ada tergiur sama jurusan lain Bul, impossible gak ada." Bintang menurunkan tangan Bulan dari keningnya guna menatap lurus ke kedua netra sang adik.
Bulan meneguk liurnya susah payah. Agak malu sebenarnya.
"Teknik mesin," berakhir dengan cicitan kecil seperti suara anak ayam yang keluar.
"Lo mau jadi tukang bengkel?!" Nada kebahagiaan terdengar begitu jelas. Bintang kegirangan sendiri. Ternyata Bulan masih sadar apa yang hatinya inginkan terlepas dari tuntutan papa dan mama selama ini.
"Ishh, mesin gak cuma jadi tukang bengkel!" Seru Bulan tak terima. Bintang tertawa puas sembari mengacak-acak rambut Bulan gemas.
"Bercanda, ambil itu aja udah."
Bibir Bulan langsung maju beberapa centi. Saran Bintang terdengar begitu mustahil untuk dilakukan.
"Nanti kita coba ngomong sama mereka baik-baik ya. Gak ada yang mustahil di dunia. Seenggaknya kita berusaha dulu." Ucap seorang kakak yang sedang memberikan semangat untuk adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Fiksi RemajaBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.