Jika salah satu sahabatmu aku bunuh, gimana?
Lima onggok manusia berkumpul dengan raut yang sama resahnya di kediaman Bulan. Tepat di pukul 12 siang tadi Bulan, Pandu, dan Zen mendapat pesan teror dengan isi yang sama.
Apa tidak makin ketar-ketir mereka.
"Santai dulu ges, bisa jadi dia cuma ngancem doang kan. Toh kita sekolah gak sampe sebulan lagi." Dhaka menenangkan yang langsung mendapat serangan dari tiga serangkai.
"PALA LO SANTAI!"
"Targetnya sekarang ini fix lo sama Vano, dan lo suruh kami santai?"
"Babi, santai hidung kau segitiga."
Dhaka meringis. Bahkan Zen yang biasanya cengar-cengir pun sampai ikut menghujatnya.
"Kalo lapor polisi gimana?" Semua kontan menoleh pada satu-satunya perempuan di sana.
"Gak yakin bakal digubris," sahut Pandu frustasi. "Cuma pesan gini mah buat mereka nganggep ini candaan doang. Harus ada info atau kejadian yang lebih valid biar mereka percaya kalo ini teror asli."
"Tapi kita gak bisa diem aja. Dhaka sama Vano diincar. Kita gak tau apa yang bakal pembunuh ini lakuin di saat mereka gak lagi sama kita!" Catat, ini pertama kalinya mereka melihat Bulan sepanik itu.
Pandu mengacak rambutnya gusar. Pembunuh ini terlalu meresahkan. Andai Pandu tahu siapa orangnya, akan dia santet detik itu juga.
"Tapi dua orang ini bukan sembarang bocah," celetuk Zen agak sumringah. "Pembunuh sekejem apa pun, pasti milih dulu mau ngincer siapa. Lah Vano sama Dhaka, yang bonyoknya bukan orang biasa, gue kalo jadi dia mundur sih. Mending gue bunuh orang biasa aja."
Pandu mengangguk-angguk, ada benarnya juga ucapan Zen. "Tapi tetep gak bisa tenang gue anjer!"
"Widih, rame."
Semua mata beralih pada gerombolan laki-laki yang baru saja tiba.
"Pada ngomongin apa? Serius amat sampe belum pada ganti baju gini." Halan menjadi yang pertama mendekat.
Bulan segera mengambil ponsel milik Pandu dan Zen, meletakkannya ke atas meja dengan sejajar tak lupa juga ponselnya. "Lagi," nada lemas itu mengundang Bintang dan kawan-kawan mendekat.
"Gue kira udah selesai." Ucap Galang miris.
Semuanya pun terdiam. Tiga belas orang dalam satu ruangan biasanya sudah ribut tak karuan. Namun ini benar-benar sunyi. Hanya suara jarum jam yang berdetak di tiap detiknya saja yang terdengar. Masing-masing dari mereka sibuk berpikir tentang jalan keluar yang setidaknya bisa sedikit membantu. Juga menerka-nerka apa yang akan terjadi jika mereka menganggap ini hanyalah angin lalu.
"Coba bantuan polisi." Naja yang pertama buka suara. "Bentar gue telfon bokap dulu."
Suara Naja menjadi satu-satunya yang terdengar. Semua kompak diam memperhatikan lelaki berparas tampan plus manis plus berbumbu cantik itu berkutat pada ponselnya. Tak lama, selesai menelepon sang ayah Naja diam sebentar sambil menekan-nekan layar ponsel, kemudian berbicara lagi.
"Halo om, aku ganggu gak nih?"
"Tau aja si om. Ini, om tau kan kasus pembunuhan anak kelas dua belas akhir-akhir ini?"
"Tiga adekku dapet pesan teror. Udah dari lama sih. Tapi yang kali ini ada unsur ancamannya. Ya pada takutlah anak orang."
"Maksudku adeknya temen aku. Sejak kapan pula papa mau angkat anak baru, ngadi-ngadi aja."
"Aku kirim ya. Langsung kabarin kalo ada hasilnya. Oke malam om, jangan lupa samperin bininya di rumah."
Naja berbalik lantas tertawa. Wajah orang-orang di sana mirip seperti bocah yang sedang menguping suara-suara aneh dari kamar orang tuanya.
"Cengo banget muka lo pada." Naja kembali bergabung duduk di karpet. "Kalian bertiga screenshot pesannya dari awal sampe akhir, kirim ke gue."
"Raden Naja Mahatma dan keluarga sudah bergerak bung!" Galang berseru memecah hening dengan hebohnya.
"Gue kalo jadi si peneror ini ketar-ketir sih. Dikejer Mahatma gila, bundir aja gue." Arjun ikut meramaikan suasana. Kasihan juga dengan bocah-bocah SMA di sana yang masih tampak tegang. "Tenang anak-anak, Mahatma akan menolong kalian."
"Kita gak tegang sih, ya kan Ka. Mereka bertiga aja yang lebay." Vano menyenggol Dhaka lalu menunjuk ke ketiga sahabatnya.
"Sini muka lo gue lempar pake dosa." Hardik Bulan kesal.
"Emang Mahatma kenapa?" Dhaka bertanya dengan polosnya mengundang semua atensi yang tampak tak percaya dengan pertanyaan lelaki itu.
"Lo kagak tau?!"
"Pernah denger sih di tv."
"Singkatnya gini. Lo kan masuk ke salah satu daftar keluarga terkaya di Cina sono tuh, nah Mahatma bagian Indonesianya." Jelas Vano singkat.
"Omnya Naja ini walau pangkatnya tinggi gak pernah mau terima beres doang. Ibaratnya mau lo sembunyi di lubang buaya sekalipun beliau bakal terus ngejer lo sampe dapet. Tapi pembunuh yang ini 11 12 kayak belut. Rekor terlama gak sih Ja?"
Naja mengangguki pertanyaan Halan. "Sampe berbulan-bulan ini si pelaku belum juga ketangkep. Pake ilmu mana pula tuh orang sampe selicin itu."
Semua mulai kembali berbincang kecuali tiga serangkai yang masih kepikiran oleh pesan teror. Nyatanya ini tidak bisa dilupakan begitu saja. Bayang-bayang kejadian buruk seolah mengerumuni otak, tentang dua sahabat mereka yang bisa terjerat bahaya kapan saja.
Andai ada tiket pesawat menuju pluto.
"Jangan diem wae atuh. Mana suara kalian yang biasanya melebihi speaker bioskop." Dhaka menegur yang hanya dibalas dengan wajah lempeng ketiganya.
"Vano udah tinggal sama ortu, jadi ada yang jaga. Dhaka nginep sini aja." Dhaka spontan mendelik usai Bintang bersuara.
"Ngapain? Gak deh bang, aman kok pasti tenang aja." Tolak Dhaka meyakinkan.
"Iya Ka, nginep aja di sini. Sampe kita gak sekolah lagi aja deh, mau ya." Bulan ikut membujuk dengan raut yang dibuat semelas mungkin. Dan setelah itu bujukan dari yang lain ikut bersuara. Dhaka mengusap tengkuknya kikuk, bingung pula dia jadinya.
"Gak perlu ngerasa gak enak, Ka. Sahabat Bulan sama dengan adek gue. Lo bisa balik lagi ke apartemen selesai kalian ujian akhir nanti."
Dhaka tersentuh akan ucapan Bintang yang terdengar begitu tulus. Namun sungguh dia tak enak jika harus menumpang di rumah orang lain. Ditambah dia yang terbiasa tinggal sendiri sejak kecil, semakin membuat Dhaka merasa tak enak.
"Gak usah kebanyakan mikir. Besok minggu, kita ambil baju-baju lo." Final Bulan mutlak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.