"PANDU ANJENG!"
Bagai sambutan selamat datang, teman-teman Bintang yang baru saja tiba dibuat mengernyit.
"Pandu adek lo, Nji?" Tanya Arjun dan Panji mengangguk.
"Ngapain tuh berdua teriak-teriak? Ninu-ninu kah?" Ucapan Galang yang kelewat ceplos langsung dihadiahi tendangan maut dari Bintang.
"Makan tuh ninu."
"Di mana adek lo? Gabut gue, mau ikutan main." Naja terlihat semangat sekali hari ini. Padahal biasanya mager tiap detik tiap menit, seolah tenaganya terserap ke bagian terdalam bumi.
"Belakang." Naja berjalan cepat ke belakang diikuti oleh Halan dan Galang yang notabenenya memang tidak bisa diam.
"Dahsyat bener suara adek lo Tang. Dari belakang ke sini aja masih kedengeran. Padahal rumah lo sepanjang jalan kenangan."
Bintang tertawa getir akan kalimat Arjun. "Lo bayangin aja, hampir 17 tahun gue denger dia teriak-teriak."
"Manusia-manusia kuat, itu Bintang jiwa-jiwa yang kuat." Ren menyanyikan penggalan lirik dari Tulus. Sebagai sahabat yang baik nan budiman, Ren akan selalu menjadi garda terdepan dalam hal bernyanyi. Jangan salah, suara Ren ini berdampak dalam hal membangkitkan semangat yang menurun. Saking berdampaknya, Bintang dengan semangat melempar tisu bekas ingus Halan tepat ke wajah tampan Ren yang sedang menghayati nyanyian.
Sungguh teman yang budiman.
"Lo pada ngerasa gak sih, dunia makin ke sini makin ke sana. Banyak banget pembunuhan. Mana yang dibunuh bocah-bocah SMA, kelas akhir pula. Susah-susah orang tua bayarin anaknya sekolah malah dibunuh." Arjun si anak tunggal kaya raya membuka topik usai menonton tayangan berita. Lagi-lagi tentang pembunuhan.
"Kejadian ini aneh menurut gue." Marcel menyahut. "Korbannya terlalu beruntun. Belum sebulan aja udah delapan anak."
Panji mengangguk cepat. "Pelakunya satu orang kayaknya."
"Gue ketar-ketir tiap hari cok. Mana adek gue jelmaan tour guide, suka menjelajah sana-sini." Keluh Bintang resah.
"Iketin tali aja ke lehernya. Jadi tinggal tarik kalo dia mulai ngereog." Saran yang begitu bijak dari Arjun. Semua sampai bertepuk tangan kagum kecuali Bintang yang gatal ingin mengulek wajah lempeng sahabatnya itu.
"BINTANG PANJI, ADEK LO BERDUA!"
Suara cempreng Galang lama-kelamaan mendekat. Hadirlah lima orang yang sedari tadi bermain di halaman belakang. Posisi Bulan yang diseret oleh Halan dan Pandu yang diseret oleh Naja. Galang memimpin di tengah, bersidekap dada dengan raut serius.
"Kenapa?" Marcel bertanya heran.
"Jelasin bocah." Titah Galang.
"Woy Ndu, jelasin cepet!"
"Lo duluan yang dapet anying!"
"Hp lo yang bikin ketauan asu!"
"Ya gue gak sengaja!""Jelasin Ja." Suara tegas Panji menghentikan perdebatan ricuh antara Bulan dan Pandu.
"Mereka kena teror." Naja berucap lugas. "Halan gak sengaja baca chattan di hp Pandu. Dan ternyata, Bulan juga pernah dapet."
Galang meletakkan dua buah ponsel ke atas meja, membiarkan yang lain membaca pesan itu sendiri.
Ponsel Bulan : Jika semua anak kelas akhir mati, bagaimana pendapat kamu cantik?
Dikirim lima hari yang lalu.
Ponsel Pandu : Korban terbaru hari ini. Laki-laki dengan tanggal lahir yang sama denganmu. Menarik bukan?
Dikirim empat menit yang lalu yaitu pukul enam sore.
"Jelasin." Nada suara Bintang begitu datar menandakan perintah yang tak terbantahkan. Bulan saja sampai kesulitan meneguk liurnya sendiri.
"Hari pas kalian dateng ke apart Dhaka." Bulan memulai ceritanya seusai menyiapkan diri. "Itu kali pertama gue dapet pesan ini, dikirim kemarinnya jam dua belas siang. Pandu dapet hari itu di jam enam pagi. Zen juga dapet, di jam dua belas siang. Makanya kita berdua gak bisa dihubungi hari itu karena posisinya lagi panik, ditambah pesan itu kayak seolah-olah tau kita lagi apa dan sama siapa, jadi hp kita matiin total."
Semua kompak membisu ketika Bulan selesai menjelaskan. Bulan melotot pada Pandu yang sangat tidak gentleman. Pandu yang mengakibatkan, malah dirinya yang menjelaskan.
"Ada alasan kalian nutupin hal ini?" Bagi Pandu sendiri, Panji yang seperti ini terlalu menakutkan. Pandu rela mendengar semua omelan yang kakaknya itu berikan padanya, atau jeweran serta makian untuknya daripada ucapan singkat tanpa warna suara seperti ini. Ingin hati berlari pulang dan bersembunyi di balik punggung kecil Pamela adiknya.
"Gak ada." Jawab Bulan ragu.
"Gue liat lo sibuk banget akhir-akhir ini. Maksudnya kami mau selesain-"
"SELESAIN SENDIRI? DI SAAT NYAWA KALIAN DIINCAR PEMBUNUH, IYA?!" Suara Panji sungguh menggelegar ke seisi rumah.
"Panji, pake kepala dingin." Marcel turun tangan menenangkan. Takut-takut jika dibiarkan, rumah akan hancur lebur oleh Panji yang tenaganya 11 12 dengan hulk.
"Pengirim ini ada di sekolah?" Galang si anak hukum mulai menganalisa. "Kayak yang dibilang Bulan tadi, dia seolah tau mereka lagi ngapain. Dilihat dari waktu pengirimannya ada jam enam sama jam dua belas tepat. Pandu, lo jam enam pagi udah pergi sekolah?"
Pandu mengangguk. "Hari itu kebetulan gue lupa ngerjain tugas. Makanya dateng cepet ke sekolah. Biasanya mepet bel kok."
"Oke. Bulan jam dua belas siang yang mana itu adalah waktu istirahat. Lo di kantin, Lan?" Galang melempar tanya lagi dan langsung diangguki oleh Bulan.
"Simpelnya dia ada di sekolah, atau tiap-tiap sekolah." Final Galang. "Dua anak terbunuh di sekolah kalian. Selang enam hari, dua dari sekolah lain. Selang dua belas hari lagi, dua dari sekolah yang berbeda. Dan sekarang, yang artinya selang enam hari dari kasus kemarin. Psikopat anying."
"Dari keterangan polisi, isi hp korban gak ada pesan teror kayak gini. Apa mungkin, dia kirim pesan buat ngejatuhin mental anak itu doang. Sedangkan target bunuhnya gak ada dia kirim apa-apa sebagai tanda." Lama membisu, Ren akhirnya buka suara.
"Bisa jadi bener tuh. Korban pertama di sekolah gue namanya Ananta. Dia punya pacar yang posesif abis, suka buka-buka hp si Ananta ini. Katanya aman, gak ada kiriman teror kayak gini. Korban kedua, berdasar kesaksian bestinya, juga bilang gak ada tanda korban ini dapet pesan ancaman."
"Rumit ya." Lirih Halan begitu pelan. "Lo berdua, jangan diem-dieman lagi. Polisi aja belum ketemu sama jejaknya, apalagi kalian yang kencing aja belum lurus. Kakak kalian kalo ngamuk bisa hancurin isi dunia, apalagi Panji noh. Mampus lo Ndu."
Pandu mendelik ke arah Halan yang bukannya menghibur malah menakut-nakuti.
"Gue balik. Bokap udah pulang." Panji bangkit dengan matanya yang masih menyorot tajam. Menatap Pandu tanpa kata sampai adiknya itu bangkit dengan sendirinya.
"Laser dari mana ini yang menyorot. Aduh panas sekali." Pandu berjalan lebih dulu dengan Panji yang mengiring di belakang, keluar dari rumah Bintang untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.