Bangun-bangun Bintang langsung disapa oleh keheningan. Melirik jam dinding, ternyata sudah hampir menunjuk ke angka delapan. Bulan pasti sudah berangkat sekolah.
"Kiw, cowok."
Keningnya refleks mengernyit dalam saat wujud gadis yang baru saja dia pikirkan muncul dengan senyum lebarnya. Obsidian sipit yang semula mengerjap menghalau bayang oleh minus matanya membelalak sempurna. "Heh, bolos ya?!" Prasangka buruk terlontar langsung saat itu juga.
"Congormu minta disambel." Bulan menutup pintu lalu melompat ke atas sofa sembari membuka seragam putihnya yang sedari datang memang tak terkancing hingga menyisakan kaus hitam saja. "Gara-gara lo semalem sibuk nyuruh tidur, bilangnya besok sekolah besok sekolah. HARI INI TANGGAL MERAH ANYING!"
Tak dapat menahan, tawa Bintang menyembur kencang sampai lupa jika kemarin dia baru saja dioperasi. Namun terlalu sayang untuk dilewatkan, Bintang tetap melanjutkan tawanya walau sambil meringis sakit.
"Tawa lo." Ketus Bulan sebal.
"Ya lo anak sekolah masa kagak tau hari ini tanggal merah."
"Gue cinta sekolah. Bawaannya pengen sekolah terus tanpa liat-liat tanggal."
"Ucap dia yang tiap pulang sekolah kerjaannya ngeluh capek sekolah, pengen nikah aja katanya." Sindir Bintang.
Sesaat keduanya menghening. Yang lelaki tenggelam dalam lamunan dan yang perempuan mulai bersiap ingin melanjutkan tidur. Namun secara tiba-tiba, tanpa tanda maupun aba-aba, teriakan cempreng milik Bulan mengudara hingga rasanya jantung Bintang nyaris melompat keluar dari tubuh.
"TOLOL!" Bulan terduduk. "ROMPI GUE KETINGGALAN!"
"Buset, tuh mulut sehari kagak teriak sariawan kali ya. Lagian bisa-bisanya lo cuma mampir doang ke sekolah pake acara ketinggalan rompi." Omel Bintang tak habis pikir.
"Kan gue jalan ke sana, tau sekolah tutup sedangkan gue udah menyeberangi samudra, kan dodol. Karna kepanasan jadi gue lepas habis itu gue sangkutin di pager. Dan karena gue haus jadi gue beli es cekek dulu, malah bablas ke sini."
Bintang refleks memejam tak habis pikir untuk yang kedua kalinya. "Napa gak langsung lo masukin tas!"
"Ya ... lupa." Bulan melompat turun dari sofa. "Bajingan, gue pergi lagi deh. Jangan lupa sarapan minum obat. Gue balik harus udah semua."
Bulan pergi sunyi datang lagi. Hidup Bintang akan ramai jika dekat dengan bocah itu. Selebihnya sepi layaknya aku tanpa dirimu.
Menggerakkan engkol pemutar pada ranjang hingga dirasa posisi duduknya cukup, Bintang mulai memakan sarapannya. Cukup lima sendok saja, yang penting makan. Lalu minum obat.
Diraihnya ponsel yang sedari kemarin tak dia sentuh. Menghidupkan data, lalu berisiklah ponsel itu dengan bunyi notifikasi beruntun. Apalagi dari grup organisasinya di kampus yang mencapai hampir 500 pesan. Banyak dari mereka yang menanyakan kabar Bintang karena memang tidak ada satu pun yang tahu jika Bintang operasi. Izinnya hanya sakit tanpa memberi kabar lengkap.
Di tengah jemarinya yang gesit membalas pertanyaan teman-temannya, panggilan masuk dari sang partner alias si ketua BEM langsung saja Bintang terima.
"Sakit apa pak waketu?"
Bintang tertawa kecil mendengar pertanyaan bernada ejekan penuh oleh partnernya itu. "Kepo amat lu."
Setelah jawaban tak jelas Bintang lontarkan, permintaan video call dari si penelepon membuat Bintang berdecak namun tak urung mengiyakan.
Rusuh di seberang langsung menyapa sedetik kemudian.
"Lagi rapat lo pada?"
"Sakit apa anying sampe ke rumah sakit?"
"Kampret gue nanya apa dijawab apa. Operasi gue."
"Perasaan lo kagak penyakitan deh."
"Donor ginjal."
"HAH?!" Sekitar enam orang di sana kompak berseru heboh sekali. "Bonyok lo jatuh miskin sampe lo jual ginjal, Tang?"
"Buat bokap gue."
"Anjayyy anak berbakti ternyata."
"Sebut ruangan, kita mau mampir.""Ngapain? Males ah lo pada rusuh."
"Kita sebagai teman seperjuangan harus saling menyayangi. Cepetan anying sebut ruangan lo."
Dan setelah Bintang menyebut apa yang mereka pinta, panggilan langsung dimatikan tanpa basa-basi atau salam penutup terlebih dahulu. Sudah tak heran Bintang dengan teman-teman organisasinya itu.
Beranjak dari ranjang, Bintang mulai menyusuri koridor rumah sakit guna menghilangkan bosan. Turun menggunakan lift ke lantai pertama untuk berjalan-jalan di luar sekaligus mencari vitamin dari panas matahari pagi.
Sedang damai-damainya perjalanan, ujung mata Bintang menangkap dua sosok yang tak asing di mata. Tanpa sadar pandangannya menajam, membawa tungkainya bergerak mendekat saat dugaan awal terbukti benar.
"Tolong ma, seenggaknya liat abang bentar aja." Bulan berujar pelan dengan posisinya yang terduduk di aspal rumah sakit. Tampak begitu memelas, berbanding terbalik dengan wanita dewasa di depannya yang tak begitu peduli dengan permohonan sang anak.
"Kalian bukan anak kecil yang kalo sakit harus dirawat semalam suntuk."
"Dari kami kecil mama emang gak pernah lakuin itu."
"Ngejawab terus kamu," Bintang sigap menahan tangan yang hampir menyentuh pipi sang adik.
"Gak usah mama sentuh adik aku." Menarik Bulan berdiri lalu dia bawa masuk ke dalam untuk kembali ke ruangannya, tanpa embel-embel pamit kepada sang mama.
"Mana rompinya?" Tanya Bintang.
Bulan mendongak menatap sang kakak sembari cengengesan. "Lo main tarik aja tadi. Rompinya jatoh ke tanah juga."
Bintang menghela napas panjang. "Tunggu sini, jangan ke mana-mana lagi."
Tanpa susah-susah pergi ke sofa Bulan langsung saja rebahan di lantai. Tak peduli jika lantai itu kotor oleh pijakan orang-orang yang keluar masuk. Menatap langit-langit rumah sakit sembari mengajak otaknya untuk bernostalgia ke kejadian tadi. Sungguh memalukan. Banyak orang-orang yang memperhatikan mereka tadi.
"Bajingan, gak bisa apa ya mereka gak kepo? Dasar eek tikus got, bangsul malu banget gue cok."
Pintu yang terbuka tak menggerakkan tubuh Bulan sedikit pun. Gadis itu bahkan tak menoleh dan malah lanjut menggerutu tanpa sadar akan ramainya orang-orang yang masuk.
"Duduk heh, sofa ada ngapain ngeper di lantai." Bintang melempar rompi tepat mengenai wajah Bulan.
"Bacot."
"Duduk Bul." Bintang menarik paksa Bulan sampai gadis itu terduduk sepenuhnya.
"Lah, kok rame? Salah masuk ruangan ya kalian?" Bulan bertanya keheranan. Sedikit malu karena kedapatan berbaring asal di lantai oleh para manusia asing itu.
"Temen-temen gue itu. Tutup aja Yan pintunya."
"Halo adik manis, kenalan kuy."
Bulan menatap horor segerombolan orang yang mulai memenuhi sofa.
"Jangan dideketin. Dia jauh lebih garang dari kucing garong." Bintang menyahut.
Tenggelam Bintang ke dalam percakapan seru dengan para tamu. Bulan mendengus malas lalu kembali berbaring menghadap ke kiri, memunggungi orang banyak itu. Kakinya yang tak terjamah rok sekolah dia tutupi dengan rompi.
"Lo punya dedek gemes kagak pernah bilang." Bintang mendelik. Dedek gemes katanya? Boro-boro gemes, garang malah iya.
"Kayaknya si Bintang tipe-tipe posesif."
"Comblangin dong."
"Adek, noleh dong."
"Serah lo pada aja dah." Agaknya Bintang menyesal telah membawa mereka datang kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.