Ketika seorang gadis SMA pergi membawa motornya sendiri ke sekolah, ada perasaan bangga tersendiri. Bisa melipir ke mana saja, pulang dan pergi sesukanya, setidaknya itu yang Bulan rasakan dua tahunan ini. Sampai di suatu ketika seseorang datang ke kamar hanya untuk melarangnya mengendarai motor, Bulan tidak bisa menahan lengkingan suaranya.
"WHAT THE FUCK, ARE YOU SERIOUS?!"
"No comment."
"Bang, gue bukan anak SD yang harus dianter jemput." Bulan merengek, terus mengikuti ke mana pun Bintang melangkah sedari tadi. Bintang nonton Bulan ikut, Bintang olahraga Bulan ikut, sampai Bintang ke kamar mandi untuk mandi pun Bulan tunggu di depan pintunya.
"Kasian Doyono kalo gue biarin. Dia sering kesepian sehari aja gak gue sentuh bang."
Sebagai informasi, Doyono adalah motor milik Bulan. Nmax kesayangan dengan modifikasi tangan Bulan yang ajaib. Jika ditanya lebih sayang Doyono atau Bintang, Bulan dengan lugas akan menjawab Doyono tercinta. Bintang nomor ke sekian.
"Tinggal pergi ke garasi, sentuh, udah kan." Jawab Bintang singkat. "Si Pandu juga bakal dianter jemput tuh."
"Gue ke sekolah bawa motor sendiri berasa jadi wanita independen asal lo tau. Kalo dianter jemput serasa tuan putri kerajaan, sedangkan gue tinggal di belahan bumi yang gak punya keturunan princess satu pun. Abang ayolah ..."
"Sekali enggak ya tetep enggak." Tegas Bintang tak ingin dibantah. "Ini buat kebaikan lo juga. Tanggal bahaya gak ada di kalender."
"Lo sendiri bakalan repot bang. Lo kuliah, bukan pengangguran." Setelah lama merengek, Bulan menuturkan alasan dia tak ingin diantar jemput. Laknat-laknat begitu Bulan pemikir orangnya. Selagi bisa sendiri kenapa harus merepotkan orang lain kan.
"Gue abang lo. Gak ada yang namanya repot ngurusin adek sendiri."
"Awww, baper deh akyu." Respon Bulan datar. Rebahan ke atas karpet berbulu, gadis itu lelah mengikuti Bintang. Ditolak beribu-ribu kali cukup membuat Bulan tidak lagi berharap pada seorang lelaki.
"Jalan yuk Bul," ajak Bintang.
Bulan menatap sinis, namun tetap menyetujui. "Ayo." Jawabnya ketus lalu melengos cepat menuju ke kamar untuk bersiap-siap. Bintang tertawa geli, ikut masuk ke kamar dan bersiap pula.
Kendaraan roda empat itu terhenti di sebuah tempat bersantai atau mungkin bisa disebut taman. Waktu sudah menunjuk ke angka sebelas, sudah pasti matahari menyorot walau belum terlalu ganas. Bulan langsung menaikkan tudung hoodie saat keluar dari mobil guna menghalau sengatan panas. Membuntuti Bintang berjalan santai mengitari taman yang lumayan ramai mengingat hari ini adalah hari minggu.
"Bang," Bulan menahan tangan kiri Bintang. "Beliin itu," sambil menunjuk ke sebuah kedai es krim.
Bintang mengangguk setuju. Tak sadar jika Bulan menghela napas panjang di sampingnya, sarat akan lega dan kesedihan.
"Rasa parfum."
"Hah?!"Sang penjaga kasir pun ikut dibuat melongo akan ucapan Bulan yang kelewat melantur.
"Maksudnya coklat." Bulan berjalan lebih dulu ke tempat duduk. Malu usai keceplosan berbicara hal bodoh seperti tadi. Inilah akibat jika raga dan jiwa berada di tempat yang berbeda.
"Rasa parfum," datang-datang Bintang sudah terbahak. Meledek Bulan terus-terusan sampai dibuat jengkel setengah mati. Bahkan sampai pesanan mereka diantar pun Bintang masih saja tertawa geli.
"Gue tendang titit lo lama-lama ya." Ancam Bulan jengah.
"Lagian lo mikir apa sampe tiba-tiba ngomong rasa parfum. Lo jawab typo gue sentil. Parfum sama coklat gak ada mirip-miripnya tuh huruf."
"Emang lagi gak konsen doang. Mikirin Doyono tercinta gue yang bakal nganggur." Jawab Bulan sekenanya sembari mulai menjilati es krim. Padahal sendok terpampang jelas di depan mata. Definisi ingin mencari susah ya begitu.
Bintang mengangguk tanpa melempar suara lagi. Mulai fokus juga pada es krimnya sebelum meleleh oleh cuaca hari ini. Bintang tahu Bulan berbohong. Namun dia memilih diam, ingin memberi Bulan privasi. Tidak semua harus Bintang gali walau Bulan adalah adiknya.
Usai menghabiskan es krim dan berjalan-jalan sejenak, keduanya beralih menuju ke gedung mall. Niat awal ingin nonton bioskop, namun urung saat melihat tayangan film yang kurang menarik. Jadilah sekarang mereka sibuk jajan ke sana-sini, berburu kuliner ceritanya.
Diiringi dengan percakapan ringan, keduanya seolah lupa di mana mereka berada. Terbahak tanpa kenal malu akan banyaknya orang yang berlalu-lalang. Tenggelam dalam waktu seakan tak ada lagi hari esok untuk bersenang-senang.
"Loh, Bintang?"
Keduanya sama-sama menoleh. Seorang perempuan cantik bersama dengan satu temannya mendekat.
"Hai Rin," sapa Bintang hangat. "Kenalin Bul, temen gue Arina."
"Pacar lo ya?" Tanya Arina begitu semangat. Memang begitu tabiat gadis yang sudah hampir dua tahun ini Bintang kenal. Dalam kamus hidupnya mungkin tidak ada kata malas, lemas, mager, dan lain sebagainya. Hidupnya selalu penuh dengan energi.
"Mending gue pacaran sama monyet daripada sama dia." Cibir Bulan. "Oh iya, kenalin kak. Nama gue Bulan, biasa dipanggil sayang."
Bintang menoyor pelan kepala Bulan. "Adek gue."
"Oalah, pantes agak mirip. Kirain jodoh." Arina tertawa, mampu membuat Bulan terpana sejenak. Dalam hati bertanya-tanya dari mana Bintang mendapatkan teman secantik ini.
Fix no debat Bintang pakai pelet.
"Salam kenal ya Bulan." Arina tersenyum begitu manis. Lagi, Bulan terpana part kedua. Pembawaan Arina terlihat begitu lembut dan anggun, juga penuh semangat. Ini jangan sampai Bulan berubah menjadi lesbi hanya karena senyum Arina.
"Ya udah, gue lanjut ya. Have fun kalian berdua!"
"Lo pake pelet mana?" Tanya Bulan setelah punggung Arina benar-benar menghilang dari pandangannya.
"Pelet kuku bima."
"Cantik bang, kawinin sono."
"Bocah enak bener ngomong." Bintang membereskan sampah-sampah bekas mereka makan lalu membuangnya ke tempat sampah terdekat.
Amunisi sudah penuh, saatnya membuang energi. Bintang menggeret Bulan menuju ke game center. Mainan pertama mereka yaitu mengikuti irama lagu dengan menekan tombol merah, kuning, dan biru menggunakan kaki. Mirip seperti dance, tapi bukan dance. Bintang yang agak kaku dan Bulan yang kelewat gesit menjadi perbedaan yang kentara.
Definisi umur tak dapat berbohong.
Enam lagu selesai, mereka beralih ke sebuah mesin tinju. Bintang jangan ditanya lagi sebrutal apa. Poin tertinggi langsung dia cetak. Bahkan Bulan yakin poin itu belum cukup dengan tinjuan Bintang yang sarat akan emosi. Entah sedang membayangkan apa lelaki itu sampai mesinnya pun ikutan bergoyang. Untung tidak rusak.
Permainan selanjutnya, tidak ada lagi. Hari sudah malam dan besok Bulan harus sekolah. Jadilah mereka pulang walau hati merasa belum puas bermain. Salah mereka juga sih karena kelamaan jajan tadi.
"Bang, stop bentar di sana."
Bintang menurut, menghentikan mobilnya di depan apotek. Bulan pun turun. Sebentar saja karena barang yang dibeli tidaklah banyak.
"Apa tuh?" Tanya Bintang kepo.
"Sarung tangan buat praktek besok." Bintang mengangguk paham dan lanjut mengendarai mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.