Hobi Bintang si Anak Tambang

58 11 0
                                    

Pulang dari kampus suasana sudah gelap gulita. Bahkan jam sudah hampir menetap di angka sepuluh malam. Bintang benar-benar seperti ketempelan gadis jelmaan kucing garong plus setan perawan semenjak Bulan mendatanginya sore tadi.

"Tidur sana, besok sekolah."

Bulan berdesis tajam kemudian berlalu pergi dengan menghentakkan tiap langkahnya. Bintang tertawa tanpa rasa bersalah, ikut berlalu menuju kamar. Tubuhnya masih membutuhkan istirahat.

"Bulan." Langkah sang gadis spontan terhenti oleh suara wanita yang terdengar begitu dingin. "Ke belakang."

Menghela napas gusar, Bulan sebenarnya enggan. Namun tak ingin menciptakan keributan karena Bintang membutuhkan istirahat lebih, akhirnya dengan malas Bulan mengikuti langkah wanita yang telah melahirkannya itu menuju ke halaman belakang.

"Sudah tentukan tujuan kamu?" Mama bertanya dengan nada yang kelewat dingin.

"Udah."

"Apa?"

Bulan menggigit bibir bawahnya gugup. "Teknik mesin." Cicitnya begitu pelan, tapi mampu membuat mama langsung naik darah.

"Mau jadi tukang bengkel kamu ambil itu?! Gak ada ya, gak usah sembarangan."

"Tapi aku minatnya ke sana ma." Jawab Bulan, mulai mendongak menatap wajah lelah mama. "Aku yang bakal jalani itu. Sekali aja ma. Selama ini aku udah nurut semua yang kalian pinta. Tolong, untuk yang ini biarin aku tentuin jalan aku sendiri."

"Jalan kamu sendiri? Udah merasa besar kamu?"

"Aku udah besar, bahkan udah mau 17 tahun tanggal 26 mei nanti kalau mama lupa. Jadi aku berhak atas diri aku sendiri."

Usai bantahan yang kelewat berani itu, sebuah tamparan keras menghantam pipinya telak membuat Bulan membisu. Dalam hati mulai merutuki cincin sang mama yang ikut andil menambah perih hingga rasa besi khas darah menyapa indra pengecap.

"Sudah berani melawan ya kamu. Saya membesarkan kamu bukan untuk menjadi tukang bantah." Mama menekan kedua pipi Bulan dengan kuat. "Dasar tidak tahu diuntung!" Lalu melepas tekanannya dengan kasar sampai wajah Bulan terhempas untuk yang kedua kalinya.

"Siapa suruh lahirin aku? Harusnya mama bunuh aku dari awal kalo sekiranya mama gak ikhlas besarin aku. Atau bunuh aja sekarang, silakan. Asal mama seneng." Definisi cari mati ya seperti Bulan sekarang.

Untuk yang kesekian pipi Bulan menjadi samsak. Mama memang selalu seperti itu. Bermain tangan saat emosinya terpancing sedikit saja. Bahkan dulu sering memberi hukuman untuk kedua anaknya yang masih sebesar bantal guling. Entah bermalam di gudang, tidak boleh makan sehari penuh, juga berbagai hukuman lainnya sudah pernah mereka cicip.

Puas mama melepas emosi, wanita berumur pertengahan 40 tahun itu melengos begitu saja dari hadapan Bulan. Meninggalkan sang anak yang tengah mengusap-usap kedua pipinya yang terasa pedas.

Mendongak, Bulan menatap langit malam yang selalu Bintang elu-elukan keindahannya.

"Diem aja ya kalian, jangan bilang-bilang soal ini sama abang." Kemudian masuk ke dalam untuk segera menidurkan diri.


•-•-•-•-•-•-•-•-•-•


Bangun tidur Bintang langsung mandi, gosok gigi, cuci muka, lalu mengecek kamar Bulan. Sudah kosong untungnya. Beralih menuju meja makan, mengisi air satu gelas penuh, lalu meminumnya dengan perlahan sembari melamun.

Pagi-pagi seperti ini jika tidak ada kelas Bintang biasanya berolahraga terlebih dahulu. Namun karena sadar akan operasi yang belum lama ini dia lakukan, Bintang pun melangkah pasti menuju ke sebuah ruangan. Mama dan papa tahunya ruangan itu hanyalah gudang biasa. Namun Bintang dengan segala kegabutannya berhasil menyulap ruangan itu menjadi tempat penyaluran hobi.

Bintang suka menggambar, terlebih menggambar bangunan. Dulu sekali Bintang pernah bercita-cita ingin menjadi mobil pemadam kebakaran. Tidak masuk akal memang, namun itulah keinginan Bintang kecil. Hingga saat dirinya sedang berjalan seorang diri saat jam pulang dimajukan, Bintang bertemu dengan seorang remaja laki-laki yang tengah berjongkok di depan sebuah rumah. Karena tingkat penasarannya berada di atas gunung Everest Bintang pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Kakak lagi ngapain?"

"Gambar rumah. Mungkin aja Tuhan berbaik hati ngabulin apa yang aku gambar sekarang."

Itulah awal mula munculnya hobi menggambar Bintang. Tidak pernah terlewat barang satu hari saja Bintang kecil menyentuh pensil dengan buku gambarnya. Hingga beranjak remaja Bintang mantap ingin berkuliah di jurusan arsitektur. Namun karena papa, mimpi itu harus dia kubur dalam-dalam.

Jika ditanya apakah Bintang ikhlas menjalankan dunia pertambangan, jawabannya setengah iya setengah tidak. Pertambangan tidak buruk, namun arsitek tetap yang pertama di hati.

"Apa?" Tanya Bintang kepada ponsel yang tadi berdering.

"MINUM OBAT JANGAN LUPA!"

Bintang tahu bahwa gerak tangannya untuk menghindari ponsel dari telinga cukup terlambat. Namun pekikan di seberang sungguh menusuk gendang telinganya. Padahal Bintang tidak menekan mode loud speaker.

"Iya, gak usah teriak." Bintang berujar selembut mungkin yang dibalas dengan suara cengiran Bulan di seberang. Setelahnya panggilan dimatikan sepihak oleh gadis itu. Bintang mengusap dadanya, merasa menjadi orang yang paling sabar sedunia karena menghadapi Bulan.

Menyetel alarm di ponsel terlebih dahulu pada pukul delapan. Bintang jika sudah menggambar akan lupa waktu. Takutnya kelewatan minum obat, kena sembur dia.

Hari ini Bintang bukan ingin menggambar bangunan seperti biasa. Melainkan potret sang adik yang pernah dia ambil diam-diam. Bulan jika tahu ada yang memotret, gadis itu akan spontan memasang wajah konyolnya. Maka dari itu dengan berbagai kesempatan yang ada Bintang berhasil mendapatkan hasil yang sempurna.

Agak kaget juga ternyata wajah Bulan bisa aesthetic.

Dengan berteman lantunan lagu dari playlist spotify, Bintang mulai menggerakkan jemarinya ke sebuah kanvas bersih. Membuat sketsa terlebih dahulu selama 40 menit lamanya. Kemudian pergi menuju dapur untuk sarapan dan minum obat. Setelah itu kembali lagi ke gudang melanjutkan kegiatan.

"Susah juga buat mata nih bocah." Entah sudah kali ke berapa Bintang menghapus di titik yang sama.

Tangannya jarang Bintang ajak membentuk gambar manusia. Menurutnya terlalu rumit dan butuh ketelitian yang tinggi. Lain dengan menggambar bangunan, tidak ada detail yang harus Bintang gambar seperti mata, rambut, hidung, dan lain sebagainya. Tapi untuk sang adik tercinta, apa yang nggak sih.

"Romantis banget gak sih gue jadi kakak. Bau-bau bakal punya pacar gue kayaknya." Bintang geleng-geleng kepala dengan isi kepalanya. Berbagai spekulasi muncul untuknya nanti memacari gadis baik hati incarannya sebagai tambatan hati, tidak hanya sibuk kepada organisasi dan kuliah saja. Jenuh pula dia bersama dengan para teman jantannya terus.

Sedang seriusnya menggambar, lagu yang disetel berganti dengan dering telepon. Bintang mengumpat sembari menekan tombol terima.

"Ape?!"

"Buset, santai pak. Lo gak muncul-muncul di grup artinya gak tau kabar. Jam sembilan rapat." Ujaran Marcel di seberang menghasilkan hembusan napas yang begitu keras dari mulut Bintang.

Baru beberapa detik yang lalu dirinya berpikir tidak ingin terlalu sibuk pada organisasi. Malah diberi kabar rapat seperti ini.

"Jancok."

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang