Perihal Mimpi dan Ego

52 7 0
                                    

"Bagus ya. Udah hampir gelap baru pulang, masih basah-basahan pula." Bintang berkacak pinggang sesaat setelah pintu utama Bulan tutup dengan halus.

"Hehe, ampun baginda."
"Cepet mandi sana!"

Bulan langsung ngacir pergi ke kamar mandi. Bintang sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala. Beralih ke dapur untuk menghangatkan bakso yang sudah hampir dua jam ditinggalkan sang pemilik. Sedangkan miliknya sendiri sudah aman di dalam perut sejadi tadi sore.

"JANGAN LAMA-LAMA UDAH MAU MALEM! NTAR DICUBIT SETAN LO!"

"SIAP BOSQUE!"

Scrool reels Instagram selagi menunggu Bulan datang. Sesekali tertawa sekiranya lewat video yang pas dengan selera humornya. Buka komentar tawanya terhenti, digantikan dengan kernyitan heran akan ketikan tangan netizen yang agak-agak.

Usai kuah bakso mendidih Bintang memindahkannya ke dalam mangkuk. Duduk di kursi meja makan, lanjut lagi scrool Instagram sambil menyedot teh kotak yang tadi sempat dia ambil dari kulkas.

Layaknya monyet, Bulan datang melompat ke atas kursi. Dengan posisi kaki kanan yang terangkat dan bersiap untuk makan Bulan pun bertanya. "Bang, temen lo dah punya pacar ya?"

Bintang mengernyit. "Temen yang mana?"

"Itu, si tetangga."

Bintang berpikir cukup lama hingga akhirnya ber-oh panjang. "Si Panji? Sebut nama dari awal kek." Lalu diam lagi, kali ini sangat lama. "Kayaknya enggak deh. Gue gak pernah liat dia deket sama cewek. Cewek juga kalo mau deket sama dia ciut duluan, galak soalnya."

Bulan manggut-manggut di tengah makannya. "Terus cewek tadi siapa dong." Bulan hanya bermonolog. Tapi karena telinga Bintang setajam cibiran tetangga jadi masih dapat terdengar.

"Cewek mana?" Tanya Bintang.

"Tadi gue sama Pandu berenang. Liat dia juga lagi bareng sama cewek. Ceweknya 11 12 kayak yang di club-club gitu."

"Cewek montok maksudnya?"
"Hooh, menye-menye pula."

"Azzek ada bahan gosip." Bintang berseru senang. Bahkan kembali berkutat pada ponselnya yang Bulan tebak akan memulai sesi gosip.

"Dih, lambe."

Suara pintu utama terbuka mengalihkan atensi dua kakak beradik. Bulan refleks bangkit berdiri di atas kursi dengan tangan kanan yang siaga memegang sendok. "Ada maling kah?"

Bintang menghentikan gosipnya sejenak untuk mengecek ke depan dibuntuti oleh Bulan di belakangnya.

"Papa," gumam Bintang lirih. Dilihat-lihat sepertinya pria dewasa itu baru saja pulang dari rumah sakit.

"Gimana keadaan papa?"

"Baik." Singkat, padat, jelas, dan agak nyelekit. Melengos dengan raut dingin menuju ke kamarnya tanpa bertanya atau berbasa-basi dengan kedua makhluk darah dagingnya.

"Dingin amat, batu es aja kalah." Cibir Bulan kesal. "Untung papa sendiri."

"Kalo bukan papa sendiri emangnya mau apa?" Bintang memperhatikan air muka Bulan yang nampak masam.

"Udah gue tendang sampe ke matahari sana biar meleleh." Ketus Bulan lalu kembali kepada baksonya yang baru termakan tiga suap.

"Bang, clubbing yuk."

Bintang menunjukkan kepalan tangan kanannya yang berurat. "Ini dulu gimana?" Senyum bulan sabit Bintang pasang mengundang cengiran Bulan yang beringsut menjauh.

"Ampun baginda," lalu berdecak sebal. Padahal Bulan ingin sekali mencicipi rasa minuman penghilang akal sehat itu. Mungkin saja setelah meminum itu semua isi otaknya hilang juga kan. Jadi Bulan tak perlu susah-susah berpikir keras lagi.

"Kalo gue ultah nanti, boleh? Kan udah legal tuh." Bulan yang tidak pantang menyerah, tapi Bintang yang frustasi dibuatnya.

"Haram buat lo walau cuma nyentuh botolnya doang. Sampe berani, siap-siap aja."

Bulan tersenyum di tengah pipinya yang mengembung besar lantaran pentol bakso yang langsung dia makan tanpa dipotong.

"Cuma ngingetin, mata gue gak cuma dua ini. Banyak mata gue lainnya yang selalu ngawasin lo."

Oke, sepertinya Bulan harus berpikir matang terlebih dahulu sebelum bertindak besok-besok.

.
.
.

"Pa, Bintang boleh masuk?" Deheman berat dari dalam menggerakkan tangan Bintang untuk menekan gagang pintu dan melangkah lebih lanjut. Di dalam terlihat sang ayah yang tengah berkutat pada laptopnya, mungkin mengurusi pekerjaannya.

"Mau ngomong apa?" Papa melepas tangannya dari keyboard. Beralih pandang menatap lurus kepada anak sulungnya.

"Tentang Bulan." Bintang menyugar rambutnya ke belakang mengusir gugup. "Harus dokter kah?"

Bersandar ke punggung kursi, papa menghela napas. "Dokter menjamin masa depan dia."

"Tapi Bulan gak mau pa. Udah cukup kan, aku udah turutin kemauan papa. Biarin Bulan milih jalannya sendiri."

Alis papa menukik tajam. "Maksud kamu, kamu gak ikhlas ambil tambang?"

Bintang dengan tegas mengangguk bersama raut yang kelewat berani. "Iya, lumayan. Setiap orang punya mimpinya masing-masing. Tapi karena aku udah di tengah jalan, dan aku juga gak mau buang waktu aku untuk mundur. Biarin aja kayak gini. Tapi tolong pa, jangan paksa Bulan."

Diam menguasai setelah Bintang menghentikan ucapannya. Papa nampak berpikir keras walau wajahnya tak berekspresi apa pun, membuat secercah harapan timbul di benak Bintang.

"Sebenarnya papa gak memaksa Bulan untuk ambil kedokteran, hanya memberi rekomendasi. Bulan mau ambil apa?"

Raut Bintang refleks berbinar. "Teknik mesin pa."

Guratan heran sekilas terbit di kening papa. Namun tak lama sampai akhirnya kembali melontar kata. "Papa gak yakin mama kamu setuju."

Bintang mengangguk cepat. "Setidaknya tugas aku berkurang satu, sekarang tinggal mama. Makasih waktunya pa. Jangan lama-lama kerjanya, papa baru pulang dari rs. Tidur yang nyenyak papa."

Papa memandang punggung yang tanpa dia sadari sudah tidak sekecil dulu. Bintang seolah berubah dewasa dalam sekali kedip. Atau mungkin dasar dirinya saja yang terlalu disibukkan pada pekerjaan. Tanpa tahu bagaimana proses tumbuh kembang dua anaknya.

Meraih ponsel di sudut meja, papa menekan nomor yang jarang sekali dia hubungi terlepas dari status mereka yang merupakan suami istri.

"Kenapa?"

"Bulan punya pilihan sendiri. Biarin dia pilih jalannya."

Sang istri mendengus kasar di seberang. "Sejak kapan kamu peduli akan hal itu?"

"Berlian, kamu gak ngerasa kalau kita selama ini egois? Mementingkan apa yang kita mau tanpa mendengar apa yang anak-anak pilih. Bintang barusan ngomong sama aku. Dia gak ikhlas dengan jalan yang aku pilihkan, tapi mau mundur pun percuma. Udah cukup di sini aja. Bulan biarin sama jalannya."

"Aku anak tunggal. Mau dikemanakan perusahaan ini kalau bukan Bulan yang nerusin? Kamu enak udah ada Bintang."

"Berlian, sesuatu yang dipaksakan gak akan berakhir baik."

"Kamu bilang gitu karena posisi kamu udah aman. Cukup, berhenti bahas ini. Aku sibuk."

Panggilan dimatikan sepihak.

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang