"BEBAS! AKHIRNYA SELESAI!" Bulan bersorak girang di bangkunya. Memasukkan semua barang dengan asal ke dalam tas lalu berlari keluar kelas.
Ujian walau satu mata pelajaran saja membuat gadis itu haus sekali.
"Lo langsung pulang ke kosan?" Pandu bertanya kepada Dhaka sembari tangannya menyiapkan sebatang rokok. Mentang sudah mau lulus.
"Nggak, ngambil barang dulu."
Berempat mereka keluar kelas. Berjalan beriringan menuju parkiran tempat kendaraan berjejer rapi.
"Bangtan belum dateng kayaknya. Lo tunggu di dalem aja sama Bulan, gak usah melipir keluar sekolah." Vano menasihati.
"Aman, hati-hati lo bertiga. Lo kalo mau ngudut ya ngudut, mau nyetir ya nyetir. Gak usah gegayaan kek orang pengangguran yang lagi pusing nyari kerja." Dhaka memukul kepala Pandu yang telah berbalut helm. Kemudian kabur melarikan diri sebelum tangan Pandu sempat membalas.
Sampai di kantin, tampak gadis itu sudah duduk anteng di salah satu bangku bersama es cekek di tangan.
"Es teros," cibir Dhaka sinis.
Bulan mengerling tak peduli. "No es no nyawa. Es sama dengan kehidupanku. You can't menjauhkan es from my hidup."
"Ngomong apa lo anjir." Dhaka mengernyit tak paham. Namun karena Bulan malas mengulang, gadis itu hanya mengedikkan bahunya acuh sambil terus menyedot nikmat.
"Lo pulang ya hari ini? Sepi dong rumah," ujar Bulan lesu.
"Biasa juga lo cuma berdua."
"Ya kan lo udah pernah meramaikan. Tiba-tiba ditinggal, sedih hati ini jadinya." Drama sekali, tapi Bulan tidak berbohong. Kehadiran Dhaka hampir satu bulan di rumahnya membuat sepi berkurang. Hidupnya berasa lebih berwarna walau kadang membuat emosi jiwa dan raga.
"Elehh, lebay." Lisan memang seperti itu, namun hati Dhaka diam-diam menyetujui. Di saat hari-harinya terbiasa sepi, Bulan dan Bintang menariknya ke rumah mereka yang juga sama-sama sepi. Bercanda tawa bersama, berdebat bersama, bermain bersama.
"Btw, gue bakal ke Cina."
"Hah? Lo mau pindah sana?!"
"Moga aja nggak. Ntar tiga hari habis pengumuman sn gue baru ke sana. Simpelnya, kalo gue lulus, seenggaknya gue udah pernah pulang kan sebelum mulai kuliah. Cuma tiga hari gue di sana. Tapi kalo gue gak lulus, berarti gue gak akan pulang lagi ke sini."
Bahu Bulan melemas. "Ke dukun yuk, suruh mamang dukun itu jampi-jampi nama lo biar dijamin lulus."
Dhaka hanya tersenyum tipis sebagai balasan. "Doain aja, moga-moga gue lulus."
"Capek ya? Kalo mereka suka suruh lo jadi ini jadi itu?" Tanya Bulan gamang.
"Mau capek, tapi inget orang di luar sana yang hidupnya gak seberuntung gue. Jadi ya jalanin aja."
Bulan manggut-manggut paham. "Hebat betul sahabat gue yang satu ini."
Sebelah sudut bibir Dhaka tersungging naik. "Puji dulu diri lo sendiri sebelum lo muji orang lain. Ayo, Bangtan dah nyampe." Dhaka bangkit lebih dulu, meninggalkan Bulan yang terpaku akan kalimatnya.
"Es mulu," tegur Bintang seusai Bulan mendaratkan bokongnya pada bangku mobil.
"Aus bang, abis perang otak. Sekali-kali doang juga."
"Sekali-kali dalam sehari maksud lo," sahut Dhaka malas.
Sampai di rumah Dhaka benar-benar langsung mengemasi barangnya. Ditemani bersama Bulan walau gadis itu hanya diam tanpa membantu. Menatap Dhaka dengan begitu nelangsa seolah akan kehilangan harta karun dunia.
"Tatapan lo seolah gue mau meninggal."
"Anjing," umpat Bulan langsung. "BANG!" Tak butuh waktu lama untuk Bintang ikut masuk ke kamar tamu. Memandang Bulan dengan tatapan bertanya karena sang adik malah membisu lama.
"Kawin sono, buat anak. Biar gue ada mainan di rumah." Enteng sekali bibir gadis itu berbicara.
"Mainan lo banyak," jawab Bintang seadanya.
"Gue tau lo sipit bang, tapi tetep bisa liat kan? Rumah ini sepi barang, malah lo bilang banyak mainan. Dari segi mana yang bisa gue mainin?"
"Tuh play doh penuh satu laci."
Bulan mencibir. Malas berbicara lagi dengan Bintang, lantas beralih kembali memandangi Dhaka di lantai sana.
"Datang akan pergi," tiba-tiba sekali Bulan bernyanyi. Bintang spontan menatap Bulan aneh, sedangkan Dhaka terlihat sudah biasa.
"Kenapa dah?" Tanya Bintang heran, meraup wajah lesu Bulan yang seolah hilang semangat hidup.
"Sedih karna gue tinggal," Dhaka yang menjawab. Lelaki itu bangkit usai dari mengepak barang seadanya. Ikut bergabung duduk di pinggiran ranjang tempat dua kakak beradik itu duduk.
"Cielah, bisa sedih juga lo." Delikan tajam langsung Bintang dapatkan. "Sering-sering maen ke sini ya. Jangan seolah lo kagak pernah tinggal di sini, asingnya melebihi ke rumah mantan."
"Iye, tenang aje. Rumah ini kan udah jadi basecamp kedua setelah kosan gue. Tinggal lo pada aja nyiapin konsumsi."
"Baek-baek di sana sendiri. Kalo butuh apa-apa gak usah sungkan buat nelfon. Jangan lupa makan, jangan keseringan maen hp juga." Bintang menasihati Dhaka seperti dia menasihati Bulan. Sudah persis seperti seorang ayah yang hendak ditinggal anaknya merantau.
Kenyataannya Bintang juga sedih akan kepergian Dhaka. Kehadiran lelaki itu cukup mengisi hari-hari Bintang selama hampir satu bulan ini. Membuat Bintang merasakan bagaimana rasanya memiliki adik laki-laki. Juga simulasi merasakan bagaimana ruwetnya memiliki dua anak yang sering beradu mulut seperti Bulan dan Dhaka.
"Thanks kalian berdua udah bersedia nampung gue. Mau dibeliin apa? Sebagai balas budi nih. Pulau? Kapal pesiar? Jet pribadi?" Bintang dan Bulan kompak tersenyum paksa.
"Keluar dah lo dari sini. Bikin puyeng aje," tadi tampangnya begitu nelangsa. Sekarang berubah judes dengan lirikan yang begitu sinis. Memang mood perempuan tidak ada yang tahu kecuali Tuhan. Bahkan perempuan itu sendiri saja suka tak mengerti dengan kemauannya sendiri.
"Beliin rumah bisa?" Tanya Bintang dengan wajah yang serius.
"Boleh," jawab Dhaka enteng.
"Rumah cemara tapi. Kalo rumah biasa mah gue gak butuh soalnya udah ada."
"Aduh, mendadak duit gue abis." Dhaka merespon usai mendapati maksud lain dari candaan gelap Bintang.
"Bahkan Cina kaya raya aja gak bisa beliin gue rumah cemara."
"Guenya sendiri aja kagak punya bang."
Bulan di sana memutar bola matanya malas. Beranjak pergi meninggalkan dua lelaki yang tampaknya masih ingin berlanjut dengan dark jokes mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.