Kedai di Siang Hari

46 8 0
                                    

Di ruangan tempat biasanya anak-anak BEM berkumpul, Bintang berbaring di sebuah sofa dengan paha temannya sebagai bantalan. Menyimak Marcel yang mulai bertepuk tangan meminta atensi, pertanda dimulainya rapat kecil-kecilan siang itu.

"Gak lama lagi bakal ada anak-anak baru di kampus kita. Kayak yang udah-udah, selalu ada festival tahunan sebagai bentuk sambutan kita ke mereka. Nah, anak BEM tahun ini mau tampil apa?" Marcel memulai rapat dengan diskusi.

"Masih lama anjay. Adek gue aja belom pengumuman kuota snmptn." Itu Esa yang menyahut.


"Ya tapi kan harus siap dari jauh hari bego. Lo mau h-1 acara baru mikir?" Balas Dian sewot.

"Pinter Dian." Puji Bintang sembari bertepuk tangan dengan raut bangga.

"Mumpung kita lagi gak pada sibuk. Karena gue yakin, di antara kalian nanti pasti ada yang nyalon jadi panitia ospek. Makanya gue bahas sekarang." Marcel bangkit menuju ke sebuah papan. Mengambil spidol lalu menulis beberapa kata di sana.

"Kita banyak, gak mungkin tampil semua kan. Gue gak ikut yak." Tatha mengangkat tangan.

"Gue juga gak ikut." Dian mengikuti jejak Tatha bersama beberapa anggota lainnya.

"Bangke, gak ikut aja semua." Bintang menatap sinis tujuh orang yang sudah nyengir lebar. Orang biasanya antusias ingin tampil keren di depan dedek gemes baru. Lah ini, pemalas semua.

"Yang gak ikut jadi panitia acara." Kalimat bernada tegas dari Marcel pun berakhir ribut dengan protesan tak terima.

.
.
.

Usai dari rapat jadi-jadian yang berujung rusuh tadi Bintang tak langsung pulang. Mampir ke sebuah kedai yang rasanya sudah sangat lama tak dia datangi. Padahal baru beberapa hari ini kakinya tidak masuk ke dalam sana, tapi rasanya rindu seakan tak berjumpa lama. Ternyata ramai juga di siang bolong begini.

"Es teh satu."

"Weh, dari mana aja lo bang? Semingguan ini kagak muncul-muncul." Seorang perempuan berujar heboh, meninggalkan area kasir sejenak untuk lebih mendekat kepada Bintang.

"Biasalah, orang sibuk."

Ningsih nama perempuan itu. Umurnya dua satu tahun di bawah Bulan, namun Ningsih tidak sekolah sebab keterbatasan biaya. Karena itu Bulan yang sering keluyuran mengelilingi dunia menggaet Ningsih untuk bekerja di sana.

Kedai satu lantai itu dibangun atas kegabutan Bintang dan Bulan dua tahun yang lalu. Awal mula hanya mereka berdua yang menjadi pekerja dengan mengikuti jadwal Bintang yang tidak tetap, hingga dua bulan setelahnya Ningsih datang. Lalu besoknya, langsung datang dua laki-laki yang ingin melamar sebagai pekerja.

Tidak ada alasan serius dua kakak beradik itu membangun tempat nongkrong anak-anak muda zaman sekarang. Hanya bermodalkan tabungan yang bisa dibilang cukup banyak dari uang jajan berlebih papa dan mama, serta uang dari hasil mereka masing-masing entah itu ikut lomba atau ngepet.

"Sok sibuk. Ya udah, silakan ditunggu pak bos."

Bintang duduk di sudut ruangan. Membuka ponselnya selagi mengisi waktu menunggu pesanannya tiba. Tidak terlalu larut karena tidak ada yang menarik di dalamnya. Sambil sesekali juga menatap ke sekeliling ruangan. Melihat-lihat pengunjung yang didominasi oleh perkumpulan anak muda. Beberapa ada yang duduk sendirian dengan laptop di hadapan, khas anak kuliah sekali.

"Selamat menikmati tuan." Bintang tertawa mendengar penuturan jenaka dari lelaki tinggi berlesung manis yang kerap disapa Ben.

"Baik, terima kasih mas." Giliran Ben yang tertawa. Menepuk pelan bahu Bintang lalu pamit untuk kembali ke dapur.

Tinggallah Bintang seorang diri. Merenungi hidup berteman es teh yang menyegarkan di teriknya matahari luar sana. Cuaca di bulan-bulan ini sedang aneh. Siang hari panasnya begitu menyengat hingga membuat pengendara motor belang tangannya. Namun saat sore hingga ke malam hujan turun sampai menggigil dibuatnya ketika mandi pagi. Bintang pun bingung sekarang sedang musim kemarau atau musim hujan.

Sedotannya pada teh terhenti saat matanya menangkap sosok gadis dengan seragam sekolahnya. Berjalan cepat masuk ke area kasir yang langsung disambut oleh Ningsih. Bintang buru-buru meletakkan telunjuknya di depan bibir saat Ningsih menatapnya, menyuruh gadis itu untuk diam jika dia berada di sini.

"Berantem lagi?" Tanya Ningsih malas. Sudah tak heran dengan teman sekaligus bosnya ini.

"Cewek-cewek itu ngeselin, kayak anjing." Lalu melengos masuk ke dapur untuk membuat minumannya sendiri.

"Loh, tumben cepet?" Tanya Ningsih kaget saat Bulan sudah duduk di sampingnya setelah menghilang tak sampai satu menit. Melihat gelas yang sepertinya hanya berisikan susu coklat dengan es batu tanpa sedotan. Biasanya Bulan bisa memakan waktu sampai satu jam hanya untuk membuat satu minuman eksperimennya.

"Gak mood berbuat." Jawab Bulan cepat. Menenggak susunya dengan wajah yang masih terlihat masam.

"Siapa lagi kali ini? Atau si Dena Dena itu lagi?" Ningsih membersikan darah yang sudah mengering di sisi kepala gadis itu menggunakan lap meja.

Helaan napas gusar seolah membenarkan pertanyaan Ningsih. "Mereka tuh kayak gak ada kapok-kapoknya. Udah gue buat patah hidung, masuk rumah sakit, mimisan, masih aja."

"Terus, kening lo kok bisa berdarah gini? Biasanya mulus aja lo lawan mereka."

"Dia tiba-tiba dorong gue, kepentok pintu jadinya. Beraninya dari belakang doang bangsat."

"Harus naik level berarti. Ntar-ntar kalo mereka ngajak ribut, lo buat koma sebulan. Ngajak ribut lagi lo matiin dia."

"Hemm, saran yang bagus." Bulan mengangguk-angguk dengan pipi yang mengembung lantaran menyimpan satu buah es batu berukuran besar di mulut.

"Sesat."

Bulan menoleh cepat ke sumber suara. "Ngapain lo di sini?!" Tanyanya sewot.

"Tempat ini punya gue juga kalo lo lupa. Suka-suka gue dong mau ke sini apa nggak."

Bulan mendelik acuh. "Gak nanya." Yang berhasil membuat Bintang mengguncang gemas kepala gadis itu.

"Cemen amat lo kepentok doang langsung menstruasi." Dengan entengnya Bintang mencuil luka di dahi Bulan. Membuat aliran darah yang sejak di sekolah tadi mendidih dan sudah mulai berkurang, terasa mendidih kembali.

"Pisau mana pisau. Minta dipotong banget jari kotornya, hm?"

"Hehe- AKHHH AMPUN!" Para pengunjung kompak memberi atensi kepada dua saudara itu. Bulan yang menjambak rambut Bintang, dan Bintang yang sibuk mengaduh serta memohon ampun. Membuat Ningsih yang menonton pertikaian itu di depan matanya langsung berdecak geram.

"Pulang aja dah lo berdua! Bikin pusing aja, gue mau kerja."

Bintang dan Bulan spontan saling menatap. Tangan Bulan bahkan dengan cepat turun kembali ke tempat semula.

Lalu tak sampai tiga detik, keduanya bangkit berdiri secara bersamaan. "Takut, ada nenek lampir."

Memang kakak beradik itu kompak hanya di saat-saat tertentu saja. Ningsih hampir melepas sepatunya sebagai bentuk kekesalan jika saja Bintang dan Bulan tidak gesit berlari keluar.

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang