"Jadi karena itu kamu sampe nanya orang gila bisa bunuh orang apa nggak?"
Bintang mengangguk mengiyakan. "Tapi polisi curiga, kalo mayat itu bukan dibunuh oleh si orang gila ini."
"Kenapa gitu?"
"Tingkah lakunya pas dikasih pisau udah kayak orang yang mau dimutilasi. Teriak 'ampun jangan bunuh aku,' bahkan sampe sujud-sujud mohon ampun gitu."
"Ada orang yang nyuruh dia," gumam Arina seperti berpikir.
"Dugaan polisi juga gitu, ditambah gak adanya bukti yang mengarah kalo dia bunuh si mayat. Tapi masalahnya tuh orang ngango buat ditanya. Sibuk ketawa-ketawa sambil tepuk tangan gak jelas." Bintang menggeleng tak habis pikir.
"Terus-terus, mayatnya udah tau punya siapa?"
"Temen sekolahnya Bulan," jawab Bintang lemas. "Tiap detik hati aku gak tenang. Apalagi semenjak ancaman baru-baru ini. Pembunuh itu secara gak langsung mau jatuhin mental Bulan kayaknya."
"Misalkan orang gila itu emang suruhan si pembunuh ini, apa mungkin pelakunya adalah orang terdekat?" Pertanyaan Arina berhasil mengubah raut Bintang yang semula begitu lempeng menjadi serius. Duduknya pun spontan saja menegak hingga wajah Arina begitu tersorot di hadapannya.
"Kamu bikin aku tambah takut," rengek Bintang setelahnya.
Arina tertawa, mencairkan sedikit suasana yang ada. "Kan cuma praduga doang sayangku. Lagian nih ya, kamu sendiri yang cerita ke aku gimana ganasnya Bulan lawan orang yang menurut dia ngeselin sampe keluar masuk bk. Harusnya kamu percaya dong, Bulan pasti bisa jaga dirinya sendiri. Pikiran yang kelewat buruk itu gak baik, Bintang. Jangan karena otak kamu yang keruh ini malah bikin semua dugaan buruk kamu jadi kenyataan. Pikirin yang baik-baik aja, tenang, dan yakin kalo Tuhan bakal terus jagain adik kamu."
Bintang berdecak kagum untuk dirinya sendiri. Sekali lagi, tidak salah dia memilih Arina sebagai kekasihnya.
"Kamu kayak gini bikin aku kebelet kawin." Tutur Bintang jujur dari hati yang paling dalam.
Arina mendengus, bangkit sembari menjulurkan sebelah tangannya. "Ayo lanjut jalan."
Dua sejoli itu kembali melanjutkan perjalanan. Melewati berbagai hewan yang tengah bersantai di kandangnya masing-masing. Sesekali juga memberi hewannya makan walau agak ngeri-ngeri sedap.
"Kamu ngapain takut gitu sih?" Tanya Bintang seperginya mereka dari kawasan para monyet.
"Aku sering liat video orang yang kena ngap sama monyet, jadinya kebawa ngeri. Mana monyetnya tadi kayak gak sabaran banget seolah mau gigit tangan aku."
Bintang tertawa sambil mengusak rambut Arina karena gemas. "Dasar penakut."
"Gak penakut, cuma waspada aja."
"Iya sayang iya."
Hari sudah hampir gelap sepenuhnya dan perut mulai bergejolak. Puas mengitari kebun binatang selama berjam-jam lamanya, Bintang pun beralih mengajak Arina ke sebuah kedai nasi goreng yang mulai ramai pengunjung.
"Aku sering lewatin ini, tapi gak pernah mampir." Arina berujar setelah sepiring nasi goreng hinggap di hadapannya. Aroma dari asap yang mengepul begitu menggugah hingga tanpa sadar membuatnya menelan liurnya sendiri.
"Rugi ih kamu. Nasi gorengnya mantep padahal."
"Habisnya diliat tiap hari rame terus. Aku penasaran, tapi males pula kalo harus ngantri."
Bintang mengangguk setuju. "Ini jamnya baru buka aja, makanya belum terlalu sumpek."
"Tapi kok bisa cepet banget jadi? Padahal baru semenit yang lalu kita pesen kan." Minum lebih dulu agar tidak seret, Arina mulai menggenggam sendok dan garpu.
"Kamu liat kuali segede gaban yang banyak-banyak di belakang tadi kan. Mereka bakal buka pas semua nasi goreng di tiap kualinya hampir mateng."
Arina berdecak kagum. "Karena udah tau bakal langsung rame ya. Tapi sumpah ini beneran enak banget." Netra bulat Arina semakin membesar usai suapan pertama masuk.
"Nanti aku ajak kamu explore tempat makan yang enak lagi ya."
Cukup lama keduanya mendekam di kedai yang semakin ramai. Baru pergi saat ada pengunjung yang tidak kebagian tempat duduk. Bintang menghentikan mobilnya di depan ruko yang tertutup. Mengajak Arina pergi ke jembatan, memandangi tenangnya air danau dari atas dengan berbagai kerlap-kerlip lampu yang menghias. Banyak penjual makanan di pinggiran, terlebih lagi jagung bakar. Tapi perut sudah terlalu penuh oleh nasi goreng tadi.
"Nih bocah kok belum ada ngabarin ya. Emang nonton orang lomba selama itu kah?"
"Ya pasti lama dong. Pesertanya juga pasti banyak. Biarin aja kali, sekalian refreshing Bulan tuh. Kasian kamu kurung terus di rumah."
Bintang mencebik. "Ya itu satu-satunya cara aku buat jagain dia. Tuh anak licinnya melebihi mulutnya si Galang. Aku oleng dikit dia udah nyelonong sana-sini."
Arina geleng-geleng kepala dibuatnya. Sifat Bintang yang satu ini sudah Arina hafal di luar kepala. Protektifnya berlebihan memang, namun itu semua tentu demi keamanan Bulan yang agak rawan akhir-akhir ini.
"Yaudah, apa kita susul aja? Di mall city kan nonton lombanya?"
Dengan begitu mobil kembali Bintang lajukan dengan santai. Di samping Bulan dan Dhaka yang memang belum menghubungi, Bintang terlalu asyik mendengar cerita Arina sampai mobilnya terhenti oleh kemacetan.
"Ini malem minggu ya, pantes aja macet." Arina berucap setelah menghentikan sesi ceritanya.
"Se-weekend apa pun hari, aku rasa gak pernah semacet ini." Tanggap Bintang pelan.
Dalam hening keduanya mengamati padatnya jalan, samar sirine ambulans serta polisi dari kejauhan terdengar. Semakin lama semakin mendekat bersamaan dengan klakson mobil yang menambah kebisingan. Kendaraan besi beroda empat sebisa mungkin menepi, mencoba membuka jalan untuk jejeran mobil dengan sirine yang mencekam.
Bintang membuka pintu mobilnya, berjalan mendekati dua pria paruh baya yang berdiri di trotoar.
"Permisi pak, mau tanya. Di depan ada apa ya sampe panjang gini macetnya?"
"Oh, itu dek. Tadi tiba-tiba ada ledakan di pintu masuk mall city. Habis itu nyusul pula dari dalem. Tambah lagi katanya ada gas yang bocor, bikin lantai satunya hangus kebakar."
"Bang, gue mau nonton temen sekolah gue lomba. Sama empat curut kok, gak sendirian."
"Di mana?"
"Mall city, di lantai satu. Lo tau kan area kosong yang ada panggungnya itu, nah lombanya di sana."
"Jam berapa?"
"Mulainya sih jam satu. Tapi gue janjiannya dari jam dua belas. Mau nongki dulu dong."
Entah sudah kali ke berapa jantung Bintang serasa diguncang, padahal belum masuk ke pertengahan bulan di tahun ini. Bintang sungguh tidak akan heran jika sebentar lagi dia akan gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Novela JuvenilBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.