"Tang, selesain ya."
Bintang mengangguk patuh akan perintah sang ketua. Sampai Marcel bersama Arjun berlalu pergi, Bintang yang mengambil alih pembicaraan. Singkat saja karena Marcel sudah membabat semua masalah. Kemudian menutup forum diskusi setelah dirasa beres.
"Habis ini langsung pulang, Tang?"
"Hooh, tugas gue dah bejibun."
Esa mengangguk paham sembari menepuk-nepuk bahu Bintang. "Duluan bro."
Tungkai jenjangnya berjalan cepat ke kantin fakultas. Mengeluarkan laptop, lalu mulai tenggelam dalam huruf per hurufnya ditemani musik yang mengalun dari airpods.
Satu jam lagi Bintang ada jadwal kelas, lalu setelahnya menjemput Bulan dan Pandu di sekolah karena Panji sedang sakit. Sehabis mengantar dua bocah pulang pun Bintang harus kembali lagi ke kampus untuk menghadiri seminar. Belum lagi ada tiga buah tugas yang menungguinya dalam tenggat waktu yang singkat. Memaksa Bintang harus bekerja lebih cepat dan cermat.
Jangan menghakimi Bintang tentang tugas terlebih dahulu. Nyatanya memiliki dosen yang ingin semuanya sat-set sungguh menyulitkan. Sudah memberikan tugas yang rumit, sedangkan waktu pengumpulannya hanya berselang dua hari. Dan rata-rata dosen yang mengajar seperti itu semua tabiatnya. Apa tidak gila jika kalian ada di posisi Bintang.
Alasan yang diberikan oleh para dosen jika ada mahasiswa yang protes selalu, 'Kalian kalau kerja nanti harus lebih gesit dari ini. Anggap saja training biar kalian gak kaget saat masuk ke dunia kerja.'
Tapi plusnya dosen Bintang, beliau tidak pelit nilai. Jadi mahasiswa tidak merasa gumoh berlebih mengerjakan tugas bertumpuk-tumpuk karena dibalas juga dengan nilai yang memuaskan.
Waktu berjalan cepat. Bintang langsung bergegas menuju kelas saat sadar bahwa perkuliahan akan dimulai beberapa menit lagi.
"Oke, kita cukupkan dulu untuk hari ini. Maaf saya tidak bisa berlama-lama. Gantinya, akan ada kejutan dari saya malam nanti. Silakan ditunggu semua!"
Kalimat keramat itu meluncur dengan mulus tanpa beban. Semua kompak mendesah lemas, berbanding terbalik dengan pria setengah baya yang nampak senyum-senyum sumringah keluar dari kelas.
Akan bertambah satu lagi tugas Bintang.
.
.
.Pukul delapan hampir ke angka sembilan malam Bintang baru bisa pulang. Langsung saja dia bergegas mandi kemudian mengecek Bulan di kamar. Kamar gadis itu tak biasanya setentram ini.
"Loh, tumben dah tidur." Bintang mendekat, menatap jelas wajah Bulan yang terlihat kalem karena sedang tertidur. Lalu mengingat tubuhnya yang sedang tidak dalam kondisi baik, Bintang iseng menyentuh kening Bulan.
Panas ternyata.
Beralih ke kamar untuk mengambil dompet terlebih dahulu. Berjalan kaki menuju apotek terdekat untuk membeli plester penurun panas. Tiba-tiba Bintang tertawa sendiri di tengah jalannya. Jika diingat-ingat, baik Bintang maupun Bulan jika sedang sakit pasti di waktu yang berdekatan layaknya anak kembar. Bintang sendiri pun sedari pagi tadi memang sudah merasa tidak enak badan. Mungkin efek dari kurangnya istirahat satu mingguan ini. Jadwal tidurnya pun benar-benar tak karuan karena terpakai untuk mengerjakan tugas yang tak berkesudah.
Sampai di rumah Bintang langsung mengunci pintu. Menempelkan plester yang tadi dia beli ke kening Bulan. Setelah itu ke dapur untuknya minum obat agar meriang pada tubuhnya cepat menghilang. Lantas dengan begitu Bintang memulai kerja otaknya.
•-•-•-•-•-•-•-•-•-•
Bangun tidur Bulan bergegas membasuh wajah untuk mengembalikan nyawa. Agak menggigil saat kulitnya bersentuhan dengan air. Melepas plester dari kening lalu memegang keningnya sendiri, masih lumayan panas.
Melihat jam dinding yang menyentuh ke angka lima lewat, Bulan termenung. Bingung mau sekolah atau tidak. Tapi jika dia sekolah pun agak tidak berguna. Semua pelajaran tidak akan masuk ke kepala jika sedang sakit seperti ini.
"Gak usah deh."
Dengan mandiri Bulan menulis surat izinnya sendiri. Tanda tangan pun tanda tangan buatan sendiri walau dengan nama Bintang sebagai wali. Keluar dari rumah, berjalan santai menuju ke rumah Pandu.
"Buset dingin bener nih dunia." Agak bodoh juga. Sudah tahu sedang sakit, nekat keluar tanpa pakaian yang memadai di pagi hari. Celana selutut dengan kaus hitam tanpa lengan mengundang angin masuk lebih dalam.
"PANDU!" Panggil Bulan sembari mengetuk, atau lebih tepatnya menggedor pintu.
Suara kunci yang terbuka diiringi dengan pintu yang terdorong menampilkan sosok Pandu dengan wajah bantalnya. "Masih pagi cok. Lo udah mau pergi?" Tanya Pandu heran.
"Gak sekolah gue. Titip surat nih."
Pandu merima amplop yang Bulan sodorkan lalu memegang kening teman sedari oroknya itu. "Widih, bisa ceplok telor ini."
"Tai lo gue ceplok." Sewotnya lalu berlalu pergi. Tak tahan dia berlama-lama di luar.
Baru lima langkah Bulan berjalan, suara batu kerikil yang dilempar dari arah belakang menghentikan langkahnya. Terlihat samar sosok hitam yang menyembul seperti sedang mengintip. Bulan mengernyit untuk melihat lebih jelas apa yang ada di belokan depan sana.
"Bjir, joker?" Bukan hantu, melainkan sosok manusia yang memakai topeng badut joker. Sosok yang Bulan perkiraan seorang lelaki perlahan menampakkan wujudnya lebih jelas. Membuat mereka saling berhadapan dengan jarak yang tidak terlalu jauh, hanya terbentang oleh dua rumah saja.
"Lo orang sini?" Tanya Bulan.
Lelaki itu tak menjawab dan malah mendekat sembari menyeret tas tenteng yang terlihat penuh. Mendapat sinyal tak enak, Bulan pun melangkah mundur berangsur-angsur.
"Stop di situ atau gue teriak."
Layaknya kilat yang menyambar, lelaki itu berlari seolah naruto dengan jurusnya. Melempar tas yang cukup besar itu ke wajah Bulan dalam sekali hentak, sukses membuat pening yang semula biasa saja jadi bertambah berkali-kali lipat. Kedua tangan besar itu mencekik leher Bulan seolah tersirat dendam yang mendalam.
Tak bisa diam saja, Bulan berusaha membuka topeng yang menutup wajah asli orang tak jelas itu. Namun semakin tangannya terangkat, semakin kuat pula dia mencekik Bulan. Bahkan untuk sekedar mengerang saja Bulan tak mampu dibuatnya.
Tak hilang akal, Bulan meninju ulu hati juga tempat pengeluaran urine lelaki itu.
"TOLONG ADA O-" wajah Bulan dihantam hingga sudut bibirnya sobek.
"BAJINGAN GILA!" Bulan membalas dengan kepalan tangannya ketika satu per satu orang mulai menampakkan diri. Bukan lagi rahang lelaki itu yang Bulan hajar, namun topeng yang menutup menjadi sasaran hantaman Bulan hingga tangannya nyeri bukan main. Lalu gelap, Bulan pingsan sesaat setelah Pandu menyerukan namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.