Rumah Milik Dhaka

28 4 0
                                    

"Terjadi ledakan, kebakaran, serta kesurupan massal di mall city kemarin malam pada pukul 19.40 Waktu Indonesia Barat. Ledakan pertama terjadi secara tiba-tiba di sekitaran pintu masuk tempat pengambilan karcis berada, kemudian menyusul ledakan kedua di bagian dalam gedung tepatnya di lantai satu. Sedangkan kebakaran diduga karena bocornya tabung gas dari restoran cepat saji yang membakar hangus sebagian dari gedung mall city. Kejadian ini menewaskan tujuh belas orang serta enam puluh pengunjung yang terluka parah ..."

"Pengalaman langka yang sulit dilupakan." Dhaka berkomentar di tengah tayangan televisi. Lelaki itu tampak sedang mengunyah permen karet lalu membentuknya menjadi sebuah balon.

"Apakah anda mengalami trauma tuan Dhaka?" Tanya Bulan berlagak seperti seorang reporter.

"Tidak."

"Anda tidak menyesal pindah ke Indonesia karena kejadian ini?"

"Tidak."

"Apakah setelah ini anda ada niatan ingin membeli tiket pesawat untuk kembali ke negara anda berasal? Atau bahkan anda telah membelinya?"

"Tidak."

"Anda sangat tidak asik." Cibir Bulan menyudahi sesi tanya jawab.

"Gak usah lagi deh pergi-pergi keluar. Emang paling bener mantep aja kalian di rumah." Bintang akhirnya buka suara. Menatap Bulan yang langsung memasang ekspresi tak setuju dan Dhaka yang lempeng saja. "Tidak menerima bantahan."

"Cih," Bulan berpaling. Kembali menatap ke layar televisi yang tengah menayangkan video rekaman mall city yang diambil melalui kamera ponsel oleh warga sekitar.

Bintang berlalu dari ruang tengah menuju ke kamarnya. Mengganti baju dengan setelan yang lebih rapi lalu mengambil kunci motor.

"Kalian berdua jangan ke mana-mana. Pintunya dikunci, intip dulu kalo ada yang ngetok. Kalo bosen mau ke rumah Panji gapapa, ke sana doang tapi. Jangan melipir ke tempat lain. Gue rapat dulu."

Bulan terdiam malas menatap Bintang yang mulai berjalan ke depan.

"Bul!" Panggilan itu membuat Bulan mau tak mau bangkit menyusul. Mengunci pintu usai Bintang benar-benar keluar, lalu kembali lagi duduk bersama Dhaka di depan televisi.

"Bosen kagak lo?" Tanya Bulan.

"Harus banget ditanya?" Dhaka bertanya balik.

Lalu helaan napas gusar menguar kompak setelahnya. Tanggal merah biasanya menjadi hari yang paling membahagiakan untuk anak sekolah. Tapi untuk dua remaja itu, mereka kurang suka. Lebih enak sekolah tapi jam kosong daripada libur dan berakhir menggabut di rumah menurut keduanya.

"Gabut bet anjir!" Bulan bangkit berdiri, memindai matanya ke penjuru ruangan. Mencari-cari sesuatu yang sekiranya seru untuk dilakukan. "Lo anak kos kan. Sendiri di sana ngapain biasanya?"

"Tidur," jawab Dhaka singkat.

"Gak berfaedah." Bulan menyusuri rumahnya lebih dalam. Meninggalkan Dhaka yang masih duduk diam menatap televisi. Tidak berniat menyusul karena otak Bulan suka tak terduga jika sedang gabut seperti ini. Maka dengan cepat Dhaka bangkit, inginnya masuk ke dalam kamar. Tapi pekikan Bulan yang memanggil membuat Dhaka urung dan dengan malas datang menghampiri.

"Bikin slime yuk!"

.
.
.

Bubar dari rapat BEM Bintang tidak langsung pulang. Mampir sebentar untuk membeli martabak manis langganannya yang tak jauh dari letak kampus berada.

Langit sudah hampir menggelap. Burung-burung berterbangan ingin segera pulang ke rumah. Jalanan pun tampak begitu padat oleh para pekerja yang lelah mencari uang. Saat-saat seperti ini tiba-tiba membuat Bintang teringat akan kedua orang tuanya. Kira-kira sedang apa papa di Singapura sana. Kira-kira juga mama sudah makan atau belum di kantornya.

Tidak ada balasan jika Bintang mengirim pesan kepada mama. Menghubungi papa pun sering tak diangkat, malah dibalas beberapa jam berikutnya bahkan beberapa hari setelahnya dengan pesan singkat yang berisi permintaan maaf dan ujaran sibuk.

Bintang tidak marah. Dia mengerti dengan pekerjaan keduanya yang begitu menguras waktu dan otak. Namun tentu ada kalanya Bintang ingin seperti anak di luaran sana. Menghabiskan waktu bersantai walau hanya mengobrol ringan tentang keseharian. Makan bersama di ruang makan. Berbagi tawa dengan macam-macam candaan garing. Saling mengucap selamat malam saat akan berlabuh ke alam mimpi.

Seperti keluarga cemara lainnya.

Tapi seolah sulit sekali. Kalimat 'tidak ada yang mustahil di dunia ini', itu salah besar. Contohnya ya harapan Bintang yang satu ini.

"Permisi mas, ini pesanannya."

Lamunan Bintang terputus oleh tepukan pelan di bahu. "Oh, iya pak makasih. Ini uangnya."

Sesampainya di rumah, terlihat dua anak remaja berbeda gender masih menetap di ruang tengah. Dengan sang gadis yang sedang serius membentuk sebuah adonan play doh, dan sang lelaki yang memperhatikan tanpa minat membantu.

"Bikin apa?" Tanya Bintang meletakkan bawaannya ke atas meja. Membuka dua kotak martabak yang masih hangat untuk kudapan.

"Bikin rumah anti retak."

Bintang mengangguk saja. Pergi sebentar ke kamar untuk berganti baju dan mencuci tangan.

"Ngapain aja tadi?" Bintang mengambil potongan martabak rasa coklat kacang.

"Bikin slime tapi gagal." Jawab Dhaka tak jelas karena mulutnya masih penuh dengan martabak. Bulan yang awalnya fokus pada mainan pun spontan mendengus sebal.

"Ajaran lo sesat, makanya gagal." Sewot Bulan.

"Salahin orang yang bikin konten sana. Gue kagak tau apa-apa."

"Kayak bocah lo berdua mainannya slime." Komentar Bintang santai, tanpa sadar jika Bulan sudah menghunuskan pedang tajam dari matanya. Dhaka yang melihat refleks menutup kedua telinga dengan punggung tangannya.

"SIAPA TADI YANG SURUH KITA MANTEP DI RUMAH!"

Bintang tertawa meringis. Memasukkan sisa gigitan martabaknya ke dalam mulut Bulan sembari berujar. "Makan aja nih. Udah malem gak boleh teriak."

Dhaka terdiam hanyut oleh tingkah laku Bintang dan Bulan yang menurutnya lucu. Melihat Bintang yang memakan martabaknya hingga tersisa satu gigitan saja, lalu disuapkan kepada Bulan yang masih serius membentuk mainannya. Dua saudara yang begitu baik ingin menampungnya dari teror orang jahat yang sebenarnya belum tentu akan terjadi. Membuatnya merasakan suasana rumah yang sesungguhnya. Hangat dan menyenangkan.

"Thanks ya, buat kalian berdua."

Bintang dan Bulan kompak menatap Dhaka dengan tanya.

"Thanks buat lo bang, yang udah mau jadi rumah kedua buat gue setelah sahabat-sahabat gue."

"Dan thanks buat lo Bulan, udah ada di rumah pertama dan kedua gue."

"Entah gimana cara gue bales semua yang kalian kasih ke gue selama ini."

Bintang melempar senyum hangatnya sembari mengusak pelan rambut Dhaka. "Gak perlu dibales. Kayak orang di luaran sana yang punya rumahnya masing-masing, lo juga berhak punya."

"Definisi rumah gak selalu berbentuk bangunan ya kalian. Jangan cepet-cepet mati ya, gue gak sanggup liat orang yang gue sayang pergi."

Bulan menabok betis Dhaka hingga bunyi nyaringnya keluar. "Lo doain kami cepet mati?"

"Gue gak bilang gitu." Balas Dhaka acuh. "Pokoknya panjang umur buat kalian. Jangan mati sebelum gue."

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang