"Memar-memar kamu gimana?" Arina melempar tanya tepat setelah dia duduk di hadapan Bintang.
"Beberapanya udah pudar. Kamu mau pesen apa?"
"Emm, ayam rica-rica sama jeruk panas."
Bintang mengangguk sembari mencatat pesanan, kemudian memberikannya kepada pelayan. "Kata orang tanda-tanda manusia udah mulai dewasa tuh kalo pesen minum yang anget-anget."
Arina tertawa. "Sama makan lalapan kalo beli pecel lele kan."
"Tapi kalo dipikir-pikir lagi mungkin ada benernya. Aku dulu gak suka sama lalapan, tapi sekarang semuanya aku telen. Sampe kamu rasanya mau aku telen juga."
Kursi Arina jauhkan dengan raut ngeri. "Kanibal."
"Kamu gemesin, makin pengen aku telen rasanya."
"Aku lem juga lama-lama bibir kamu ya," Arina mengangkat salah satu sendok sebagai senjata. Bintang tertawa, menarik tangan Arina untuk kembali ke posisi semula.
"Aku mau konsul sama kamu," tutur Bintang setelah diam beberapa saat.
Arina menaruh perhatian penuh kepada kedua obsidian Bintang. "He'em, silakan."
"Kalo anak yang awalnya hiperaktif berubah diem, itu kenapa menurut kamu?"
Tak perlu berpikir lama untuk Arina menjawab. "Kemungkinan besar ada hal yang ganggu pikiran dia. Entah dari lingkungan dalam maupun luar. Tapi jangan salah, orang yang hiperaktif juga ada masanya dia capek dan diem buat nge-charge ulang energinya."
"Tapi diemnya itu beda banget loh. Kayak orang linglung gitu kalo diajak ngobrol."
"Kamu pernah tanya dia kenapa?"
Bintang mengangguk cepat. "Sering malah. Tapi responnya nggak menjurus ke pertanyaan aku. Dia seolah gak mau bahas atau cerita-cerita apa yang lagi dia alami."
"Bulan ya?" Tembak Arina tepat sasaran.
"Peka banget kamu jadi manusia." Rutuk Bintang sebal mengundang cekikikan geli Arina.
"Bukan aku yang peka, tapi kamunya yang terlalu mudah dibaca. Siapa lagi coba orang yang bisa buat seorang Bintang kalut kayak gini kalo bukan adeknya?" Bintang mendengus. Ada benarnya juga ucapan Arina.
"Tiap hubungan itu selalu ada timbal balik. Bukan cuma pasangan doang. Persaudaraan, persahabatan, rekan kerja, dan lain-lain. Singkatnya sih sepele. Kamu gak terbuka sama Bulan, Bulan juga gak terbuka sama kamu."
Bintang seolah ditampar oleh tangan yang tak kasat mata. Ingin menyanggah pun ucapan Arina benar adanya. Sebagai seorang kakak, Bintang hanya ingin menjadi penyangga untuk adiknya. Mengulurkan tangan jika Bulan terjatuh, membimbing Bulan jika tersesat, memeluk Bulan di kala gadis itu bersedih. Juga yang terpenting, tak ingin terlihat lemah di depan sang adik. l
Itu semua naluri yang spontan ada pada seorang kakak kan.
Arina memajukan sedikit tubuhnya untuk menggenggam kedua tangan sang kekasih yang mengepal. "Bintang, kamu pernah cerita kan sama aku. Di rumah kamu cuma punya Bulan, begitu juga dengan Bulan tentunya. Hidup sama-sama dari kecil pasti bikin kalian seolah sehati layaknya anak kembar. Aku berani jamin, Bulan pernah tanya kamu baik-baik aja apa enggak, dan kamu jawab baik padahal kondisi kamu sebaliknya. Right?"
Anggukan Bintang berikan dengan kaku.
"Itu sebenernya Bulan udah ngerasain sesuatu, kayak ada yang salah nih sama kakaknya. Bukan anak kembar doang yang bisa telepati satu sama lain loh. Hubungan kalian yang dekat bisa jadi sebab telepati itu terbangun. Jadi, kalo kamu mau Bulan terbuka, kamu juga harus ikut terbuka. Gak semua harus kamu simpan sendiri walau kamu seorang kakak."
Mati kutu sudah Bintang dibuatnya. Bahkan sampai pelayan mengantar pesanan mereka pun Bintang masih terdiam kaku. Arina sang pelaku hanya tertawa geli, membiarkan Bintang merenungi ucapannya.
"Kamu merenungnya sambil makan dong. Mumpung masih anget nih." Piring Arina geser agar lebih mendekat kepada Bintang. "Mikir butuh tenaga juga tau."
Selepas makan siang, dua sejoli itu memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi mall. Melihat-lihat baju tanpa membeli, pergi ke bioskop untuk mencium aroma popcorn, lalu ke toilet, dan terakhir ke mobil karena sudah hampir mendekati jam pulang sekolah Bulan.
Bintang membuka kaca mobil bagiannya. Sengaja supaya Bulan melihat jika kursi di sampingnya terisi sang kekasih.
"Temen Bulan cowok semua ya." Ucap Arina begitu menangkap wujud Bulan sedang berjalan bersama empat orang laki-laki. Tampak begitu harmonis walau dibumbui oleh kejahilan salah satu dari mereka.
"Iya, dari TK pun udah gitu." Bintang menjawab. "Selain wataknya yang klop temenan sama lakik, dia punya banyak kejadian buruk temenan sama anak cewek."
"Kok bisa? Padahal Bulan cantik loh. Keliatan humble juga sama temennya."
"Waktu sd dia sering diejek sepanjang enam tahunnya di sana karena matanya yang buat dia dipandang sinis, dan yang ngejek itu semuanya cewek. Bahkan pernah main tangan yang pastinya dibales juga sama Bulan. Tapi mereka malah playing victim seolah Bulan yang pukul mereka duluan. Guru dengan dangkalnya lebih percaya sama mereka cuma karena luka-luka mereka lebih parah dibanding Bulan yang sendirian. Dan semenjak itu juga Bulan insecure sama matanya yang buat dia seolah sombong, padahal dianya diem biasa doang."
"Naik ke SMP, Bulan punya dua temen cewek. Tapi di kenaikan kelas, satu pindah negara yang otomatis juga pindah sekolah karena harus ikut orang tuanya, dan yang satu lagi meninggal karena sakit."
"Kok sedih banget sih," bibir Arina melengkung ke bawah. Sebagai orang yang perasa, Arina seakan diajak merasakan apa yang Bulan alami hanya dengan cerita singkat dari Bintang.
"Makanya, Bulan agak membentengi pertemanannya dengan cewek. Tapi tetep ada kok walau gak banyak."
Tepat setelah Bintang menyelesaikan kalimatnya pintu belakang dibuka, siapa lagi kalau bukan Bulan. "Serasa dijemput mama papa, duh jadi seneng." Bulan masuk dengan begitu sumringah. "Ayo papa kita pulang!" Bulan menepuk-nepuk kursi bagian pengemudi.
"Tuker tambah anak sih kalo yang keluar kayak lo." Bulan mendelik tak peduli, mulai memposisikan tubuhnya dengan nyaman untuk tidur. Tenaganya terkuras setelah mendengar omelan panjang lebar Vano hanya karena dirinya terjatuh saat keasyikan berlari.
"Buset, dah tidur aja tuh bocah."
Arina menoleh ke belakang untuk memastikan ucapan Bintang. "Eh, lututnya kok luka."
"Beneran? Udah gak heran sih. Gapapa, namanya juga remaja. Ini kita mampir ke cfc dulu ya buat dia makan sore."
Refleks Arina menabok lengan Bintang. "Kenapa harus fast food? Banyak makanan lain yang lebih sehat. Gak usah."
"Ya tapi beli apa dong, sayang. Anaknya dari kemaren pengen burger."
"Ya jangan diturutin! Gak bagus tau makanan gitu-gituan. Beli sate Madura aja tuh." Bintang bisa apa selain menurut. "Tunggu sini, biar aku yang beli."
"Cocok banget jadi ibu dari anak-anak gue nanti." Gumam Bintang pelan. Tertawa sendiri membayangkan jika ucapannya terkabul. "Pinter banget gue nyari calon bini ternyata."
Bintang terus memandangi sosok Arina yang sedang menunggu pesanan. Entah efek bucin atau apa, tapi demi sempak beruangnya Bulan, Arina yang duduk di pinggiran kedai nampak begitu cantik. Saat menerima pesanan dan kembali masuk ke mobil pun masih sama cantiknya.
"Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" Tanya Arina.
"Cantiknya pacar aku." Bintang mengusak rambut sang gadis dengan lembut. Coba beri tahu Arina wanita mana yang tidak klepek-klepek diperlakukan seperti itu oleh lelakinya.
Semburat merah pun tampak di kedua pipi Arina, sukses membuat Bintang tertawa gemas lalu mencubit sebelah pipi kekasihnya.
"Bahaya banget pacaran sama kamu ternyata."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.