Panik yang Sia-sia

39 8 0
                                    

"Tang, telfon Bulan dong. Tanyain Pandu lagi sama dia apa nggak." Panji datang bergabung ke dalam ricuhnya Bintang serta Marcel dan Halan yang sibuk mengumpati karakter game masing-masing.

Melihat raut Panji yang begitu serius Bintang pun menurut. Rela keluar begitu saja dari permainannya untuk menghubungi Bulan.

"Datanya gak hidup." Bintang berujar pelan usai mendapati kalimat memanggil di ponselnya.

Panji mulai khawatir yang kemudian menular pada Bintang sekian detik setelahnya. Mengingat sudah dua anak yang meninggal secara tragis di mantan sekolah mereka itu, membuat keduanya tak bisa berbaik sangka.

"Coba telfon adek bungsu lo, Nji." Titah Bintang yang langsung dilaksanakan oleh Panji.

"Halo dek, bang Pandu ada di rumah gak?"

"Gak ada abang." Suara Pamela, adik bungsu Panji terdengar ke semua penghuni meja karena mode loud speaker Panji nyalakan.

"Kalo bang Pandu udah pulang, suruh dia langsung telfon abang ya. Pintu rumah udah dikunci kan?"

"Udah abang."

"Oke. Jangan dibuka kalo bukan abang atau bang Pandu yang ngetuk, paham dek?"

"Mela paham abang."

Helaan napas gusar Panji hembuskan usai panggilan terputus. Sebenarnya hal yang biasa Pandu tak dapat dihubungi. Namun karena maraknya pembunuhan akhir-akhir ini, ditambah dengan perasaannya yang sedari di kelas tadi begitu tak enak. Panji jadi begitu resah.

"Samperin aja." Halan menyeletuk lugas. Bahkan sudah memasukkan ponselnya ke dalam saku, bersiap bangkit.

Empat lelaki yang sedang menganggur itu pun mulai membelah jalanan menuju ke sekolah lama mereka. Dan seperti dugaan, suasana sepi. Tidak ada satu pun kendaraan yang terpajang di sana, baik motor atau mobil. Sekarang ini hari selasa, sudah pasti tidak ada kegiatan apa pun lagi selain pembelajaran yang usai pada pukul tiga.

"Sekarang jam berapa?" Tanya Marcel membuat Panji spontan melirik jam tangannya.

"Empat dua puluh."

Bintang sendiri masih sibuk pada ponselnya. Mencoba berulang kali menghubungi Bulan walau tulisan memanggil terus dia dapatkan.

"Loh, Bangtan ngapain di sini?" Suara lelaki dari arah gerbang menyita perhatian. Tak hanya Bintang yang dipanggil menoleh, tapi semua kompak berbalik menghadap ke Dhaka yang memandang mereka heran. 

"Bulan sama Pandu ada sama lo, Ka?" Tanya Bintang segera.

"Ahh, nyariin mereka toh. Ada kok, di kosan gue." Dhaka mengedikkan dagunya ke samping sekilas. "Ayo."

Kelimanya berjalan kaki menuju gedung apartemen mewah yang pas bersebelahan dengan gedung sekolah. Naik ke lantai empat tempat Dhaka tinggal.

"KIRI NDU KIRI!"

"BENTAR, KIRI YANG MANA?"

"TOLOL! TANGAN LO MEGANG TAI BEGO!"

"ZEN ANYING!

"GAK SENGAJA BAGINDA VANO, MAAFKAN HAMBA!"

Empat mahasiswa yang baru tiba tercengang di tempat. Lain dengan Dhaka yang sudah terbiasa dengan kebisingan perusak gendang telinga ini, memilih untuk duduk santai di sofa. Siap menonton drama kakak beradik yang akan terjadi tak lama lagi.

"Bulan."

"Pandu."

Bintang dan Panji berujar kompak. Menatap tajam si tersangka yang terlihat baru sadar akan kedatangan dua lelaki yang air mukanya bak singa kelaparan. Siap memangsa bocah-bocah kunyuk itu sebagai santapan sore hari.

Marcel dan Halan sudah ngakak di tempat. Mereka berdua menjadi saksi bagaimana paniknya kedua sulung ini akan adiknya yang tak dapat dihubungi. Tapi yang dikhawatirkan malah sibuk senang-senang bermain play station.

"Eh, halo bang." Sapa Pandu kikuk. "Ada Bangtan juga di sini. Ada acara apaan nih?"

Bangtan adalah panggilan yang keempat teman Bulan berikan kepada Bintang. Alasannya jika dipanggil dengan sebutan 'Bang Bintang' agak kepanjangan. Jadilah mereka singkat menjadi Bangtan saja.

"Gak punya hp? Sampe dihubungi gak aktif sama sekali. Jual aja sekalian." Kata Panji sinis.

"Gak ada uang buat beli data?" Yang ini Bintang. Sorot tajamnya tertuju kepada Bulan, mampu membuat gadis itu sedikit ketar-ketir.

Bulan nyengir. "Anak kucing berenang di laut. Abang ganteng banget hari ini."

"Gak nyambung bego." Zen menghujat.

"AKHHH AMPUN BANG!" Pandu berteriak histeris saat Panji menarik telinga kanannya tak berperasaan. "KEKERASAN! TELFON POLISI WOY!"

"Lo gue bunuh duluan sebelum polisi bener-bener nyampe ke sini." Desis Panji kejam.

Vano berbisik ke telinga Bulan. "Mampus lo, Bangtan ke sini."

Cengiran Bulan semakin lebar tanda pengampunan. "Lupa bang, sumpah gue beneran lupa hidupin data habis keluar kelas tadi." Bulan mencium punggung tangan Bintang dengan khidmat. "Uwek, tangan lo mambu tai bang!"

Bintang tersenyum menyeramkan. "Habis ketumpahan tai burung."

"BAJINGAN BIBIR GUE!" Berlari terbirit-birit ke kamar mandi, mencuci bibirnya menggunakan sabun mahal Dhaka dengan brutal.

Bintang sungguh tak berperikebibiran.

"Kalian kalo mau ke mana-mana kabarin orang rumah dulu. Tau sendiri kan, sekarang lagi musimnya pembunuhan. Udah dua korban dari sekolah kalian, empat korban dari sekolah lain, anak kelas akhir pula semuanya. Hp jangan sampe gak ada data. Hidupin terus 24 jam kalo perlu. Tanggal bahaya gak ada tertanda di kalender." Marcel si ketua BEM yang budiman memberi nasihat. Anak-anak liar ini harus diberi pupuk agar sedikit kalem.

"Aww, namanya siapa bang? Gentle sekali." Zen berlagak seperti seorang gadis yang baru saja digombali lelaki. Vano dengan tangan ringannya pun menggeplak wajah Zen yang begitu menggelikan untuk dipandang lebih lama.

"Lo tinggal sendiri, Ka?" Tanya Bintang kepada Dhaka yang anteng menyaksikan perdebatan sedari tadi.

"Kayak gak tau aja lo bang." Dhaka menjawab singkat.

"Keamanan di sini gimana?" Kali ini Halan yang bertanya. "Tempat lo sampingan banget sama sekolah. Gak ada keluarga di sini? Seenggaknya lo ada temen."

"Keamanan lumayan ketat sih. Orang luar gak bisa asal masuk. Kayak tadi gue nganter kalian, penjaga gak cegat kalian karena ada gue sebagai penghuni. Lain lagi kalo mereka," Dhaka menunjuk ketiga temannya beserta kamar mandi yang masih ada Bulan di dalamnya. "Mereka udah kelewat sering ke sini. Tanpa gue pun mereka bakal bisa masuk." Jeda sejenak ke jawaban selanjutnya. "Kalo keluarga gue, jauh semua. Beda negara." Dhaka menjawab singkat tentang keluarga. Bukan apa-apa, Dhaka hanya terlalu malas membahas mereka yang sayangnya satu aliran darah dengannya.

"Tapi mereka sering nginep kok." Dhaka mengedikkan dagu ke ketiga sahabat lelakinya. "Aman kok, semoga."

"Kalo butuh bantuan langsung calling aje, gak usah sungkan." Titah Bintang yang langsung diangguki Dhaka dengan senyuman.

"Ayo pulang. Lebay amat lo, cuma tai juga." Bintang menarik kerah belakang Bulan layaknya sedang menarik kucing yang keenakan mandi.

Bulan langsung menghunus tajam matanya ke Bintang yang memasang wajah tanpa dosa. "CUMA TAI LO BILANG? SINI GUE LEMPAR TAI KE MUKA GAK BERAKHLAK LO ITU! BINTANG ASU!"

Rest in peace untuk gendang telinga Bintang dan kawan-kawan.

Cruel World?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang