"Capek gak sih lo punya adek kek gue."
Masih terlalu pagi, bahkan pukul enam pun belum tepat. Tapi Bintang sudah diberi pertanyaan yang menurutnya agak di luar nalar. Kerasukan apa pula Bulan sampai bertanya hal yang sangat tidak penting seperti ini.
"Napa dah? Hari pertama ya lo?" Todong Bintang tak paham.
"Gue liat akhir-akhir ini lo kayak ringkih banget, kayak kakek-kakek." Bukannya menjawab Bulan malah menatap Bintang dengan begitu lamat. "Badan lo pegel linu karena ngadepin gue ya?"
Bintang tak melihat raut tengil Bulan yang biasanya. Sulit mengartikan wajah Bulan kini membuat Bintang lagi-lagi bertanya. "Lo kenapa?"
"Gak tau juga, dah gila kayaknya." Raut Bulan kini berubah lempeng sambil gadis itu menampar pipinya seperti sedang menyadarkan diri. "Kalo ada apa-apa bilang ya. Gue mau jadi orang yang berguna, walau secuil."
Pas sekali Bintang selesai memindahkan nasi yang baru saja dia goreng ke sebuah mangkuk besar. Meletakkannya di meja makan lalu duduk di samping Bulan yang tampak kalem beberapa hari terakhir.
"Kenapa Bul?" Ketiga kalinya Bintang bertanya hal yang sama, namun kali ini dengan nada yang lembut.
"Gapapa, lagi laper." Bulan mengambil piring lalu menyendokkan nasi yang terlihat sedikit mengepulkan asap. Tiap suapan Bulan tak luput dari pandangan Bintang barang satu inci saja. Mencoba mendalami sorot Bulan yang agak serupa dengan obsidian kucing, namun tetap tak menemukan apa pun di sana. Hanya kosong walau Bulan terlihat sibuk mengunyah.
"Tambah lagi nih." Bintang langsung memasukkan tambahan nasi ke piring Bulan tanpa mendengar persetujuan lebih dulu. Dan hebatnya Bulan hanya diam, patuh memakan lagi nasinya yang bertambah. Padahal Bintang menunggu sekali teriakan protes Bulan karena seenak jidat menambah sarapannya.
Bintang tertegun. Tentu dia sangat mengenal tabiat Bulan. Dia yang merawat Bulan baik saat mbah Ina masih ada sampai sekarang saat wanita paruh baya itu telah berpulang. Bulan bersama kata protes seperti satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Mulutnya tidak akan segan menyerukan apa yang menurutnya tidak sesuai. Jadi terasa sangat asing melihat Bulan yang diam saja tanpa berseru marah seperti sekarang.
Ingin hati mengorek hal apa yang membuat adiknya sediam ini. Namun Bulan tertutup untuk hal yang sekiranya sangat rumit. Walau ditanya berulang kali pun Bulan akan tetap tutup mulut.
"Maaf ya bang," ucap Bulan pelan seusai nasi gorengnya tandas.
"Untuk?"
"Semua. Semua yang tanpa gue sadari udah nyakitin lo."
Perasaan cemas semakin menyulut di hati Bintang. Sungguh demi Tuhan, Bintang lebih menyukai teriakan Bulan walau menyakitkan telinga daripada diamnya Bulan seperti ini.
"Gak ada dari lo yang nyakitin gue, sama sekali." Tegas Bintang. "Atas dasar apa sampe lo mikir buruk kayak gini?"
"Maaf."
"Bul," Bintang menggeser kursinya. Menarik Bulan untuk dia dekap, berharap pemikiran aneh adiknya ini luruh tak bersisa. "Kayaknya efek karena udah lama gak gue peluk ya lo jadi ngelantur gini."
Tangan Bulan terangkat membalas pelukan Bintang. Menenggelamkan wajah lempengnya di letak jantung sang kakak untuk mendengar ritme detaknya. Bintang pun hanya diam tanpa menguar tanya lagi. Membiarkan waktu terus berjalan dalam hening yang semoga bisa menekan kegusaran Bulan.
"Ayo berangkat." Ucap Bulan setelah cukup lama mereka diam. Bintang mengangguk, melepas tautan tangannya lalu bangkit menuju garasi untuk memanaskan motor.
.
.
."Si Bulan mana?" Tanya Vano sesampainya Zen dan Pandu di kantin.
"Berak dulu katanya." Zen yang menjawab.
Empat sekawan itu mulai memakan makanan mereka masing-masing. Diiringi dengan celotehan Zen dan sanggahan dari Pandu seperti biasa. Dhaka tim tertawa dan Vano tim lelah. Hingga tak terasa satu per satu dari mereka mulai tandas makanannya dan Bulan tak kunjung tiba.
"Tuh betina ke mana dah." Vano berdecak. Mengedarkan pandangannya, kalau saja Bulan tak menemukan tempat duduk mereka walau kecil sekali kemungkinan itu. Mata Bulan sama tajamnya dengan mulut netizen.
"Gue samperin deh." Zen bangkit yang kompak langsung diikuti oleh tiga lainnya. Berempat itu pergi ke kelas lebih dulu sebagai tempat pengecekan awal.
Jika saja tak ada marak pembunuhan di sekolah mereka tak akan sepanik ini. Tak akan juga menjelajahi sekolah karena Bulan yang keluyuran itu sudah menjadi hal yang lumrah sekali.
Hingga tiba bagi mereka menuju ke simpang belokan di samping unit kesehatan siswa. Penampakan Bulan yang tengah dirundung oleh sekumpulan perempuan membuat mereka terperangah. Pasalnya Bulan ini diam saja seolah manusia lemah. Padahal sisi kejam gadis itu dalam beberapa detik saja bisa menumbangkan empat gadis di sana.
"Bangsat." Umpat Vano cukup keras yang berhasil menghentikan pergerakan mereka.
Salah satu dari mereka mundur dengan teratur, bersikap tak tahu apa-apa karena ada Dhaka sebagai lelaki incarannya. Tapi tentunya terlambat sudah. Bahkan Dhaka sendiri yang maju menarik Bulan bangkit, membawanya pergi ke ruang uks tanpa suara.
"Andai lo semua cowok, udah gue habisi detik ini juga." Kecam Pandu tajam lalu berlalu pergi bersama dengan Vano dan Zen.
Di uks pun Bulan masih tampak lempeng diobati oleh Dhaka. Luka di wajahnya seolah tak ada rasa sakit sama sekali. Kaki gadis itu tampak lebam beberapa, mungkin karena ditendang oleh Dena dan kawan-kawan tadi.
"Bulan." Pandu memanggil pelan. Tapi reaksi Bulan seakan baru saja habis diteriaki, tampak sangat terkejut.
"Hah? Apa?"
"Dari kemaren lusa lo kalem banget. Sampe sekarang lo dibully mereka pun gak ngelawan. Ada yang ganggu pikiran lo?" Bohong jika mereka tak cemas dengan sikap Bulan yang diam seperti ini. Tabiatnya yang gila dan berisik sudah melekat sempurna, dan jika berubah linglung begini malah meresahkan sekitar.
"Gak ada, sengaja kasih mereka kesempatan. Kasian kalah terus. Padahal mereka berempat sedangkan gue sendirian."
"Lo gak sendirian, lo berlima." Tekan Vano lugas.
"Kit heart gue gak dianggep." Zen berucap dramatis.
"Iya, kita berlima." Bulan tersenyum menerawang. Kosong sekali sorot gadis itu walau bibirnya melengkung tipis. "Tapi berempat lebih bagus kan?" Monolognya lirih sampai tak dapat didengar oleh empat lelaki di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel World?
Teen FictionBintang dan Bulan Bukan benda langit, melainkan dua nama yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.