Dapet salam dari ayang Alfian😆
***
Langit malam dengan taburan bintang itu setia menemaniku. Mengeluarkan segala kesesakan dalam dada. Tentu saja aku tidak melupakan Alfian yang juga menungguku. Ia sedari tadi bersandar di pagar pembatas, mengamatiku yang sibuk menangis.
Namun, aku tidak peduli. Hatiku terlalu sakit. Hal yang pernah aku bayangkan terjadi juga. Sesuatu yang benar-benar ingin kuhindari ternyata menghampiri. Ini salahku. Harusnya aku tidak pernah menunjukkan sisi sukaku terhadap Lalu.
Munafik memang, tapi kenyataannya aku menolaknya. Entahlah aku pun bingung dengan diriku. Terlalu mensugesti diri untuk menghindari percintaan. Dan kali ini ... sepertinya Alfian benar. Aku egois.
Aku menoleh ke arah Alfian seraya menghapus air mata di pipiku. Tentu saja ia masih menatapku.
"Udah puas nangisnya, Rya?" tanyanya dengan nada lembut. Terlihat dari matanya bahwa ia tengah khawatir.
Aku tersenyum getir, harusnya aku tidak lari ke Alfian lagi. Bodoh sekali rasanya membutuhkan cowok ini sekarang. Aku takut masa lalu terulang lagi. Menjadi bahan cibiran orang-orang karena dianggap gatal mendekati cowok orang. Pun menjadi biang masalah dalam hubungan percintaan pada lima tahun lalu.
"Saya kira yang ditolak cuma saya," ucap Alfian kini mengalihkan pandang. Membuat aku mengikutinya menatap bulan di atas sana.
"Kamu harusnya jujur sama perasaan sendiri, Rya. Saya tau kok kamu pasti suka sama Lalu. Apalagi ngelihat dari kebersamaan kalian selama ini, kayak Lalu paling care kalo sama kamu. Dia bahkan tau setiap detail kesukaan kamu. Beda sama saya yang walaupun udah lama kenal kamu, tapi tetap gak bisa ngenalin kamu seutuhnya."
Aku menghela napas mendengarnya. Aku tau itu, tapi tak pernah ingin mengakui bahwa aku suka padanya. Namun, seharusnya memang perasaan ini tidak berhak tumbuh subur. Maka dari itu, sebelum semuanya jauh, aku harus bertindak sebagai pemutusnya.
"Kamu gak bakal tau rasanya mencintai kalo gak nerima seseorang masuk ke hidupmu, Rya. Apa kamu masih memikirkan orang yang lima tahun lalu bikin kamu patah hati? Atau dia memang penyebab kamu takut jatuh cinta?"
Alfian menatapku lurus, membuat aku gelagapan. Enggan menjawab, tetapi batinku berteriak ingin mengatakan bahwa aku bahkan sudah lupa dengan masa lalu itu. Namun, hanya gelengan kecil yang keluar sebagai respon.
Alfian menghela napas, kembali menatap langit. Tangannya ia letakkan pada pagar pembatas, sama seperti yang kulakukan. Bedanya aku memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Lantas mendongak memandang tugu perempatan Sweta yang bergerigi. Walau tampaknya tak jelas karena kurangnya pencahayaan, tapi tetap terlihat kokoh berdiri di tengah jalan.
"Kamu gak rindu dia, Rya?"
Dia yang dimaksud Alfian adalah teman SMP kami. Selain Iksa, orang itu memang membawa pengaruh besar dalam hidupku. Membuat aku yang awalnya tidak percaya akan cinta, menjadikan aku percaya. Namun, pendapatku benar adanya, cinta itu menyakitkan. Saat aku berada di level medium mencintainya, tiba-tiba aku dihempaskan begitu saja. Yang tentu saja kembali membuatku tidak percaya akan cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Kovalent Bond✔
Romance[Campus Life 1.2] Lalu, Jaya dan Yaya adalah trionya prodi kimia. Ketiganya selalu pergi bersama, di kampus maupun di tongkrongan. Kata orang-orang, ketiganya seperti ikatan kovalen, yang berkaitan karena saling membutuhkan. Terlihat pula bagai saha...