Selamat membaca dan jangan lupa semangat~***
Pada dasarnya seseorang akan menjadi tokoh figuran pada cerita orang lain. Dan mungkin saat ini, aku mengalami hal itu. Atau lebih parah, aku ternyata hanya tokoh lewat yang hanya ada pada lembar pertama dan tidak dibahas lagi pada lembar-lembar berikutnya.
Entah mengapa hari ini terasa sangat menyesakkan. Aku sulit mengotrol emosiku. Air mata yang jarang jatuh, kini membanjiri pipiku.
Ini kali ketiga aku menangis lagi di kampus. Toilet GKB lantai 5 selalu menjadi tempat terbaik mengeluarkan segalanya. Terlebih jarang ada yang ke sini, kecuali petugas kebersihan.
Aku mengusap hidungku, lantas meraih ponsel di samping wastafel. Menerima panggilan yang masuk.
"RYANA! DI MANA!"
Aku mendengus, mengusap hidungku lagi. "Di kampus," jawabku yang kuyakini terdengar parau.
"HEH, KENAPA? SEBELAH MANA? AKU JEMPUT!"
Aku diam. Berusaha tidak menangis lagi. "GKB lantai lima, Yura."
"Diem di situ, aku sama Dian nyusul kamu nih," katanya membuat aku bergumam. Setelahnya sambungan terputus.
Aku menghela napas pelan. Lagi, aku merasa lemah. Aku kalah. Hatiku menang. Ia merajai diriku kini. Tidak lagi dengan logika tinggi. Egoisku terkalahkan.
Aku menatap pantulan diri di cermin. Mataku sembab. Hidung memerah. Sangat pas untuk mendefinisikan orang yang menangis. Aku memilih membasuh muka agar terasa segar. Lalu kembali menatap cermin di depanku.
"YAYA!"
Suara di luar membuat aku terlonjak. Hampir terjatuh jika tidak berpegangan pada meja wastafel.
"Astaga, kamu kenapa? Ga ada yang sakit kan? Luka gak? Siapa yang buat nangis? Sini bilang, biar aku hantam pake kunci Inggris!"
Aku menggeleng pelan. "Ajak aku pergi dulu," kataku membuat Yura dan Dian bergegas menyeretku keluar dari toilet.
"Pake hoodie-ku!" Yura menyerahkan hoodie berwarna maroon itu padaku. Aku memakainya, menutupi kepalaku seluruhnya.
"Mau ke mana?"
"Ke asrama aku aja," sahut Dian membuat Yura menatapku, meminta persetujuan.
Aku mengangguk. Lagipula hari ini sedang acara wisuda. Butuh waktu lama untuk mengeluarkan mobil Yura yang menepi di sisi jalan fakultas. Aku juga sedang malas berkendara. Sehingga pilihan tepat saat ini adalah asrama. Akhirnya kami pun meninggalkan lantai lima itu menuju asrama.
***
Aku seperti merasakan deja vu. Seolah Yura sedang mereka ulang adegan beberapa waktu lalu, di mana ia tengah mengomeliku di rumahnya. Kali ini bedanya ia bersungut-sungut di kamar asrama Dian. Untungnya si pemilik kamar tidak keberatan memberi tumpangan. Malahan sedari tadi ia ikut menggebu-gebu, mengangguki segala kalimat Yura. Berbeda dengan Chinta, Dayu dan Lia, mereka terbengong-bengong mendengar Yura.
Aku mendegus, persis seperti saat itu. Bedanya lagi, aku tak memblokir siapa pun.
"Oke, terus kenapa kamu bisa baper sama dia?" tanya Yura setelah menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan.
Aku menggeleng, "Memang ciri-ciri orang baper gimana? Aku cuma ngerasa seneng lihat dia."
Dian berdecak, menepuk pelan lenganku. "Apa yang kamu suka dari Jaya?" tanyanya sambil menatapku lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Kovalent Bond✔
Roman d'amour[Campus Life 1.2] Lalu, Jaya dan Yaya adalah trionya prodi kimia. Ketiganya selalu pergi bersama, di kampus maupun di tongkrongan. Kata orang-orang, ketiganya seperti ikatan kovalen, yang berkaitan karena saling membutuhkan. Terlihat pula bagai saha...