²³L : Lantai Tiga Gedung D

38 5 0
                                    

Jangan lupa sarapan^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa sarapan^^


***


Aku sudah tidak menangis lagi. Namun, masih sesenggukan. Memperhatikan Iksa yang sibuk dengan laptopnya. Membantuku mengerjakan tugas tadi. Entah aku harus berterima kasih atau tidak. Habisnya tadi ia mengoceh panjang lebar, mengomeliku yang suka sekali mengerjakan tugas saat mepet deadline.

Andai aku sedang tidak sedih, sudah kubungkam mulutnya. Nyatanya aku hanya diam mendengarkan sambil mengatur napas karena habis menangis. Tentu saja aku tidak menceritakan penyebabnya, hanya memberitahu bahwa tugasku belum selesai.

Iksa manggut-manggut, tapi tetap saja ia membantuku. Katanya kasihan padaku jika aku nanti mendapat C. Aku ingin mewek lagi rasanya. Tidak sanggup menghadapi sikap dingin Iksa yang menyulut emosi.

"Sudah, sekarang mau diapain?"

Aku memeriksa hasil kerjanya. Semuanya sudah diperbaiki. Membuat tulisan itu kini menjadi rapi dan enak dibaca.

"Kumpulin sih," jawabku sembari meraih laptop itu dan membawanya ke pangkuanku.

"Mau kumpulan lewat laptop saya?"

"Gak sih, lewat hp. Sini kirimin saya lewat WA-mu," pintaku tanpa menoleh ke arah Iksa.

"Ya udah, siniin!" Belum sempat aku menjawab, laptop itu kembali beralih ke Iksa.

Aku berdehem pelan, berhasil melihat sedikit pop up message-nya. Dan tentu saja laki-laki ini menutupi segera, lengkap dengan tatapan tajamnya.

Aku tertawa seraya melambai, lucu melihatnya marah. Seolah itu merupakan hiburan bagi diriku.

"Tadi kamu kenapa nangis gitu? Gak elit banget nangis di pojokan."

Aku menghela napas, padahal aku sudah memberitahunya di awal tadi. Kenapa masih bertanya?!

"Wah, oke, gak perlu dijawab. Tapi lain kali jangan nangis di kampus. Norak banget kek diputusin pacar," katanya nada yang sangat menyebalkan.

"Aok, bawel banget kamu!" balasku, kesal juga mendengarnya tak henti mengoceh.

Iksa diam, tapi tidak benar-benar diam. Ia beberapa kali mendecak, menggerutu pada ponsel di tangannya. Entah siapa orang di balik ponsel itu yang membuatnya kesal begitu.

Aku hanya memperhatikan, sudah selesai dengan tugasku. Pun sudah mengirimnya ke dosen bersangkutan.

Aku mengembuskan napas pelan, baru terasa malunya karena ketauan menangis. Biasanya aku tidak pernah menangis di depan orang-orang, kecuali gengku. Bahkan  lebih parah, kemarin aku menangis di depan Alfian dan Lalu. Sungguh, jika mengingat itu, rasanya malu sekali.

"Ya, saya masih heran kenapa Alfian ngejar-ngejar kamu?"

Aku terkekeh, pertanyaan itu terdengar asing di telingaku. Baru kali ini Iksa penasaran dengan urusan orang lain, apakah karena Alfian adalah sahabat karibnya?

Not Kovalent Bond✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang