²⁷E : Enggak Apa-apa?

35 6 0
                                    

Monmaap aku lupa up😭🙏🏻



***








Malam ini aku mampir ke Alfamart yang ada di dekat Perumahan Jl. Ahmad Yani. Sebenarnya aku malas ke Alfamart, tetapi karena keperluan mendesak, mengharuskan aku ke sana. Terlebih lagi ibu menitipkan beberapa keperluan rumah yang habis.

Tanganku meraih dua kotak susu full cream perisa coklat di dalam pendingin. Lantas menaruhnya di keranjang. Kemudian beranjak mengambil beberapa varian mie pesanan ibu. Setelahnya mengambil satu botol minyak ukuran 1 kg yang tak jauh dari tempat mie tadi. Tak lupa pula mengambil dua es krim cup rasa stoberi titipan Juan.

"Eh?"

"Ryana?"

Aku tersenyum mendengar namaku disebut. Cewek cantik dengan poni rata itu balas tersenyum. Ia mendekat ke arahku, ikut melihat box es krim.

"Rumahnya di daerah sini?" tanyanya ramah.

Aku mengangguk kaku. Jujur saja, aku masih merasa tak enak pada cewek di hadapanku ini. Walau benar adanya ia terlihat biasa saja, tapi siapa yang tau hati manusia?

"Kebetulan banget, aku lagi cari makan, tapi bingung mau makan apa," katanya kembali menutup box es krim itu. Tak jadi mengambil es krim.

"Mau saya temeni, Joy? Saya tau ada makanan enak sekitar sini." Entah kenapa aku mengatakannya begitu saja. Padahal Joya adalah salah satu dari orang-orang yang ingin kuhindari.

"Memang kamu bawa motor, Rya?" Aku mengangguk, tentu saja. Kalau tidak membawa motor, otomatis Juan akan ikut mengantar.

"Boleh deh, aku gak tau daerah sini soalnya."

Lha?

"Aku ke sini nemenin keluarga yang dirawat di HAKA. Tadi pun keluar karena laper," jelasnya seolah membaca ekspresi bingungku.

Aku mengangguk, "Tapi saya bawa pulang belanjaan dulu, gak apa-apa?"

"Boleh, Rya, sekalian biar tau rumahmu kan," jawabnya diiringi dengan senyuman manis.

Aku meringis pelan, menggumamkan kata 'bodoh' untuk Alfian. Hei, cewek semanis ini ia putuskan begitu saja. Lantas bagaimana denganku? Jika aku yang berada di posisi Joya, apakah aku akan baik-baik saja? Ah, pasti sulit, apalagi aku tipe orang yang susah melupakan.

"Ayo, Rya!" seru Joya membuyarkan lamunanku.

Kini kami keluar dari Alfamart, menghampiri motorku. Kemudian menyuruh Joya naik ke jok belakang. Setelahnya menancap gas menuju rumahku untuk menaruh belanjaan titipan ibu dan Juan.

***

Lima belas menit berlalu, piring berisi lalapan tadi tandas. Yap, aku akhirnya ikut makan karena Joya terlihat kurang nyaman makan sendirian.

"Makasih," ucapnya kala aku membereskan piring-piring itu ke pinggir.

Aku mengangguk sambil tersenyum saja. Bingung akan membalas apa.

"Aku boleh cerita gak, Rya?"

Aku mengernyit, kini sepenuhnya menatapnya. "Mau cerita apa?"

Joya melirik sekitar, membuat aku paham jika ia tak ingin bercerita di tempat ramai. "Mau ke atas gak?" tawarku menunjuk jembatan gantung di perempatan itu.

Joya mengangguk antusias, ia berdiri lebih dulu membuat aku tertawa pelan. Tidak canggung lagi seperti di awal tadi.

Aku dan Joya akhirnya pergi ke tempat waktu itu aku menangis karena menolak Lalu. Kini aku mendatanginya lagi untuk mendengarkan cerita dari seseorang yang patah hati. Sepertinya jembatan itu memang difungsikan untuk hal demikian. Menumpahkan segala kegundahan hati hanya dengan menatap kendaraan di bawah sana yang berlalu lalang, pun mendongak melihat langit yang penuh bintang-gemintang.

"Gak apa-apa aku cerita tentang Alfian, Rya?" Joya bertanya saat kami berada di tengah-tengah jembatan. Mulai menaruh tangannya pada besi pembatas.

"Boleh. Mau cerita apa?" tanyaku berusaha untuk bersikap biasa saja, karena aku merasa pembahasan ini sensitif untuk dirinya yang notabene-nya menjadi korban crocodile macam Alfian.

"Sebenarnya aku udah tau kalo Alfian suka sama kamu, bahkan waktu dia nembak aku saat itu."

Refleks aku menoleh, menatap cewek berponi ini dari samping. Terkejut dengan penuturannya barusan.

"Awalnya aku nerima dia karena yakin bisa buat dia move on dari kamu. Tanpa sepengetahuan Alfian tentunya, aku punya tekad yang mustahil bisa diwujudkan." Ada nada getir dalam kekehannya, membuat aku mengulum bibir ke dalam. Benar-benar merasa tak enak.

"Tapi setelah dia bilang putus itu, aku sempat kecewa. Padahal kami udah jalan dua minggu lebih, tapi nyatanya kami harus putus."

Aku diam mendengarkan. Menatap cewek itu lurus, walau ia tak membalas tatapanku.

Joya menghela napas, bisa aku lihat ia menarik ujung bibirnya membentuk senyum. Senyum yang sulit aku jelaskan maksudnya.

"Kamu tau gak, apa yang buat aku langsung setuju putus sama dia?" tanyanya kini membalas tatapanku. Sementara aku menggeleng pelan sebagai respon.

"Alfian jujur sama aku, kalo dia gak bisa cinta ke aku. Alasannya karena hatinya cuma untuk kamu, Rya." Joya tersenyum, masih dengan menatapku. "Aku bisa lihat dari sorot matanya, Rya, dia tulus banget cinta sama kamu. Yah, terlepas dari sifatnya yang suka baperin anak orang, tapi aku yakin seratus persen kalo dia beneran cinta sama kamu."

Entah kenapa kalimat Joya membuat aku semakin merasa bersalah. Baik pada Alfian maupun pada Joya sendiri.

"Rya ..." lirihnya yang tentunya masih bisa kudengar. Ia kini tak menatapku lagi, melainkan mendongak menatap langit yang cerah. "Aku pengin kamu terima Alfian, aku kasihan sama dia. Aku pikir dia bisa berhenti bertingkah kalo nemuin orang yang tepat."

Aku menggeleng pelan. Hal sama yang kutolak beberapa hari lalu, permintaan dari Iksa. Jujur saja, aku semakin kepikiran. Ini terlalu membebaniku.

"Maaf, Joy, aku gak bisa." Suaraku akhirnya keluar, walau terdengar serak.

Seperti dugaanku, Joya menoleh. Menatapku dengan sorot mata bertanya-tanya. Seolah mengatakan, "Kenapa? Apa kamu takut?"

Aku menggeleng lagi, balas menatapnya. Berusaha tak menampilkan raut menyedihkan yang membuat ia berempati.

"Ini bukan hanya tentang Alfian, Joy. Kalo saya menerima Alfian, akan banyak orang yang terluka, salah satunya kamu. Apa kamu yakin kalo Alfian bakal baik-baik aja setelah sama saya? Sementara saya sama sekali gak bisa mencintai Alfian. Cinta gak bisa dipaksakan, Joy, seperti yang kamu bilang tadi. Kamu ikhlas Alfian sama saya karena gak mau memaksa, tapi nyatanya kamu korbanin perasaan sendiri untuk melihat kebahagiaan orang lain di atas penderitaan kamu.

"Apa kamu gak ngerasa kalo saya bakal jahat banget karena ngelakuin itu? Saya ngerasa dengan nolak Alfian, itu jadi poin plus buat saya, karena gak perlu lihat orang lain sakit selain saya sama Alfian. Sampai sini kamu pasti paham maksud saya, Joy."

Joya memelukku tiba-tiba, membuat aku yang tak siap hampir tersungkur jika saja tidak berpegangan pada besi pembatas. Aku merasakan bahu kiriku menghangat. Bersamaan dengan itu, aku bisa mendengar isakan kecil dalam dekapanku. Membuat aku menepuk-nepuk punggung Joya pelan, menenangkan.

Namun, kalimat tak terduga lolos dari mulutnya. Membuat aku tersenyum simpul, masih sambil menepuk-nepuk punggungnya.

"Aku minta maaf, Rya, aku gak tau apa yang kamu rasain. Maafin aku, aku kira kalian punya rasa yang sama." Ia berkata tanpa melepaskan pelukannya, masih terisak pelan.

"Udah, aku gak apa-apa. Kamu juga gak apa-apa 'kan?"

Joya mengangguk, semakin memelukku dengan erat. Membuat aku tersenyum, balas memeluknya. Berharap ia segera tenang dari menangisnya.

Malam itu, aku baru tau jika selama ini banyak orang yang sakit hanya karena cinta. Membuat aku jadi benar-benar membulatkan tekad untuk tak mengenal cinta lebih jauh lagi. Aku takut menyakiti orang-orang lagi. Aku berharap setelah ini tak ada lagi yang sakit hati karena aku. Ya, aku berharap begitu saja.

***




Alfian bilek : duh adem liat istri tua muda akur😂

Me : 🙄

Not Kovalent Bond✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang