³⁵N : Ngebat

34 4 0
                                    


Selamat pagi~

Weekend yuhuuu😍


***


Jumat malam alias malam sabtu, Juan mengajakku ke rumah Iksa sesuai perjanjian waktu itu. Kini kami sedang memperhatikan orang-orang yang sibuk mencacah daun singkong, batang pisang dan pisang mentah. Kami duduk jongkok sambil menopang dagu, sembari mendengar Iksa yang mengoceh panjang karena batang pisang tersebut membuat pisau menancap keras.

Aku mendecak, lelah sendiri mendengar ia mengomeli bahan yang akan menjadi makanan itu. Aku berdiri, melangkah ke arahnya.

"Siniin pisaunya, aku yang potong-potong!" pintaku membuat ia mengernyit. Aku menghela napas pelan, mencoba tidak menonjok Iksa dengan tampang bodoh seperti itu.

"Minggir elah!"

Iksa mendecak, tetapi tak ayal menyingkir juga. Membiarkan aku mengambil alih pekerjaannya. Baru ingin menancapkan pisau, pamannya Iksa yang juga melakukan hal yang sama menyeru bertanya kepadaku.

"Nggih, saya bisa kok Paman," jawabku sambil tersenyum sekilas. Iksa mendecih, rupanya ia meremehkan kekuatan Ryana dalam hal ngebat begini.

Tak kupedulikan lagi cowok berambut silver itu. Kini mulai memotong batang pisang itu menjadi beberapa bagian. Baru kemudian di cacah sampai bagian-bagian tadi menjadi tak terbentuk. Namun, tidak terlalu halus pun tidak terlalu kasar. Sedang-sedang saja.

"Kamu sebenarnya cowok atau cewek sih, Ya?" Iksa geleng-geleng kepala, membuat aku tertawa renyah.

"Wih, Rya, kok bisa cepet selesai?" Aku menyengir sebagai respon.

"Kalo gitu bisa bantu cacah daun singkong ini?" Aku mengangguk antusias. Segera beranjak mendekat. Berjongkok di antara laki-laki yang sibuk mencacah bahan-bahan itu.

"Saya gimana, Paman?" tanya Iksa menunjuk dirinya.

"Kamu temenin Juan aja, sana ajak dia main game," kekeh paman Wira sambil mendorong pelan bahu Iksa.

Cowok itu merenggut, tapi tetap saja ia melangkah ke arah Juan. Sepertinya memang tidak ingin menghilangkan kesempatan bersantainya.

Setelahnya aku mulai bekerja dengan Paman Wira dan yang lain. Mencacah daun singkong dkk sambil mengobrol ria. Aku hanya mendengarkan, tidak berniat untuk menceletuk karena aku tak tau bahasan bapak-bapak ini.

"Eh, Rya," panggil salah satu bapak-bapak itu.

"Apa, Wak?"

"Masih kuliah ya?"

"Iya, Pak," jawabku sambil mengangguk.

"Satu jurusan sama Iksa ndak?" Paman Wira ikut menimbrung, yang kurespon dengan gelengan.

"Lho, kenapa? Satu jurusan harusnya, biar enak pulang-pergi bareng. Apalagi rumah satu arah," sahut  paman Amir—ayahnya Iksa—membuat aku meringis.

"Aroww side ini mau jodohin Iksa sama Rya ya," kekeh paman Wira.

"Kalo Rya mau, saya tinggal suruh Iksa lamaran ke rumahnya," balas paman Amir diiringi tawa renyahnya.

"Waduh, gak dulu Pak. Iksa bikin naik darah soalnya," sahutku ikut tertawa.

"Weh bener sih, tiang aja suka kesel sama anak side."

"Bukan itu juga sih, Pak," selaku membuat bapak-bapak itu menoleh ke arahku. "Dia itu bucin banget, yang ada ntar tiang jadi istri kedua kalo nikah sama dia," lanjutku kembali menciptakan koor tawa di antara kami.


Not Kovalent Bond✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang