⁴¹B : Baper Boleh, Nangis Jangan!

45 5 14
                                    


Pagi~

Awali pagi dengan sarapan, bukan harapan😍

***


Setelah selesai membimbing para praktikan tadi, akhirnya aku, Chinta dan Izar bisa istirahat. Kini kami duduk di depan ruangan. Duduk di kursi dengan kaki putar sambil menikmati angin dari kipas listrik yang menempel di sisi kiri tembok.

Fyi, kami tengah berada di laboratorium kimia. Masih berada di kawasan FKIP. Gedungnya bersebelahan dengan GKB, kelas kami biasanya.

"Ya," panggil Chinta yang duduk tak jauh dariku.

"Apa?"

Cewek itu mendorong kursinya mendekat, lantas duduk tepat di depan meja kecil di sampingku. "Menurutmu kalo suka sama orang, apakah harus nyatain?"

Ha?

"Kamu suka sama orang, Chin?"

Aku mengerjap pelan, sahutan dari Izar membuatku kembali dari kecengoan. Tadi benar-benar merasa bahwa Chinta mencongkel pembicaraanku semalam dengan keluargaku. Untungnya ternyata bukan. Membuat aku menghela napas lega.

"Masalahnya, Zar, ini cowok udah punya cewek. Apa perlu aku nyatain suka?"

Aku dan Izar berseru kaget. Fakta yang dikeluarkan bibir mungil itu tidak main-main. Astaga, untungnya aku tidak punya riwayat penyakit jantung.

"Saran saya sih, lupain aja. Suka sama orang yang udah taken itu bikin susah. Mending jauhin dia, cowoknya kalo iya-iya aja, berarti udah gak bener. Apalagi kalo dia deketin kamu pas punya cewek, beuh saya yakin dia spek buaya darat!"

Kalimat menggebu dari Izar mengundang tanya di kepalaku. Benarkah?

Aku menoleh pada Chinta yang mengangguk-angguk paham. Cewek berambut gelombang itu kembali membuka suara.

"Tapi Zar, aku ada orang yang deketin juga. Anak bastrindo. Ganteng sih, cuma dia bukan tipeku. Apa aku coba sama dia ya?"

"Tomi?" ceplosku yang langsung mendapat geplakan dari Chinta pada lenganku.

Sakit juga ternyata. Namun, aku cengengesan. Kembali memperhatikannya yang bercerita pada Izar. Dan parahnya, Izar memang nyambung kalo urusan seperti ini. Asli jiwa gosip dan sok bijaknya cukup mirip dengan Jaya.

Eh?

Anjing.

Jaya lagi.

Aku mendecak. Tiba-tiba kepikiran anak manusia satu itu. Aku bahkan tidak membalas pesannya semalam. Biarkan saja. Aku malas meladeninya.

"Kenapa ya? Apa gak baik ya kalo kasih orang harapan?"

Aku meringis pelan, lupa jika sedang mendengarkan Chinta curhat. "Gak Chin, cuma ya kelewatan banget kalo ngasih orang harapan," kataku yang disambut cibiran oleh Izar.

"Pengalaman ya, Ya?"

Aku melengos. Malas rasanya membahas yang sudah lewat. "Lanjut, Chin. Jadi mau sama Tomi? Kemarin juga kan kamu pulang bareng dia lagi."

Chinta menatapku datar, sedangkan aku menatapnya bingung. Aku salah apa?

Aku menoleh pada Izar yang tertawa. Lantas kembali menghadap Chinta yang kali ini tersenyum tipis. Apa sih?

"Jangan sebut merk kek, Ya, malu," rengeknya semakin membuat Izar terbahak.

Aku menyengir, ternyata itu. "Maaf," ucapku sembari menunjukkan tanda peace dengan dua jariku.

Not Kovalent Bond✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang