³²N : Nasihat Juan

33 6 0
                                    


Happy reading cuy~

***


Sudah tiga hari aku menginap di rumah Yura. Tiga hari pula aku absen kuliah. Entah apa yang aku pikirkan, tapi untungnya dosen yang bersangkutan memberi izin. Yah, walau alasannya bohong, mengatakan bahwa diriku sakit. Eh, tidak sepenuhnya bohong, sakit iya, lebih tepatnya sakit hati.

Kini aku sedang menunggu Juan di berugak rumah Yura. Katanya anak itu akan datang hari ini. Melaporkan kejadian yang terjadi di rumah selama tiga hari aku tidak di sana. Bukan hanya itu, ia mungkin akan menagih sogokan yang kujanjikan.

Kalau Yura sih masih di kampus. Hari ini jadwal matakuliah kimia lingkungan, jadi aku tidak terlalu khawatir. Pak Surya selaku dosen pengampu sedang ada urusan di Yogyakarta, dan dialihkan pada dosen praktis dari BMKG.

Ngomong-ngomong pasal BMKG, minggu depan kami ada kunjungan ke kantor BMKG yang ada di Kediri. Beberapa hal akan dibahas dan diperkenalkan bagaimana pekerjaan orang-orang di sana tentang pengamatan cuaca dan lainnya.

Suara deru motor berhasil membuyarkanku dari lamunan. Itu Juan. Lengkap dengan motor koplingnya yang beberapa waktu lalu enggan ia gunakan lagi. Namun, kali ini malah membawanya menemuiku.

Juan memarkirkan motornya di dekat taman tanaman rambat, setelahnya menghampiriku. Ia mendaratkan bokongnya tepat di sampingku, sebelumnya sempat menghela napas pelan.

Aku mengernyit, tetapi malas bertanya. Karena biasanya galaunya Juan itu tidak jauh dari makanan dan uang jajan.

"Kak," panggilnya kini balas menatapku.

"Ibu nanyain aku?" Juan menggeleng, membuatku menghela napas lega.

"Tapi cowok-cowok itu nanyain Kakak. Aku bingung jawab gimana. Kakak gak mau memangnya ketemu mereka?"

"Gak ah, nanti aja. Besok pagi aku pulang. Kamu sekarang mau apa?" kataku balik bertanya.

Juan menggeleng, "Aku gak nagih sogokan, cuma mau dateng aja. It's okay kalo pulangnya besok pagi, bawain aja jajanan di Kekalik itu ya."

Aku menatap Juan datar. Tadi aja nolak, eh ujungnya minta juga.

"Kak," panggilnya lagi. "Ck, aku gak tau mau ngomong apa. Tapi aku ikut bingung kalo Kakak gini. Kakak suka siapa sih?"

Aku mendengus, jarang-jarang Juan akan bertanya seperti ini. Apa karena aku terlalu gegabah menolak tiga cowok itu? Makanya Juan jadi ikut penasaran?

"Suka Edmund sih, Wan. Atau yang lokal-lokal deh, si Prince. Ganteng tuh," katanya membuat Juan mendecak.

"Bukan itu ih, Kak. Maksudnya Kakak tuh suka siapa di antara empat cowok itu?" Giliran aku yang mendecak.

"Mau ngapain tau? Aku gak suka siapa pun."

"Oke, gak apa-apa. Kalo suka sama salah satunya bilang ya, Kak. Tapi usahain jangan suka sama Bang Fian. Dia masih gak bener sampai sekarang."

Aku terkekeh mendengar penuturannya. Ternyata pendapat dia dan Iksa berbeda sekali. Di saat Iksa mendukungku untuk menerima Alfian, Juan malah melarangku menyukai Alfian.

"Kenapa ketawa? Aku gak mau Kakak sakit hati kalo pacaran sama Bang Fian. Lagian tiga cowok itu masih bisa lebih bahagiain Kak Aya," katanya membuat aku menggeleng pelan.

"Eh, tapi kalo sama Bang Al, jangan juga. Aku gak suka gara-gara dia Kakak jadi sakit gini. Mana gak berani pulang ke rumah lagi. Untung udah ditolak," lanjutnya dengan bibir mencuat kecil.

Aku tersenyum melihat raut wajahnya yang lucu. Jarang sekali melihat Juan mengomel panjang seperti ini. Apalagi sampai memberi saran dan larangan.

Aku mengembuskan napas pelan. Menikmati langit yang biru tanpa awan. Membiarkan Juan melanjutkan gerutuannya.

"Tapi Bang Baim ada minusnya, dia lawak banget. Aku gak yakin kalo disatuin sama Kak Aya, entar malah jadi badut couple."

Aku refleks menggeplak lengannya. Bisa-bisanya diselipan kalimatnya malah mengejekku. Minimal kalau kasih saran ya saran aja, menyebalkan sekali.

Juan tertawa renyah, ia menunjukkan tanda peace dengan jarinya. Aku melengos, malas meladeninya lagi. Memilih kembali memandang langit.




"Bang Jaya aja deh keknya," celetuknya setelah diam lama.

"Apaan? Dia datengin kamu?" tanyaku tak paham.

"Bukan, maksud aku tuh Kakak sama Bang Jay aja. Soalnya cocok kalo dipasangin. Yang satu kalem, yang satu grasak-grusuk."

Aku mendecih. Lagi-lagi Jaya mendapat review yang baik dari orang terdekatku. Belum tau saja kalau Jaya suka sekali meracuniku dengan kopi pahitnya. Maksudnya meracuni agar aku menghabiskannya, walau aku tak suka. Eh, bukan ding, itu juga karena aku yang sering mengambil kopinya tanpa izin. Jadi dia tak sepenuhnya salah.

Ya, tapi tetap saja. Bagiku COWOK SELALU SALAH!

"Aku gak main-main nyerahin Kakak ke Bang Jay. Ada alasan juga loh, tapi Kakak gak perlu tau."

"Oke, jajan itu gak jadi." Juan mendelik, tapi tak ayal tetap memberitahu. Ternyata ia lebih sayang pada jajannya.

"Aku cerita deh. Jajan tetep ya." Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Puas sekali menjailinya.

"Aku cuma denger sedikit sih. Udah lumayan lama, tepatnya waktu Kakak kerja kelompok sama Kak Dian, Bang Al, sama Bang Jay itu. Tapi kejadiannya sebelum Bang Al dateng, terus Kakak juga disuruh goreng pisang di belakang."

Aku mengangguk, ingat dengan hari itu. Membiarkan Dian dan Jaya berdua di teras, masing-masing sibuk dengan ponsel. Namun, aku tak tau jika keduanya pernah mengobrol.

"Mereka bahas Kak Aya. Aku gak tau isi pertanyaannya Kak Dian, tapi aku denger Bang Jay ngomong. Dia bilang, 'Iya, Dian, saya gak suka nyusahin Yaya. Lebih baik dia nyusahin saya, daripada saya yang buat dia gak nyaman', gitu."

Aku mengernyit, iyakah?

Sejauh ini memang Jaya tidak pernah merepotkanku. Jika ada tugas pun ia akan mengerjakannya sendiri. Tak pernah menanyakan jawaban. Ia terlalu mandiri untuk ukuran orang yang sibuk pada komunitas di luar kampus. Berbanding terbalik denganku yang akan misuh-misuh jika tidak selesai mengerjakan tugas.

Aku menoleh pada Juan, ia masih menatapku. "Maksud kamu ngasih tau aku untuk apa, Wan?"

Juan menyengir, "Aku mau Kakak tau aja. Kalimat lengkapnya lebih baik tanya ke Bang Jay langsung. Atau mau aku tanyain?"

Aku menggeleng, tidak minat. Walau sejatinya mulai penasaran. Aku meraih ponsel di dalam saku, mengecek nomer yang tiga hari ini ikut menjadi korban blokiranku.

Aku enggan membukanya. Beralih melihat dua pesan yang masuk. Isinya menanyai keadaanku sekarang.

"Kamu ngasih tau Jaya kalo aku di sini ya?" tudingku pada Juan yang memainkan matanya. Menjauhi tatapanku.

"Juan."

"Gak Kak, suer!" Tanda peace memang andalannya.

"Btw Kak Yura masih kuliah ya?"

"Jangan ngalihin!" seruku yang dibalas kekehan oleh Juan.

Tanpa aba-aba, aku mengejar anak itu. Lumayan kesal juga karena ia sudah sok tau. Terlebih malah memberitahu Jaya jika aku ada di rumah Yura.

"Kak Aya ampun!"

***




Not Kovalent Bond✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang