Belibet! Satu kata yang pantas kusematkan pada sejawat satu ini. Dokter mirip barbie berjalan. Semua pink kecuali baju scrubnya aja yang wajib biru navy karena Departemen Penyakit Dalam. Dari tadi dia mondar-mandir meminta pengantar lab urinalisa, rontgen dada, segala USG, ini itu padahal sudah ketahuan pasien dia sakitnya apa.
"Nggak kita pasang infus dulu aja ya, Dok? Trombositnya udah segini," tanya koas yang ia bawa. Nah, malah pinteran koasnya.
Pasien dia pusing kesakitan. Mengerang-erang. Jambak-jambak rambut sampai aku yang melihatnya pengin ambil tali untuk mengikat biar nggak gerak-gerak heboh.
Belum suara huek-huek yang bikin aku cemas bakal makin lemas jika dia benar muntah lagi.
"Yaudah. Loading 250 cc dulu, Paracetamol 500 mg drip, sekalian ondansetron 1 ampul, ya Dok."
Eh? Kok ... Dok? Maniknya mengerling dengan bulu mata anti badai menatapku. Deuh ... residen, residen ...! Dia nggak nyuruh koasnya aja?
"Oke deh. Yuk, Bang. Mainkan," ajakku pasrah pada perawat lelaki yang bibirnya bergetar menahan cekikikan.
Kakiku berjalan lunglai ke bed 5. Nasib dokter IGD di rumah sakit pendidikan. Kadang residen baru begini belum tahu alurnya. Maksudnya, kalau pasien udah aku konsulin ke Penyakit Dalam-departemen yang sesuai menangani diagnosa ini- seharusnya residen cantik ini udah melepaskanku. Biar aku bisa fokus sama pasien baru yang mengalir dari pintu IGD keramat itu bak mata air pegunungan yang nggak pernah berhenti menyembur.
Tugas infus, injeksi, kan, bisa koordinasi perawat, adik koas dan dia. Sekalian belajar mandiri. Daripada nanti seniornya ngomel-ngomel, kan, mending dari sekarang ia tunjukkan kepiawaiannya merawat pasien secara paripurna dari datang hingga pulang.
"Sabar, Dok, sabar."
"Iye ... ini juga udah sabar. Buktinya, saya kerjain, kan."
"Deg-degan kali, doi besok laporan pasien. Ada staf baru di Interna. Denger-denger mulai masuk besok, langsung mimpin morning report residen."
Aku ber-oh malas. Lagian DBD. Dulu zaman dokter umum, kan, pasien begini banyak kasusnya. Mestinya dia hafal di luar kepala. Morning report bisalah! Kecil ...!
-------
Lelah jaga 16 jam karena menggantikan teman lain, aku keluar IGD. Menggeliatkan tulang punggungku yang kaku kayak mumi. Kalau kata Iyut, kretek-kretek bunyinya. Maklum, tulang perempuan umur 34 nggak selentur gadis 20 tahunan lagi.
Kuhirup nafas dalam-dalam. Ah, aku suka banget suasana malam.
Pasien sudah dioper ke bangsal masing-masing. 20 ranjang IGD mulai kosong. Teriakan rintihan menghilang bersamaan berpindahnya pasien.
Angin berhembus dingin menuju pintu tertutup yang seringnya dibuka oleh wajah-wajah panik membutuhkan bantuan. Bulu kudukku meremang. Membayangkan dahulu pernah juga tergopoh-gopoh berderai air mata, memasuki pintu ini.
---------
"Tara!! Sini!!"
Aku berlari menuju Kak Tiya berdiri.
"Kak. Gimana Papi?"
"Ayo, masuk! Waktu kita nggak banyak!"
Nggak banyak? Papi ... ?
Air mataku merebak. Dadaku bagai digilas buldoser. Apa maksud Kak Tiya? Tangan lembut Kak Tiya menarikku yang termangu kosong di depan pintu IGD RSUP. Bak orang linglung, aku kian tersedu memasuki pintu ini.Orang-orang menatapku sekilas. Mungkin, mereka sering menemui wajah sepertiku. Jadi, nggak perlu waktu lama menganggap aku ini perempuan aneh. Menangis artinya ada keluarga yang sedang sakit ... atau ... lebih parah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini
RomanceTara adalah perempuan bebas. Bebas tidur sembarangan, bangun siang, belanja sekehendak hati, makan junk food, nyetir kemana aja dia suka, dan yang pasti nggak ada orang ribet yang akan negur dia. Nggak lagi-lagi akan dia ulangi hidup dalam kekangan...