Ҡìʂâɦ 1

2.2K 278 23
                                    

Mata Sedayu mengerjab pelan. Menyangga kepala dengan sebelah tangan. Bibirnya mengerucut sambil berusaha mengingat-ingat. Sepertinya memasukan terlalu banyak makanan ke perut bukan membuat pikirannya jernih malah sebaliknya.

Mungkin begini yang dirasakan kerbau Mbah Slamet setiap harinya. Ngah ngoh ngah ngoh bisanya bahkan gerak saja malas... Hadeeeh. Padahal Si Mbah memberi banyak rumput agar kerbau itu makin gesit membantunya membajak sawah.

Memandang daun lontar yang telah berisi tulisan. Iya, Sedayu yakin ini tulisan bukan gambar walau bentuknya aneh. Sungguh, sangat berbeda dengan tulisan yang biasa Sedayu lihat.

Apa Sedayu bisa menulis? Tentu tidak bisa. Jangankan menulis, membaca saja tidak bisa... Hiks.

Semua bukan karena Sedayu bodoh. Tidak. Tidak demikian. Akar masalahnya yaitu tradisi yang turun temurun diyakini dan dilaksanakan. Perempuan tak diharuskan bisa baca tulis walau dilarang juga tidak. Istilahnya, buang-buang waktu sebab baca tulis itu tidak banyak gunanya buat perempuan.

Sumpah, Sedayu sudah berkali-kali meminta diajari tapi Bopo selalu menolak. Lebih baik belajar menenun, membatik atau memasak saja dibanding membaca apalagi menulis. Ketimbang jadi pintar dan berpengetahuan luas, perempuan lebih diharapkan cekatan dan memiliki beragam keterampilan.

Tugas perempuan yaitu menjadi istri dan ibu yang baik. Sedayu juga ingin bisa menjadi seperti itu. Bertahun-tahun kelak tapinya. Sekarangkan, Sedayu masih kecil. Tinggi bandannya saja baru separuh tinggi pintu. Lebih dari separuh malah. Sedayu itu tidak pendek apalagi cebol. Percayalah.

Walau Sedayu tidak pernah memiliki sosok ibu sebagai panutan, dirinya yakin bisa sehebat perempuan lain. Bopo bilang, ibunya telah berada di nirwana sana. Beliau meninggal setelah melahirkan Sedayu. Paling tidak dirinya masih punya Bopo jadi tidak hidup sebatang kara.

Tersenyum sesaat ketika Sedayu akhirnya mengingat lanjutannya. Maklum pikirannya agak lamban. Pasti karena pagi, siang dan malam Sedayu hanya bisa makan nasi jagung atau singkong. Tidak seperti Grani--anak kepala dusun--yang bisa makan nasi dengan lauk ayam. Bukan hanya bisa makan enak tapi kain yang dipakainya juga lebih bagus. Paling bagus sedusun malahan. Hiasan rambutnya juga bagus.

Ugh... Bikin iri... Eh, bikin kesal!

Tangan kecil Sedayu buru-buru menggerakan pengrupak--pisau tulis yang biasanya digunakan untuk menulis di daun lontar. Meski disebut menulis, tapi memakainya lebih mirip memahat atau mengukir--milik Bopo. Memang tadi siang Sedayu mengambil alat tulis yang ada di kamar Bopo.

Di rumah ini, tentu hanya ayahnya itu yang punya peralatan tulis menulis. Walau masih tergolong sederhana. Orang-orang kaya sudah mengganti daun lontar menjadi dluwang--kertas dari kulit pohon murbei yang dibuat dengan cara dipukuli. Bentuknya serupa lembaran kertas walau warnanya terlihat seperti kayu--sebagai alat tulis. Merekapun telah menggunakan pena dari bulu dibanding pengrupak. Ujung pena agak rapuh, tinta juga tidak bisa banyak, cuma cukup untuk beberapa kata saja.

Namun, harga peralatan tulis itu cukup mahal maka tidak mungkin Bopo membelinya. Bukan tidak mungkin tapi beliau pasti tidak mau. Lebih baik uangnya dibelikan makanan dibanding alat tulis. Perut kenyang lebih penting dibanding otak pintar.

Senyum Sedayu makin lebar setelah berhasil menulis semua... Ups, tidak semua tapi yang diingat saja. Masih untung dirinya bisa mengingat. Siapa coba yang bisa hapal seluruh isi mimpinya?

Jika sekali mimpi maka Sedayu tidak akan sepenasaran ini. Masalahnya mimpinya berulang berkali-kali. Mimpi itu anehnya serupa. Kalau sekali, bisa disebut kebetulan tapi kalau berkali-kali pasti ada apa-apa.

Bukan Calon ArangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang