Selangkah demi selangkah Sedayu mendekati pintu jati berukir di hadapannya. Bukannya segera membuka pintu, dirinya malah berdiri tak bergeming. Di balik pintu bukan area penghukuman tapi Sedayu malah sudah gentar duluan.
"Di dalam sudah disiapkan peralatan ritual. Lakukan dengan baik tugasmu agar Pangeran Rangga Samudra bisa pergi dalam damai." Nyai Pradni berkata tenang sambil menatap punggung Sedayu.
"Nyi Datu... Hiks... Bantu Putraku... Hiks..." Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi tak dapat menahan isak yang membuat Sedayu serta-merta berbalik badan.
"Maaf, Kanjeng Ratu. Hamba yang tua ini tidak bisa banyak membantu." Bukan Sedayu yang membalas tapi justru Nyai Pradni.
Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi memegang tangan Nyai Pradni. Memaksakan senyum. "Aku tidak menyalahkanmu, Nyai." Mengambil napas karena sungguh rasanya sesak di dada. "Kita hanya manusia. Kalau Gusti Allah sudah berkehendak, kita bisa apa? Ikhtiar... Hiks... Kita hanya bisa berikhtiar tapi hasil akhir tetap ditangan-Nya."
"____" Sedayu membisu tak ikut serta dalam pembicaraan.
Anggaplah Sedayu menjilat ludahnya sendiri. Tadi pagi dirinya menolak mentah-mentah tawaran Nyai Pradni guna mendatangi kediaman Pangeran Rangga Samudra tapi nyatanya kini Sedayu ada di tempat ini. Parahnya, Sedayu malah ingin berbalik pulang namun tak mungkin dilakukan sebab kedatangannya telah diketahui Ratu Mataram.
Memang saat tiba di Gedong Jelantir alias tempat kediaman Pangeran Rangga Samudra, Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi sudah ada. Entah sejak kapan beliau berada di sini. Ada pula Rara Semangkin alias ibu kandung Pangeran Rangga Samudra.
Namun, semua orang tahu sang Pangeran Makhota juga dekat dengan Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi. Sebagai Permaisuri, sudah menjadi kewajibannya untuk mengayomi semua anak-anak dari Panembahan Senopati. Mungkin mereka tidak tega meninggalkan putranya sendirian.
"Sebaiknya, Kanjeng Ratu dan Gusti Rara Semangkin kembali ke kamar untuk beristirahat." Nyai Pradni menatap miris Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi yang kini tampak pucat juga. Sebaliknya Rara Semangkin tak bicara walau sesekali air matanya jatuh. "Anda tidak boleh sakit, Kanjeng Ratu," lanjut Nyai Pradni.
"Di kamarpun aku tidak bisa tidur. Ibu mana yang bisa tetap nyenyak tidur jika anak-anakku____" Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi tak sanggup melanjutkan perkataannya. "Ucapan petapa itu benar ternyata, Nyai."
Alis Sedayu menukik satu mendengar kalimat terakhir Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi. Petapa siapa? Apa ada dukun lain di Mataram sebelum Nyai Pradni? Penasaran tapi tidak mungkin Sedayu lancang bertanya.
"Kanjeng Ratu. Anak adalah anugerah sekaligus cobaan bagi orang tuanya." Mimik wajah Nyai Pradni mengeras. "Kanjeng Ratu sudah bertahan selama ini. Tetap kuatlah, jangan terpuruk hingga kehilangan lebih banyak lagi."
"Nyai," suara Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi bergetar.
"Hamba akan mengantar Kanjeng Ratu dan Gusti Rara Semangkin kembali ke Keputren." Nyai Pradni mengerling ke arah Sedayu. "Lagipula Nyi Datu butuh ketenangan untuk melakukan ritual. Sebaiknya kita semua meninggalkan ruangan ini."
Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi menghembuskan napas panjang lalu menyeka air mata di pipinya. "Baiklah." Tersenyum sesaat. "Nyai tidak perlu mengantarku. Aku akan kembali bersama pelayan saja." Giliran Sedayu yang kini dipandang oleh Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi. "Aku titip Putraku, Nyi Datu. Bantu dia. Dibanding melihat dia menderita seperti saat ini, aku ikhlas dia pergi."
"Iya, to-tolong dia. Bebaskan dia dari penderitaan dan ra-rasa sakit." Akhirnya Rara Semangkin bersuara walau tersendat karena melawan isak.
DEG. Jantung Sedayu seakan terhentak. Ikhlas? Keluarga Pangeran Rangga Samudra telah ikhlas. Akan tetapi yang belum ikhlas justru malah Sedayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang
Historical FictionBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...