"Kalian merasakannya juga kan dua malam lalu?" tanya Joko sambil menatap satu per satu teman-temannya.
Serempak anak-anak yang duduk di bawah pohon balik menatap anak berkepala botak itu. Bukan sengaja tidak menumbuhkan rambut tapi Joko memang terpaksa digunduli sebab kepalanya terluka setelah jatuh dari pohon mangga. Lukanya sulit diobati jika masih tertutup rambut.
Tidak perlu terlalu kasihan toh dia jatuh saat sedang mengambil mangga tanpa izin alias mencuri. Kaget kala si pemilik mangga berteriak, alhasil Joko terjatuh. Bukan hanya terjatuh tapi kepalanya juga terkena pinggiran batu hingga mengeluarkan darah cukup banyak.
Benar ternyata kata Bopo bahwa ada hikmah dibalik musibah. Kisah Joko ini contohnya. Joko yang nakal itu tidak dimarahi atau dipukul rotan malah ditolong oleh Mbah Sugeng pemilik pohon mangga.
Jika anak-anak lain memperhatikan wajah Joko, sebaliknya pandangan Sedayu malah tertuju pada kepalanya. Luka memang sudah tidak berdarah-darah lagi tapi dibilang sembuh juga belum. Dengan keadaan begini Sedayu heran Joko masih begitu semangat membahas soal goncangan. Sedayu yang melihat luka itu saja sudah pusing dan ngeri, lah yang terluka malah santai-santai saja.
"Kata Romo, goncangan pertanda gunung akan meletus." Grani menjawab tenang seolah sudah tahu duluan tentang semua hal di dusun ini. "Romo juga bilang bahwa jikapun gunung meletus, kita tidak akan mengungsi karena jarak dusun ini jauh dari gunung. Romo bahkan sudah pergi ke Kutagara untuk bertemu Adipati."
Romo berkata begini, Romo berkata begitu... Cih, tiada hari tanpa kata 'Romo' dalam setiap perkataan Grani.
Sedayu menggelengkan kepalanya guna menghilangkan pikiran buruk terhadap Grani. Walau hanya dalam hati tetap saja dosa. Tapi sumpah demi Dewa, pikiran buruk itu muncul begitu saja bagai kilat tanpa dipersiapkan terlebih dahulu.
"Kenapa kau menggelengkan kepala? Kau tidak percaya padaku, Sedayu?" cecar Grani dengan mata memincing kesal.
Sedayu terkesiap. Rupanya gerakan kepalanya disalah pahami oleh Grani. Kini tangan Sedayu yang bergerak ke kiri dan kanan sebagai isyarat. "Bukan begitu tapi aku mulai ngantuk. Iya, ngantuk."
Tadi berpikir buruk sekarang bohong. Makin lengkap dosanya... Hadeeeh.
"Ini masih sore, Sedayu." Jeda sesaat "Ah, mungkin kau kebanyakan makan," sindir Grani. "Tapi benar sih, kapan lagi kau bisa makan banyak sekaligus enak jika tidak di hajatan seperti ini?!" lanjutnya tanpa mau menyembunyikan seringai dari bibirnya.
Memang sekarang mereka berada di rumah Pakde Wimba yang tengah menikahkan Mbak Ayuning, anak bungsunya. Warga di dusun ini terbiasa rewang--kegiatan untuk membantu dengan menyumbangkan tenaga dan kebutuhan hajatan semampunya bagi tetangga dalam urusan memasak dan menyiapkan pesta adat atau jamuan makan di pernikahan--saat ada hajatan. Anak-anak yang sudah agak besar kadang ikut membantu seadanya atau paling sering yaa menikmati makanan hajatan.
"Ada yang lebih penting dari makan dan tidur." Joko menyela kembali. Untung karena Sedayu hampir mau membalas hinaan Grani. Bukan dengan kata melainkan dengan menjejalkan kulit pisang ke dalam mulutnya itu.
"Apa yang penting?" tanya Yono sebelum menggigit buat salak.
"Goncangan itulah!" jawab Joko.
Sebenarnya, goncangan itu sudah cerita basi. Mereka membicarakan peristiwa itu tepat keesokan harinya hingga bosan sendiri. Masalahnya, Joko baru diizinkan keluar dari rumah jadi dia mungkin sudah menunggu kesempatan membicarakan goncangan aneh tersebut bersama anak-anak lain.
Grani berdecak sebelum berkata. "Ck, tadi kan, aku su____"
Joko memotong perkataan Grani. "Aku dengar pembicaraan orang-orang dan tadi di dalam juga para sesepuh membicarakannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang
Historical FictionBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...