Ҡìʂâɦ 31

841 159 22
                                    

Masih sanggup baca nggak, Kawan?
ლ (⁠◠⁠‿⁠◕⁠) ლ

Masih sanggup baca nggak, Kawan?ლ (⁠◠⁠‿⁠◕⁠) ლ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

----------------------------------------

Pemakaman Pangeran Rangga Samudra dilaksanakan sehari kemudian. Jenazah muslim memang dianjurkan untuk segera dikuburkan sebagaimana ajaran Rasulullah Saw. Namun karena satu dan lain hal, jenazah beliau disemayamkan dulu selama sehari di Pendopo Agung sebelum dimakamkan. Hujan gerimis tak juga menghentikan prosesi pengebumian sang Pangeran Mahkota Mataram. Anggaplah, langit ikut sedih atas kehilangan ini.

Apa semua orang yang ada di keraton turut bersedih? Dari tampak luar tentu iya, akan tetapi entah di dalam hati mereka. Bukan berprasangka buruk tapi kenyataannya Pangeran Rangga Samudra memang tidak begitu disukai terkait perangai dan sikapnya yang semena-mena.

Belum lagi selama ini Pangeran Rangga Samudra tidak dekat dengan adik-adiknya. Walau bermusuhan juga tidak. Intinya, beliau bukan pribadi yang baik untuk dikenang hingga memicu kesedihan tak terhingga saat telah tiada.

Orang tua sang Pangeran tentu dikecualikan. Mereka terlihat amat kehilangan terutama Gusti Rara Semangkin dan Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi. Seburuk-buruknya anak, tetap saja orang tua akan sedih jika harus memakamkan darah dagingnya duluan.

Panembahan Senopati menetapkan tujuh hari masa berkabung di keraton. Selain itu, beliau melarang segala pertunjukan dan acara hiburan apapun di seluruh wilayah Mataram. Tentu rakyat tidak ada yang membantah titah sang Sultan. Bagaimanapun yang meninggal adalah Pangeran Mahkota Mataram jadi rakyat patut menghormati almarhum.

"Memang tidak asam tah?" suara Nyai Pradni membuat Sedayu menoleh ke belakang.

"Justru karena asam, Guru. Mulutku pahit dan kebetulan pohon mangganya sudah berbuah." Sedayu mengendikkan bahu acuh. "Tapi mangganya enak kan, Kasmirah?" tanyanya pada anak kecil yang sejak tadi menemani Sedayu makan mangga muda.

Mata Kasmirah menyipit lalu badannya bergidik sesaat kala rasa asam kembali terasa di lidah. Nyengir sebelum menjawab, "Iya, Nyi Datu." Anak kecil berkepang itu melihat ke arah Nyai Pradni. "Apa Nyai Pradni mau mencoba mangganya? Kalau pakai garam jadi tidak begitu asam, Nyai," lanjutnya sambil mendekatkan piring tanah liat berisi potongan buah mangga serta mangkuk kecil berisi garam.

"Tidak, terima kasih," balas Nyai Pradni sambil mengelus rambut abdi dalem paling kecil di keraton selatan sebab dirinya sekarang memang memilih duduk di sebelah Kasmirah.

"Hamba kembali ke belakang, Nyai Pradni, Nyi Datu." Tak lupa Kasmirah membungkuk hormat sebelum bangkit berdiri. Tahu diri untuk pergi sebab mungkin saja kedua majikannya ingin berbincang secara pribadi.

Tadi Kasmirah diminta Nyi Datu untuk mengambil beberapa mangga muda dari pohon. Kebetulan memang sudah musim mangga walah butuh beberapa hari lagi hingga buah mangga tersebut benar-benar matang. Dibanding musim hujan dan musim kemarau, orang-orang sepertinya lebih menunggu datangnya musim mangga atau musim rambutan, Eh.

Bukan Calon ArangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang