Ҡìʂâɦ 34

823 160 14
                                    

Dua bulan kemudian.

Bagaimana keadaan keraton Mataram? Tentu seperti yang telah diramalkan oleh Sedayu. Rentetan peristiwa nahas benar-benar terjadi di Mataram. Gusti Kanjeng Putri Pembayun telah meninggal. Kejadiannya terjadi sekitar sebulan yang lalu.

Persalinan Gusti Kanjeng Putri Pembayun bermasalah tapi untungnya sang bayi dapat lahir dengan selamat. Sayangnya, dampak persalinan itu membuat kondisi sang Putri memburuk dari hari ke hari hingga pada akhirnya di hari keenam beliau menyerah. Gusti Kanjeng Putri Pembayun tidur dan tidak pernah bangun lagi.

Hal yang jadi pukulan telak bagi Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi yang harus merelakan kedua anaknya berpulang dalam waktu berdekatan. Meninggal dengan cara tragis pula. Seakan belum cukup, delapan hari lalu Madusena benar-benar hilang diculik.

Bayi yatim piatu yang tidak pernah dijenguk oleh kakeknya itu menghilang bersama dengan hilangnya seorang abdi dalem. Selain itu, seorang abdi dalem lainnya malah ditemukan tewas di kamar tidur Madusena. Peristiwa yang tentu menggegerkan keraton Mataram.

Selama ini, Keraton Mataram tidak hanya terkenal megah tapi juga aman. Namun, peristiwa penculikan Madusena telah membuktikan bahwa area dalam keraton Mataram justru tidak seaman kelihatannya. Tingkat keamanan justru lemah sebab kaki tangan musuh bisa menyusup serta kabur dengan mudah padahal ada banyak prajurit berjaga dari waktu ke waktu.

Sebenarnya, abdi dalem yang tewas tersebut adalah salah satu orang suruhan Nyai Pradni. Sengaja disusupkan ke Keputren untuk mengawasi serta menjaga Madusena. Nyai Pradni memang berkuasa di keraton selatan tapi kekuasaan beliau sesungguhnya lebih luas dari itu. Nyai Pradni juga memiliki banyak orang yang tunduk dan patuh pada perintahnya. Orang-orang tersebut tersebar baik di dalam maupun di luar keraton.

Percayalah, Nyai Pradni itu bukan nenek-nenek biasa.

Sayangnya, Sedayu tidak bermimpi tentang bagian kematian si abdi dalem ini. Sedayu juga tidak melihat kejadian penculikan Madusena di dalam mimpinya. Yang dilihat Sedayu justru kejadian setelah penculikan.

Di mimpi, Sedayu hanya melihat para abdi dalem Keputren terutama yang bekerja di Gedong Kadi berlutut dan ditanyai satu-persatu oleh Singonegoro yang bertampang sangar luar biasa itu tentang hilangnya putra dari Gusti Kanjeng Putri Pembayun. Walau bukan mereka yang menculik dan tidak juga terlibat dalam penculikan cucu sang Sultan tapi semua abdi dalem tetap dibawa ke Bangsal Pacikeran untuk menerima hukuman karena dinilai lalai saat bekerja.

Jika tahu akan mengorbankan nyawa seseorang yang tidak bersalah maka Sedayu pasti mencegah rencana sang guru menugaskan Dartati melindungi Madusena. Yang ditakdirkan diculik maka pasti diculik juga pada akhirnya walau sudah dihalangi sekuat tenaga. Percayalah, nasib bisa diubah tapi tidak dengan takdir hidup manusia. Takdir itu seutuhnya ditentukan kuasa Sang Pencipta.

Prajurit keraton Mataram tentu disebar ke seantero wilayah guna mencari Madusena. Sayangnya, yang ditemukan justru si abdi dalem yang berkhianat. Mirisnya, perempuan muda itu ditemukan dalam keadaan telah terbujur kaku karena keracunan di sebuah penginapan kecil jauh dari keraton. Nahas, Madusena yang dicari justru tidak ada di tempat itu.

Kabar yang membuat Kanjeng Ratu Mas Waskitajawi semakin kalut. Kesehatannya konon menurun. Sebagai nenek tentu beliau sangat mengkhawatirkan cucunya. Apalagi kini jejak Madusena makin tak terlacak. Sebaliknya, entah bagaimana isi hati sebenarnya dari sang kakek alias Panembahan Senopati?

Apabila tidak mendengar percakapan di antara para pengikut Ki Ageng Mangir Wanabaya di dalam mimpi mungkin Sedayu percaya seperti halnya seluruh penghuni keraton lainnya. Percaya bahwa Panembahan Senopati memerintahkan prajurit Mataram untuk mencari Madusena alih-alih untuk membunuh bayi itu. Tidak mungkin juga Sedayu memastikan titah sebenarnya dari sang Sultan sebab para prajurit pasti tutup mulut.

Bukan Calon ArangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang