Ҡìʂâɦ 41

927 170 32
                                    

Telapak kaki Sedayu menapak selangkah demi selangkah. Telinganya peka guna menangkap suara yang muncul di sekitar. Mata Sedayu agak kesulitan melihat sekeliling. Bukan sebab kehilangan penglihatan tapi keadaan di sini nyaris gelap gulita.

Bulan sabit merah tampak di antara pekatnya kegelapan malam. Hal yang membuat aura mistis terasa makin kuat di tempat ini. Selain sebagai fenomena alam, memang ada kepercayaan kuno bahwa bulan merah bisa dianggap sebagai pertanda kekuatan gaib atau keberadaan entitas supernatural.

Namun, cahaya bulan tidak benar-benar bisa menerangi. Sedayu seolah masih dilingkupi kegelapan yang janggal. Akan tetapi dari butiran-butiran pasir yang terinjak oleh kakinya serta suara deburan ombak menghantam karang di kejauhan bisa dipastikan bahwa Sedayu sedang berada di pantai.

Badannya agak bergidik kala angin dingin malam berhembus. Jantung Sedayu juga berdetak makin cepat. Bukan soal takut tapi lebih ke arah waspada.

Sedayu jelas bukan manusia biasa. Mata batinnya telah terbuka sehingga dunia yang dilihatnya lebih ramai dibanding manusia biasa. Baginya, tidak hanya ada makhluk hidup dan benda mati tapi juga makhluk astral.

Sesuai pepatah, bisa karena terbiasa. Oleh sebab itu, berbeda dengan manusia normal, Sedayu sudah melewati tahap 'takut' pada demit. Banyak di antara makhluk astral yang memang memiliki perwujudan menyeramkan bahkan punya bentuk di luar nalar. Dibanding ketakutan, Sedayu paling merasa kaget karena para demit memang kadang muncul tiba-tiba.

Mata Sedayu mengerjab lagi. Di sana, di atas batu besar ada orang. Iya, Sedayu yakin yang duduk adalah manusia bukan demit.

Sedayu melangkah makin cepat, secepat laju detak jantungnya. Batinnya menyangkal tapi mata Sedayu justru menangkap perwujudan orang yang dihapalnya di luar kepala. Ini mustahil tapi tampak nyata.

"Pa-Pangeran Rangga Samudra?" tanya Sedayu memastikan ketika tiba di hadapan laki-laki itu.

Kenyataan.

Mimpi.

Kenyataan.

Mimpi.

Kenyataan.

Dua kata tersebut yang berkelebat di pikiran Sedayu. Dirinya tidak pikun apalagi hilang ingatan sehingga lupa bahwa Pangeran Rangga Samudra telah meninggal dunia. Namun, laki-laki yang tengah duduk sambil tersenyum padanya itu benar-benar Pangeran Rangga Samudra.

Apa-apaan ini?

Pangeran Rangga Samudra kini memakai surjan putih, celana putih, serta ada kain emas dan hijau menghias pinggangnya. Dia juga mengenakan mahkota kecil dari emas bertahtakan permata hijau yang melingkar di kepalanya. Ini bukan penampilan Pangeran Rangga Samudra yang biasa saat dirinya berada di keraton Mataram tapi entah kenapa sang Pangeran malah makin terlihat tampan.

"Ini benarkan? Bukan mimpi?" Mata Sedayu rakus memandang sosok yang amat dirindukannya walau agak kesulitan sebab telah ada kristal bening melapisi kelopak matanya.

Laki-laki itu malah terkekeh dengan tampannya. Aneh dan tentu tidak masuk akal tapi wajah sang Pangeran kini memang terlihat bercahaya walau pasti bukan efek rajin berwudhu. Sedayu makin dibuat terpukau. Apa kekagumannya muncul sebab Sedayu cinta mati pada Pangeran Rangga Samudra? Entahlah. Bisa jadi cinta mati dalam arti sebenarnya. Sedayu yang 'cinta' sedang Pangeran Rangga Samudra yang 'mati'... Eh.

Bukan Calon ArangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang