Pangeran Rangga Samudra memijat tengkuk. Setelahnya, melakukan gerakan memutar pada bahu kirinya. Makin hari makin berat rasanya. Seharusnya tadi malam rasa tak nyaman di bahunya ini bisa hilang namun dirinya terlalu kesal jadi menolak untuk diobati.
Ini nih apabila harga diri sudah jadi harga mati akibatnya menyusahkan diri sendiri.
Memandang tumpukan catatan kerajaan serta bergulung-gulung titah resmi kerajaan. Ayahanda mungkin menganggap hukuman fisik belum cukup hingga memberi hukuman tambahan begini pada Pangeran Rangga Samudra. Sebenarnya, sebagai calon raja sudah sewajarnya mempelajari administrasi kerajaan. Tugas raja kan bukan hanya berperang tapi juga mengayomi rakyat melalui serangkaian kebijakan.
Sabdo pandito Ratu tan keno wola-wali. Ungkapan ini berkaitan dengan ucapan seorang pemimpin yang harus bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan. Terutama saat membuat kebijakan. Memikirkan dampak dari kebijakan tersebut dengan cermat. Tidak boleh gegabah apalagi mencla-mencle.
Memijat pangkal hidung agar mengurangi kelelahan matanya. Bahu berat, punggung memar, leher pegal dan kini ditambah mata lelah. Lengkap sudah penderitaannya.
Sial.
Sial.
Sial.
Pangeran Rangga Samudra meninum wedang jahe yang kini sudah mendingin. Wajar karena sedari pagi dirinya sudah mendekam di ruang ini. Dari jendela bahkan terlihat matahari sudah bersinar kelewat terik pertanda pagi sudah berganti siang. Tepatnya, siang yang panas dan gersang sebab sudah cukup lama tidak turun hujan di Mataram.
Rasanya ingin marah tapi tak mungkin marah pada Ayahanda. Akan tetapi hukuman ini terlalu berlebihan. Sebenarnya yang berat bukan hukumannya tapi rasa dipermalukan di depan umum. Harga diri Pangeran Rangga Samudra seakan tercabik-cabik.
Lagipula Pangeran Rangga Samudra kan tidak membunuh para penghibur jalanan. Dirinya hanya ingin menunjukkan bahwa di bumi Mataram juga memiliki orang yang tidak kalah kuat. Di sebelah mana coba salahnya?
Sumpah, Pangeran Rangga Samudra bahkan hampir melupakan pertandingannya dengan para penghibur jalanan yang terjadi sekitar seminggu lalu atau bahkan lebih. Hmm, sebenarnya lupa kapan tepatnya kejadian itu terjadi. Bukan hal penting juga bagi Pangeran Rangga Samudra jadi untuk apa diingat-ingat.
Semua baik-baik saja hingga dua... Ah, jika dihitung berarti sudah tiga hari berlalu sejak kejadian menyakitkan sekaligus memalukan menimpa Pangeran Rangga Samudra. Kejadian yang menurut Ayahanda bisa dijadikan sebagai pelajaran hidup yang baik. Cih, pelajaran untuk dipermalukan di depan banyak orang mungkin lebih tepatnya.
Kemungkinan kejadian itu malah jadi buah bibir yang lebih terkenal ke seantero Mataram dibanding adu kekuatan di pasar waktu itu. Sungguh, Pangeran Rangga Samudra tidak punya muka lagi di hadapan para pejabat keraton. Walau mereka tidak menertawakannya tapi teramat mustahil jika orang-orang tidak bergunjing di belakangnya.
Hingga detik ini Pangeran Rangga Samudra masih ingat rentetan kejadian tersebut. Memang dirinya tidak curiga saat diperintahkan untuk mendatangi Pendopo Agung. Lagian sudah sering kali Ayahanda mengikutsertakannya pada urusan pemerintahan Mataram.
Dengan langkah tegap Pangeran Rangga Samudra memasuki Pendopo Agung. Hari sudah sore, walau begitu masih ada sejumlah wedana, kliwon, kabayan serta mantri jajar. Mereka adalah pejabat pengurus keraton. Memang teramat jarang tempat ini sepi kecuali tengah malam mungkin.
Tadi dirinya mendapat pesan dari abdi dalem. Pangeran Rangga Samudra diminta menemui ayahnya yaitu Panembahan Senopati di Pendopo Agung. Entah ada urusan apa tapi yang pasti itu adalah sesuatu yang penting. Bisa juga perintah untuk berperang. Memang Pangeran Rangga Samudra kerap memimpin pasukan Mataram untuk berperang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang
Historical FictionBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...