Dhanwa bangkit berdiri. Melangkah keluar kamar untuk menuju pintu depan. Dirinya harus bicara sepatah, dua patah kata pada warga yang berkeliling. Agak aneh jika Dhanwa terlihat tidak takut setelah kejadian tak biasa terjadi barusan.
Pura-pura bodoh dan tidak tahu penyebab goncangan agar Sedayu tetap bisa hidup tenang dan aman. Pokoknya, Dhanwa harus melindungi anaknya. Lagipula, mana percaya mereka jika anak kecil bisa menyebabkan tanah bergoncang.
Hidupmu tidak akan pernah tenang. Berbohong dan bersembunyi. Terus menerus begitu!
Kata-kata Resi Brastawa kembali terngiang di pikiran Dhanwa. Puluhan tahun berlalu tapi Dhanwa tidak pernah bisa benar-benar lupa. Sepertinya Resi itu telah mengutuknya.
Sialaaaaan!
***
Di waktu bersamaan. Jauh... Jauh dari dusun terpencil tempat Dhanwa tinggal. Tepatnya di keraton Mataram.
Wilayah Kesultanan Mataram awalnya merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Pajang. Statusnya dulu adalah kadipaten. Penguasanya adalah Ki Ageng Pamanahan. Setelahnya, Danang Sutawijaya--anak Ki Ageng Pamanahan--menjadi adipati menggantikan ayahnya yang telah mangkat.
Setelah Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir wafat, terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Pajang. Putra Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa dan menantunya yang bernama Arya Pangiri saling bersaing untuk menjadi raja. Arya Pangiri berhasil naik takhta pada 1583, sedangkan Pangeran Benawa tersingkir ke Jipang.
Maka Danang Sutawijaya yang berkuasa di Kadipaten Mataram selanjutnya memisahkan wilayahnya dari Kesultanan Pajang dan mendirikan kerajaan sendiri. Kerajaan ini diberi nama Kesultanan Mataram.
Awal pemerintahan dimulai pada tahun 1586. Danang Sutawijaya naik takhta setelah merebut wilayah Pajang. Beliau bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Pada saat itu, wilayah Kerajaan Mataram hanya hutan mentaok dan bekas wilayah Kerajaan Pajang.
Hampir dua tahun berlalu dan Kerajaan Mataram masih memperkokoh kedudukan, mempertahankan kekuasaan serta berusaha memperluas wilayah melalui berbagai peperangan. Panembahan Senopati menerapkan konsep keagungbinatharaan atau diungkapkan sebagai gung binathara, bahu dhendha nyakrawati artinya kekuasaan yang agung, memelihara hukum di muka bumi. Kerajaan Islam yang tidak melupakan tradisi leluhur.
Seorang perempuan bergegas menuju Pendopo Agung keraton diikuti beberapa orang. Mengenakan kain serba hitam berkebalikkan dengan rambutnya yang mulai memutih. Para pengawal penjaga aula membungkuk hormat bahkan tidak berani mengangkat wajahnya.
Di keraton, pakaian yang dipakai menjadi ciri kedudukan serta pekerjaan orang tersebut. Perempuan tadi bukan anggota keluarga kerajaan atau pejabat kerajaan. Bukan pula abdi dalem, dayang, ataupun pelayan.
Kedudukan perempuan itu apa? Entahlah. Yang pasti beliau dihormati. Ditakuti lebih tepatnya.
Satu hal yang diketahui para penghuni keraton bahwa perempuan itu punya tempat istimewa di Kerajaan Mataram. Seistimewa bangunan khusus tempat tinggalnya beserta anggotanya yang terletak di selatan keraton. Bangunan dengan benteng batu tinggi dan terlarang untuk dimasuki kecuali oleh raja dan keluarganya. Tempat tersebut juga dijaga ketat para prajurit khusus.
Kelompok perempuan ini seolah memisahkan diri dari pergaulan sesama penghuni keraton. Sebenarnya, banyak desas-desus di antara para penghuni keraton tentang mereka. Yang paling santer adalah mereka itu golongan penganut Islam Kejawen yang ada di Kerajaan Mataram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang
Historical FictionBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...