Mata Sedayu terbuka perlahan. Pertama yang dilihatnya adalah bebatuan di langit-langit gua. Cahaya temaran cenderung gelap membuat penglihatannya agak tak jelas dan berbayang. Mungkin ini bukan hanya pengaruh pencahayaan tapi juga karena rasa pusing di kepala.
Sumpah, badannya lemas sekali. Sedayu ingat, tadi malam memutuskan beristirahat di dalam gua ketika bulan mulai bertahta di langit. Keputusan bijak karena bisa saja Sedayu pingsan di jalan. Berterima kasih pada para demit yang memberitahu bahwa ada gua kecil yang tertutup batu besar dan ilalang. Sebaliknya, kuda dibiarkan tertambat di pohon tak jauh dari gua oleh Sedayu.
Jika Sedayu terbaring di luar itu lebih berbahaya. Bisa saja ada binatang buas yang menjadikan tubuh Sedayu santapan di tengah malam. Dengan tubuh lemah dan menahan rasa panas yang seakan membakarnya dari dalam, Sedayu masih berusaha membuat api unggun. Api membuat hewan-hewan tak diinginkan menjauh.
Seperti biasa, rasa panas itu perlahan meningkat menjadi tak tertahankan. Berteriak juga percuma karena justru menghabiskan tenaga sia-sia. Setelahnya, Sedayu tidak begitu ingat lagi. Entah dirinya tertidur atau malah kehilangan kesadaran.
Sedayu memejamkan mata lagi. Dirinya butuh mengumpulkan tenaga guna bisa berkuda kembali ke keraton. Tidur sebentar tidak masalah bukan?
"Alhamdulillah, panasmu sudah turun," ucapan serta sentuhan di dahi membuat kedua mata Sedayu terbuka kembali.
Mungkin tadi dirinya benar-benar terlelap lagi. Namun kini rasa kantuknya lenyap tak bersisa. Sungguh, Sedayu kehilangan kata kala matanya bertatapan dengan mata Tandu.
Mimpi... Ini pasti mimpi.
Usapan lembut di rambut terasa oleh Sedayu. Tandu tersenyum. "Kau bisa mendengarku, hm? Apa yang kau rasakan? Sumpah, kau membuatku ketakutan semalamam," ucap Tandu lagi.
Sial, ini bukan mimpi. Sedayu mengerjab. Kepalanya mendadak tambah pusing. Kenapa Tandu ini bagai bayangan? Sudah hilang tapi kembali muncul lagi, lagi dan lagi.
"Dhan___Ah, siapa sebenarnya namamu? Dhanwa itu tidak mungkin nama perempuan."
DEG. Jantung Sedayu mencelos. Tak ayal dirinya bangkit terduduk. Terlalu buru-buru bangkit membuat segalanya tampak berputar. Alhasil badan Sedayu oleng namun segera diraih lalu didekap Tandu agar tidak tersungkur ke lantai gua.
"Pelan-pelan!" tegur Tandu yang sebenarnya agak kaget karena perempuan sakit ini tiba-tiba bangkit dari pembaringan.
Sedayu segera mengalihkan pandangan karena sesaat tadi mereka berdua berpandangan lekat. Belum lagi jarak wajah mereka yang cuma sejengkal. Kaget sekaligus salah tingkah.
Rambut. Sedayu tidak buta untuk bisa melihat rambutnya kini telah tergerai. Seingat Sedayu, tadi malam dirinya tidak melepas ikatan rambutnya sama sekali. Mustahil juga rambutnya tergerai dengan sendirinya.
Apa yang sudah dilakukan laki-laki ini semalaman padanya? Sedayu sungguh tidak ingat apa-apa saat sakit. Namun, sebagian dirinya percaya bahwa sesinting-sintingnya Tandu, dia bukan orang jahat apalagi pemerkosa. Tapi entahlah.
Tangan Sedayu serta-merta memeriksa bajunya. Hal yang membuat Tandu seketika mendengkus. Namun, Sedayu mendadak terkesiap dengan tangan bergerak mengalung di leher Tandu. Tenang, bukan Sedayu berniat merayu Tandu... Iiiih, amit-amit. Siapa coba yang tidak kaget bila tiba-tiba dibopong?
Memang Tandu membopong perempuan sakit ini lalu mendudukannya di pinggir gua agar bisa bersandar di dinding gua. Mereka harus bicara. Ralat, Tandu harus menjelaskan segalanya agar tidak dianggap telah bersikap kurang ajar. Tandu akui tadi malam 'agak' kurang ajar dengan memeluk perempuan ini. Hmm, tapi sebaiknya bagian ini jadi rahasia saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang
Historical FictionBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...