Mencari kawan

149 11 0
                                    

Londa mengetuk-ngetukan jarinya ke meja matanya menatap gelas berisi kopi yang sudah hampir habis. Ia tidak benar-benar sedang melihat ke arah kopi tersebut. 

Ia mematikan perekam suara di atas meja kerjanya, sudah hampir dua jam ia mendengarkan suara rekaman ayahnya. Untuk mencari kesamaan antara kematian tersebut dengan pembunuhan berantai yang ditangani ayahnya dulu. 

Sebuah ide muncul di kepalanya, senyum kecil terlihat di sudut bibirnya. Ia pun bangkit dari tempat duduknya dan dengan cepat mengambil sweater yang tergeletak di sebelahnya lalu bergegas membuka pintu dan pergi.

Suasana Coffee shop malam itu tampak lenggang hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati kopi atau tehnya. 

Mata Londa menyapu ke seluruh ruangan tersebut mencari sosok pria berkacamata dengan tubuh tambun dan laptop di depannya. Dia pun tersenyum ketika menemukan laki-laki itu duduk di salah satu sudut café itu.

"Hai" sapa Londa riang. 

Dengan cepat Londa menarik kursi di depan laki-laki itu dan duduk di atasnya. Laki-laki berkacamata itu menghentikan kegiatannya dan melirik dari balik layar laptopnya. Seorang wanita tersenyum lebar ke arahnya

"Kau lagi " sapanya tidak ramah ketika melihat Londa tersenyum sambil melambaikan tangannya.

"Kenapa kau tidak beralih profesi saja menjadi penguntit? Daripada mengganguku setiap saat"

 Laki-laki kurus itu mengambil cangkir kopi di sebelahnya dan menyesapnya perlahan. Terlihat bekas cungkuran di rahangnya yang tegas.

"Apakah perusahaanmu sedang membutuhkan wartawaan baru sekarang?" tanya Londa mengabaikan sindiran laki-laki di depannya. 

Rio melepas kacamata yang digunakanya dan memijit pelipisnya perlahan. Wajahnya terlihat lelah dengan kedua kantung matanya.

"Tidak ada, kau sudah menanyakan itu kemarin" 

Rio kembali mengenakan kacamatanya dan mengalihkan pandangan ke layar laptopnya. Merasa diabaikan Londa pun berpindah tempat di samping Rio.

"Aku sedang sibuk sekarang, berita ini harus naik nanti sore, jadi jangan mengangguku" Rio menjelaskan dengan kesal. 

Rio mengayunkan tangannya ke udara dan mengisyaratkan Londa untuk pergi.

"Aku tahu, kematian para pemain di atas panggung bukan" 

Pria bernama Rio itu menaikan sebelah alisnya

"Tidak yang menarik di sana" Jelasnya acuh

"Aku setuju denganmu" Londa menganguk setuju 

"Tapi bukankah menurutmu aneh jika semua pemain yang mati secara berturut-turut saat pertunjukan"

"Umur tidak ada yang tahu Londa, kau pernah mendengar hal itu?"

"Aku tahu, tapi tetap saja bukankah menurutmu itu aneh?" Sahut Londa tanpa mempedulikan wajah Rio yang mulai tampak kesal.

"Tidak ada yang aneh" Suara laki-laki itu menekan 

"Bisakah kau berhenti menggangguku? Aku sedang bekerja, jika kau tidak tahu" sindirnya sambil tetap menatap layar laptopnya.

"Ah aku lupa, minggu depan aku akan meliput konser Rossaline dan aku mendapat kesempatan mewawancarainya usai pertunjukan" Jelas Londa

"Dan kau tahu artinya" Londa menggantung ucapannya 

"Artinya aku memiliki akses ke backstage setelah pertunjukan selesai" 

Rio mengangkat kepalanya dari layar laptopnya dan menatap datar Londa yang tampak tersenyum penuh kemenangan padanya.

"Apa maumu Londa?" Tanyanya sambil menghela nafas. 

Perempuan ini benar-benar tahu kalau ia tidak mungkin melepas begitu saja bertemu Rossaline. Penyanyi, pujaan hatinya. Tidak semua wartawan dapat bertemu Diva tersebut apalagi Rio adalah wartawan kriminal. 

Londa yang tahu kelemahan Rio tersebut selalu memanfaatkannya untuk menggali informasi tentang kasus yang sedang diliputnya.

"Kau memang hebat Rio" 

 Londa memperhatikan foto-foto yang dijejerkan dengan rapih oleh Rio di meja restoran itu, Rio tersenyum bangga

"Kesalahan hanya satu" lanjut Londa lagi 

"Kau tidak bisa menulis berita dengan baik" Senyum Rio menghilang.

"Bagaimana dengan mayat ini, Londa menunjuk salah satu foto seorang yang tubuhnya telah terbujur kaku.

"Toby Dawson, penyebab kematiannya adalah sesak nafas, dan dia memang memiliki riwayat penyakit asma sejak kecil" 

Londa mengerutkan keningnya sesaat, lalu kembali menggeser-geser foto tersebut seperti mencari sesuatu.

"Di mana foto inhaler yang digunakan Toby Dawson"

"Tidak ada inhaler di sana, sepertinya Toby lupa membawanya hari itu"

"Bukankah aneh, seorang pengidap asma lupa membawa inhaler di hari pentingnya" Tanya Londa pada Rio, Rio hanya mengangkat bahunya.

Tidak berapa handphone Rio berdering. Rio menyentuh layar handphonenya dan mendekatkan ke telinga sebelah kanannya. Hening sesaat sebelum akhirnya Rio menjawab 

"Baik aku akan segera ke sana" 

Rio mematikan hapenya dan segera membereskan foto-foto di atas meja

"Hei aku belum selesai melihatnya" 

Protes Londa yang masih tampak serius memperhatikan foto-foto di di atas meja tersebut.

"Aku harus pergi Londa. Ada kematian lain"

"Apa?"

"Salah satu pemain ditemukan tewas" 

Rio dengan cepat memasukan laptop ke dalam tasnya.

"Aku ikut"

"Tidak!" Sahut Rio singkat sambil berjalan meninggalkan Londa

"Ku mohon biarkan aku ikut" rengek Londa sambil bergegas mensejajari langkah Rio

"Terakhir kau ikut, aku hampir saja mendapat surat peringatan dari kantorku"

"Kali ini aku berjanji tidak akan mengacau"

"Maafkan aku Londa" Ucap Rio sambil menyalakan mesin motornya, Wajah Londa tampak kecewa.

"Berjanjilah kau akan memberitahuku apa yang terjadi di sana" Teriak Londa saat motor Rio melesat meninggalkan kafe tersebut.

Pertunjukan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang