🌼30

93.2K 4.4K 306
                                    

Happy Reading!

Ayyara memasukkan barang-barangnya ke dalam tas besar. Ia hanya meninggalkan semua barang yang tuan Arvind pernah beli untuknya. Lagipula Ayyara tidak membutuhkan semua itu.

Ceklek

Tubuh Ayyara menegang saat ada seseorang yang berusaha membuka pintu kamarnya.

Ceklek

Ctarr

Ceklek

Ayyara mengusap perutnya lalu perlahan duduk di sisi tempat tidur. Itu pasti tuan Arvind. Karena hanya pria itu yang selalu membuka pintu dengan kunci cadangan. Untungnya kali ini Ayyara memasang gembok dari dalam, hingga tuan Arvind tidak akan bisa masuk.

🎵Drtttttt

Ayyara menoleh pada ponselnya yang ada di atas meja kecil samping tempat tidur.

Itu tuan Arvind.

"Hhh" Ayyara menghela napas lalu menolak panggilan tersebut kemudian mematikan ponselnya. Ia sudah bertekad untuk menghindari tuan Arvind.

Brakk

"Ayyara, buka pintunya!"

Ayyara menoleh kaget. Sepertinya tuan Arvind marah.

Bukk bukkk

"Kau pasti tidak tidur karena bisa menolak panggilanku."

Tok tok

"Buka pintunya!"

Ayyara segara berbaring lalu menarik selimut kemudian memejamkan matanya. Ia tidak akan membuka pintu apapun yang terjadi. Lagipula tuan Arvind tidak akan melakukan hal gila seperti mendobrak pintu karena itu jelas akan membangunkan penghuni rumah yang lain. Terutama para pelayan yang kamarnya berdekatan.

Dan benar saja, Arvind memilih menyerah dan melangkah mengambil air minum. Masih merasa tidak percaya bahwa Ayyara mengunci pintunya, Arvind tebak wanita itu memasang kunci lain dari dalam.

"Ck! Sial." maki Arvind. Sekarang bagaimana caranya ia bisa tidur? Terbiasa memeluk Ayyara sebelum menutup mata membuat Arvind kesulitan tidur jika tanpa wanita itu.

Arvind mengisi gelas hingga penuh lalu meneguknya hingga tandas. Ia sangat kesal. Rasanya ingin sekali berteriak memaksa Ayyara membuka pintu tapi itu tidak mungkin. Mendobrak pintu jauh lebih tidak mungkin lagi.

Brukk

"Sayang, apa yang kau lakukan?" tanya Karin kaget karena suaminya memukul meja.

Arvind mendengus saat mendengar suara Karin. Sedang Karin langsung mendekat dan memeriksa tangan suaminya.

"Ada apa? Kau marah?" tanya Karin khawatir.

"Hn."

"Kenapa? Apa ada masalah?"

Arvind mengusap wajahnya. Saat ini ia sangat enggan berurusan dengan Karin.

"Urusan kantor." sahut Arvind seadanya. Berharap jika Karin tidak akan bertanya lebih.

Karin mengusap punggung suaminya. "Apa masalahnya begitu besar?"

"Hm"

"Baiklah. Sepertinya kau tidak ingin cerita pada istrimu ini." ucap Karin.

"Kau belum tidur? Wanita hamil tidak boleh tidur terlambat." ucap Arvind. Bukan, itu bukan bentuk perhatian. Arvind hanya ingin Karin kembali ke kamar dan ia akan memikirkan cara lain untuk masuk ke kamar Ayyara.

Karin tersenyum tipis. Ternyata yang ia pikirkan salah. Arvind masih peduli pada dirinya. Pada bayi mereka.

"Kami baik-baik saja, sayang. Kau tidak perlu khawatir." ucap Karin lalu mengeluarkan foto usg yang tadi ia ambil dari Ayyara.

"Kau pergi ke rumah sakit. Kenapa tidak memberitahuku?" tanya Arvind seolah tidak terima.

Karin langsung berakting sedih. "Aku pikir kau tidak peduli pada kami." ucap Karin pelan.

Arvind menghela napas. "Pemikiran macam apa itu. Tentu saja aku peduli pada bayiku."

Karin tersenyum. Sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat.

"Sayang."panggil Karin.

"Hm?"

"Aku ingin tinggal di rumah mama sampai melahirkan, boleh?" tanya Karin penuh harap.

Arvind menoleh. "Kenapa?"

Karin langsung mengelus perutnya."Sekarang kau sangat sibuk dan aku sering merasa kesepian. Mungkin akan lebih baik aku tinggal bersama mama selama masa kehamilan."

Arvind diam lalu mengangguk."Terserah padamu."

Karin tersenyum lebar. "Terima kasih, sayang. Aku juga akan membawa Ayyara ikut."

Deg

"Apa?" kaget Arvind. Kenapa ia mendadak menjadi bodoh. Bukankah dulu Ayyara pernah mengatakan ini. Bahwa Karin akan mengajaknya pindah begitu ia dinyatakan hamil.

"Eh.. Kenapa? Aku mengajak Ayyara untuk mengurusku. Tidak masalah, bukan? Lagipula di rumah ini dia tidak melakukan apa-apa." jelas Karin tanpa merasa curiga sedikitpun.

Arvind menghela napas lalu meremas rambutnya. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan Ayyara pindah.

"Sayang, boleh kan?" tanya Karin sembari mengusap perutnya."Ini keinginan bayimu." pintanya dengan nada memelas.

Arvind diam berpikir lalu mengangguk. "Kapan kalian pergi?"

Karin tersenyum lebar. "Besok pagi."

"Baiklah. Aku akan mengantar kalian besok."

"Tidak," cegah Karin cepat lalu menggeleng pelan. "Maksudku, kami akan pergi bersama sopir saja. Kau pasti sibuk kan dengan urusan kantor."

Arvind mengangguk membenarkan membuat Karin tersenyum puas. Ternyata begitu mudah membujuk suaminya.

Sedang Arvind hanya diam. Besok pagi, ia akan meminta anak buahnya untuk menculik Ayyara. Sepertinya lebih baik jika ia dan Ayyara memiliki tempat tersendiri.

-Bersambung-

Mengandung Anak Tuan ArvindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang