8. Bahan Taruhan

9.8K 510 32
                                        

Ada rasa khawatir dan penasaran bagaimana kondisi Ellzio sekarang. Namun, harapan agar cowok itu tidak masuk lagi hari ini jauh lebih besar.

Sayang, harapan Laura tidak terkabulkan.

Dengan gaya tengil serta leather jacket dan ransel yang tersampir di satu sisi bahu, cowok itu baru saja menyelonong memasuki kelas.

“Wiiiiih ...” ucapnya sembari merangkul leher Amara dan merebut roti yang sedang dimakan cewek itu.

“Ih, apaan sih, Zio!” protes Amara.

“Laper gue. Sama temen harus berbagi,”

“Bilang aja kalo lo emang suka ngisengin gue, mana pake rangkul-rangkulan gini lagi! Modus banget lo, ya!” protes Amara lagi. Namun, alih-alih menyingkirkan lengan Ellzio, Amara justru terlihat menikmati dan melipat tangan di depan dada.

“Halah, padahal lo juga suka gue sentuh-sentuh gini. Mana nanyain kapan gue masuk sekolah mulu. Kangen berat lo sama gue, huh?” sahut Ellzio sembari mengunyah dengan mulut penuh.

“Dih, mana ada gue kangen sama cowok yang mukanya bonyok kayak lo.”

Wajah Ellzio memang dihiasi lebam yang memudar.

Ellzio menyeringai. “Bonyok kayak gini juga tetep ganteng, kan?” ucapnya dengan menaik turunkan alisnya.

Laura yang duduk di bangkunya segera membuang muka saat Ellzio membalas tatapannya. Cowok itu dan Amara berdiri—sedikit menduduki meja— tepat sekali sejajar didepan mata Laura. Dan Laura, tidak tahu bagaimana raut wajahnya sekarang. Dia benci cowok itu tapi juga ... cemburu.

Sampai jam pelajaran berlangsung pun, Laura enggan lagi menatap cowok itu. Tidak lagi curi-curi pandang seperti biasa.

Tanpa Laura tahu, Ellzio yang sekarang justru melakukannya. Dari bangkunya yang sama-sama di baris ke dua, dengan bersandar pada dinding dan duduk menyamping dia memperhatikan Laura.

“Singkirin kepala lo,”

“Hah?” Arghi yang sedang menyalin catatan menoleh dan mengernyit bingung mendengar suara Ellzio yang tiba-tiba.

“Diemin kepala lo, nggak usah banyak gerak.”

Dahi Arghi semakin mengernyit tidak mengerti. Kenapa dengan kepalanya? Dia perlu mendongak untuk melihat papan tulis dan menunduk untuk melihat bukunya.

“Tir ...” lanjut Ellzio menimpuk kepala Fatir dengan penghapus milik Dillon, teman yang duduk dibelakang bangkunya. “Nunduk!”

“Hah?”

“Angkat kepala lo, Gha!” sambungnya memerintah pada Ghava, teman sebangku Fatir.

Ghava dan Fatir saling melirik dengan mengernyit. Namun akhirnya menurut juga. Fatir mencatat tulisan di papan tulis dengan menunduk, menempel pada meja. Sementara Ghava duduk tegap dengan kepala terangkat.

Hanya tersisa kepala Aretta yang menghalangi pandangan Ellzio untuk menatap Laura agar lebih jelas. Namun, dia tidak berani menegur cewek itu.

Di bangkunya, Laura terlihat mengangguk-anggukkan kepala sembari mengulum senyum saat Aretta berbisik padanya, yang kemudian Laura balas dengan bisikan juga. Sebelum akhirnya kedua cewek itu tertawa tanpa suara dengan tangan menutup mulut.

Ellzio ... menyeringai dengan menjilat bibir melihatnya.

Laura berusaha kembali fokus melanjutkan catatannya yang sedikit lagi selesai sembari tetap menyahuti ucapan Aretta dengan pelan. Sebelum merogoh ponsel di saku roknya yang bergetar.

08XXXXXXXXX
Ra?

Kepala Laura menunduk melihat ponselnya dibawah meja lalu dahinya mengernyit saat membaca notifikasi pesan singkat dari nomor baru. Laura tipe orang yang tidak begitu peduli pada nomor baru terlebih saat menge-chatnya hanya dengan satu huruf ‘p’ dan berakhir mengajaknya kenalan. Begitupun kali ini, dia tidak ingin peduli dan akan kembali menyimpan ponselnya. Namun, sesaat kemudian Laura menggigit bibir.

PERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang